PROM 14

2K 192 1
                                    

PROM 14.

Langit mendung menghiasi sore hari ketika Adara sampai di Bandung. Udara dingin menusuk kulitnya yang sepertinya akan turun hujan sebentar lagi. Setelah masuk ke mobil yang dijemput oleh supir pribadi keluarganya. Pandangan gadis itu sangat kosong dan diam adalah hal yang terbaik untuk keadaan saat ini.

Setelah mobil memasukki sebuah perumahan yang disepanjang jalan menuju rumahnya sudah ada karangan bunga dari beberapa perusahaan dan keluarga besar. Banyak mobil terparkir dan orang-orang yang memakai pakaian serba hitam yang sepertinya menyambut kedatangannya.

Dada Adara semakin bergemuruh ketika bendera putih dan tenda berwarna biru terpasang dirumahnya. Adara berusaha menahan air matanya yang siap jatuh kapan saja. Semua harapan Adara dan doa Adara seakan lenyap begitu saja ketika dia menginjakkan kaki dihalaman rumahnya yang sudah dipenuhi banyak orang.

Bagai badai yang datang setelah pelangi menghiasi hati Adara. Semuanya terasa kosong dimata gadis itu. Ucapan belasungkawa yang menyambut kedatangannya membuat nafas Adara semakin tidak teratur. Adara berusaha menahan air matanya dan masuk ke dalam rumah yang sangat ramai dari hari-hari biasanya.

Jantung Adara serasa jatuh begitu saja dari tempatnya ketika melihat seseorang yang ia sayang tertidur dengan kain putih dan batik yang menutupi tubuhnya sampai keleher. Wajah pucat yang terlihat tenang dengan segaris senyum membuat hati Adara serasa sakit.

Air mata yang Adara tahan sedari tadi pun luruh begitu ia duduk disebelah Mamanya yang sudah tidak akan membuka matanya lagi. Tak sanggup melihatnya, Adara hanya mampu memeluk mamanya dan mencium dahi dari seseorang yang sudah menjadi ibu dan ayah untuk Adara selama ini.

Adara hanya mampu menangis sejadi-jadinya dengan memeluk erat mamanya. Semua tamu yang datang menatap gadis itu kasihan dan beberapa ada yang menangis ketika kembali mengingat kebaikkan yang selalu Reta lakukan kepada mereka.

"Kenapa Mama pergi disaat Adara nggak ada?" gumam Adara pelan dengan isak tangis yang terus terdengar.

"Adara tau, Adara belum bisa buat bikin Mama bangga dan justru selalu ngerengek buat Mama ada dirumah. Tapi Mama selalu sabar dan selalu menuhin apa yang Adara mau. Mama bilang asal Adara bahagia bakal Mama lakuin apapun itu. Sekarang yang Adara mau dan selama ini yang Adara mau cuma Mama dirumah. Bangunin Adara buat sekolah, nyiapin sarapan dan antar Adara sekolah, Ma." ucap Adara disela-sela tangisnya.

"Dan Adara juga tau kalau Mama mau Adara mandiri kan? Jadi Mama pergi ninggalin Adara sendiri disini." sambung Adara pilu yang langsung dipeluk oleh Alden.

"Adara nggak boleh ngomong gitu." ucap Alden dengan mengelus kepala adiknya itu.

"Tapi bener kan? Pertama Papa, kedua Rangga dan ketiga Mama. Besok siapa lagi yang bakal ninggalin Adara? Kenapa setiap orang yang Adara sayang harus pergi secepat ini? Kenapa!" balas Adara dengan tangis yang semakin kencang.

"Abang ada disini. Adara nggak perlu merasa sendiri." ucap Alden masih menenangkan.

"Adara harus ikhlasin Mama biar Mama tenang dan bahagia disana. Semua sayang sama Adara dan mereka nggak akan kemana-mana. Mereka cuma pergi sebentar karena mereka yakin Adara bisa dan nemuin bahagia lain." sambung Alden pelan namun tetap bisa didengar oleh adik tersayangnya.

Adara hanya mampu diam dengan air mata yang terus mengalir sampai akhirnya pandangan gadis itu pun terasa kabur dan gelap.

****

Suasana pemakaman setelah hujan semakin sepi, beberapa orang setelah ikut memakamkan memilih berpamitan pulang.

Beberapa teman-teman sekolah Adara pun datang untuk memberi gadis itu semangat serta doa untuk almarhumah mamanya. Adara hanya diam dan tersenyum sekilah serta mengucapkan terima kasih sebelum teman-temannya kembali pulang.

Hingga kini, hanya tersisa Alden, Adara dan Raga yang masih berada ditempat itu. Setelah Adara pingsan ia menyusul ke pemakaman dengan ditemani Raga yang menjaga ketika pingsan.

Gadis itu hanya diam dengan pandangan yang sayu menatap makam ditempatnya dengan nisan yang bertuliskan nama lengkap Mamanya serta tanggal lahir dan juga tanggal kematiannya.

"Abang pulang dulu,ya. Masih banyak tamu dirumah, kasihan tante Arina dari tadi." ucap Alden pelan yang hanya dibalas anggukkan dari adiknya.

"Jangan lama-lama. Nanti kamu pulang sama Raga, ya," pesan Alden lagi.

"Iya." balas Adara pelan.

Alden pun meninggalkan Adara bersama Raga yang berdiri disamping gadis itu. Adara terus diam dan menatap nisan lama. Raga menghembuskan nafasnya berat dan menarik tangan Adara agar berdiri, namun ditolak oleh gadis itu.

"Ayo pulang." ajak Raga.

"Nggak. Mau disini." tolak Adara.

"Sampai kapan?" tanya Raga.

"Sampai gue nyusul Mama." jawab Adara tanpa menggunakan aku-kamu lagi.

"Setiap orang punya takdirnya sendiri. Percuma lo nyusul kalau emang belum takdir lo." ucap Raga yang membuat Adara menatapnya tajam.

"Lo harus tau, Ra, Semakin lo tumbuh besar, semakin sedikit orang yang peduli sama lo dan lo harus bisa lebih dewasa karena umur nggak menjamin orang itu dewasa." sambung Raga yang membuat dada Adara serasa dihantam tembok besar.

Adara berdiri."Gue mau pulang."

Raga tahu ucapannya menampar gadis itu, namun ini demi kebaikkan Adara agar ia tidak terus terpuruk dalam kesedihan. Melihat Adara yang seperti itu membuat hati Raga sakit melihatnya.

Ia hanya ingin Adara menjadi cewek kuat karena ini bukan yang pertama untuk gadis itu. Walaupun Raga tahu kehilangan seorang ibu itu sangat menyakitkan.

Raga hanya diam dan membiarkan Adara pulang dengan taksi yang lewat karena gadis itu pasti akan pulang ke rumah. Raga pun akhirnya berjalan menuju motornya dan segera meninggalkan pemakaman karena hari yang semakin larut.

****
Salam Ciaa!

Happy Reading!

Thank you olee!

ADARA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang