28. Amnesia

929 49 3
                                    

MAAF JIKA ADA TIPO

🌸

"Dari curiga, bisa jadi kejadian nyata."

🌸🌸🌸

   Tangan yang sejak dua hari lalu tidak bergerak sama sekali itu perlahan bergerak.
Echa yang menyaksikan hal itu tentu saja menangis haru. Gadis itu langsung memencet tombol di dekat brankar untuk memanggil Dokter Angga. Raga yang baru saja keluar dari toilet mematung di tempat, menyaksikan interaksi anak dan ayah yang baru sadarkan diri itu.

    "Akhirnya Papa bangun." Echa memeluk Ben dengan erat. Ben yang sudah bisa melihat jelas wajah putrinya hanya diam dan menatap kosong sekitar. Echa yang menyadari akan hal itu menjadi terisak pilu. Dia ingat sekarang, Ben mungkin benar-benar hilang ingatan.

    Belum selesai Echa berdebat dengan pikirannya, Dokter Angga datang dengan asistennya. Dokter Angga meminta agar Echa keluar ruangan terlebih dahulu karena dia akan memeriksa keadaan Ben. Echa menurut, dia keluar ruangan sambil membekap mulutnya sendiri agar isakannya tidak terdengar.

    Raga berjalan mendekati Echa. Ditariknya bahu Echa, merapatkan gadis itu dengan dirinya. Echa yang ditarik Raga hanya bisa menatap wajah lelaki itu dengan sisa isakan di bibirnya.

    "Bokap lo nggak akan kenapa-napa, tenang aja."

    Echa tersenyum tipis, "Dia kenapa-kenapa, Ga. Dia nggak inget Echa."

    "Tahu dari mana?"

    Echa menggigit bibir bawahnya, menahan isak tangisnya yang kembali, "Papa kayak orang linglung pas liat Echa."

    Raga tersenyum tipis. Tangan kirinya masih bertengger di bahu Echa, sedangkan tangan kanannya perlahan naik ke puncak kepala gadis itu, mengusapnya lembut. "Cuma sementara, Cha."

    Sungguh. Echa rasa ada yang aneh dengan Raga. Lelaki itu berubah 180 derajat dari Raga yang acuh tak acuh padanya. Lelaki itu bahkan bisa membuat dada Echa kembang kempis dan sekujur tubuhnya memanas. Jangan lupakan pipinya yang merona, Echa tahu itu.

    Dia memegang tangan Raga yang masih mengusap kepalanya. Diturunkannya tangan itu dan berkata, "Emang sementara, tapi Echa nggak tahu bisa bikin Papa pulih atau enggak."

    "Bisa."

    "Echa nggak yakin."

    "Kan ada gue."

    Echa mendongak. Menatap Raga yang sedang menatapnya.

    "Gue bakal bantu lo."

    "Echa."

    Echa mengalihkan perhatiannya pada Dokter Angga yang tersenyum ke arahnya bersama sang asisten. Kedua orang itu baru saja keluar dari dalam.

    "Mari, ikut ke ruangan saya. Saya akan menjelaskan dengan detail tentang kondisi Pak Ben di sana. Biar asisten saya yang menjaga Pak Ben untuk sementara waktu."

    Raga menatap Echa yang sedang mengusap kasar air mata dipipinya. Lelaki itu menggenggam jemari Echa dan menarik gadis itu untuk berjalan di sampingnya.

    Setelah sampai di ruang Dokter Angga. Dokter Angga mempersilakan Echa dan raga duduk lalu dia membuka suara setelah beberapa detik hening, "Menurut hasil pemeriksaan saya barusan, Pak Ben mengalami kerusakan pada bagian sistem limbik yang ada di otaknya.

    "Bagian ini berperan dalam mengatur ingatan dan emosi seseorang. Dalam kata lain, diagnosis saya sebelumnya benar, pak Ben mengalami amnesia.

    "Tapi tenang, alhamdulillah sifatnya sementara." Dokter Angga menatap Echa yang menahan napasnya. Jelas sekali gadis itu tampak tidak terima dengan keadaan yang ada. Dokter Angga tahu pasti Echa masih memikirkan reaksi Ben saat melihatnya tadi.

Jiwa Raga (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang