59. Silam Kelam (1)

474 36 2
                                    

MAAF JIKA ADA TIPO
PELAN-PELAN AJA BACANYA^^

🌸

"Kita manusia, hanya bisa bermimpi dan berharap. Jadi, jangan pernah hidup tanpa mimpi dan harapan. Karena sesungguhnya bermimpi dan berharap itu tidak ada salahnya. Yang salah itu jika kamu terlalu berharap kepada sesuatu yang sangat jelas tak bisa terwujudkan."

🌸🌸🌸

    Sekarang Echa ingat semuanya. Tentang pertemuannya dengan Raga, anak laki-laki yang mau berteman dengannya. Padahal, banyak anak yang tidak ingin dekat dengan dirinya karena dia penyakitan. Mereka takut dikira membuat Echa pingsan dan kelelahan. Mereka tidak ingin punya teman yang dikit-dikit pusing dikit-dikit muntah. Tapi Raga, dia terlalu mengambil banyak resiko. Dia mau berteman dengannya walau Ben sudah menentang hubungan mereka. Dulu, Echa kecil pikir, Raga hanya kasihan kepadanya. Tapi, anak itu ternyata benar-benar tulus menyayanginya. Buktinya, sudah dimarahi Ben pun Raga tetap mau menemani Echa yang bebal. Raga bahkan tidak mengelak saat dituduh sebagai sebab penyakitnya kambuh. Raga ... Terlalu menyayanginya sampai Raga takut orang lain menyakitinya.

    Raga yang selalu menunggu di rumah pohon. Raga yang selalu ingin membuatnya tidak takut naik rakit. Raga yang selalu mengalah dan menurut disuruh ini itu. Raga di masa lalu sama dengan Raga yang beberapa hari ini selalu mengganggu pikirannya.

    Silam yang kelam. Echa..., tidak membenci Raga sama sekali saat itu. Karena Echa tahu, Raga tidak salah apa-apa dalam kejadian itu. Kejadian yang benar-benar memperkeruh keadaan yang sudah keruh sejak awal.

🌸🌸🌸

    Aren mencoret-coret buku gambar di depannya secara brutal. Kemudian dengan kesal, dia melemparkan krayon yang dia pegang ke dinding rumah pohon. "Raga jahat!" teriaknya geram.

    Dua hari ini, dia tidak bermain dengan Raga. Dan dengan mata kepalanya sendiri dia melihat Raga hahahihi bersama Lauren di halaman rumah Sasmita. Raga seperti melupakan keberadaannya.

    "Udah tahu jahat kenapa mau aja temenan sama dia?!"

    Aren melongokkan kepalanya ke bawah dari jendela, dia menatap Malvin yang sedang bermain ponsel di bawah sana. "Nggak usah ikut campur urusan anak kecil!"

    Malvin tergelak tawa. "Ya, ya, ya. Kakak anak gede bisa apa!"

    Aren mendengus kesal, melengos, dan kembali ke aktivitas awalnya, mencoret-coret buku gambar. Lama berkutat dengan pelampiasan emosinya, teriakan nyaring Malvin membuat Aren berjengit kaget.

    "Kak Malvin pulang dulu, ya! Mau BAB!"

    "Iya sana! Nggak usah ke sini lagi!"

     Hening menyelimuti sejak Malvin berlari terbirit-birit ke rumah sambil memegangi pantat. Hingga, derit kayu terdengar mengambil alih atensinya. Aren menatap pintu rumah pohon. Di sana, berdiri seorang anak laki-laki yang melempar senyum kepadanya.

    "Kamu siapa?" tanya Aren sambil beringsut mundur.

    Anak laki-kaki berumur delapan tahunan itu meringis kecil saat sadar jika Aren takut kepadanya. "Aku Jiwa, kakak Raga."

    Mata Aren melebar. Mata tadinya yang sayu mulai berbinar. "Kakaknya Raga?" tanyanya antusias.

    Jiwa mengangguk kecil, melangkahkan kakinya masuk dan duduk di depan Aren. "Boleh duduk sini, 'kan?"

Jiwa Raga (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang