Senja datang membawa rindu
Gelap malam melebur kenangan
Dan fajar adalah saat untuk menata harapan.***
Sore ini aku benar-benar datang ke kafe yang ditunjukkan Felix padaku melalui pesan whatsApp. Letaknya berada tepat di tengah kota Bekasi. Aku sangat ragu saat sampai di depan kafe ini. Yang kulihat dari luar hanya beberapa pengunjung kafe dan pegawai kafe yang sibuk mondar-mandir membawa pesanan. Iya aku tau itu, karena kafe ini hanya dilapisi dinding kaca. Aku sama sekali tak melihat Juna di dalam. Jika aku meneleponnya untuk kuminta menemuiku di depan, apakah itu terlihat sopan? Ah, menurutku tidak. Dengan langkah terseret aku mencoba masuk ke dalam. Kudorong pintu masuk kafe. Langsung saja aku menuju meja kasir.
"Pesan apa Kak?" Kata kasir itu padaku.
"Eum.. maaf saya mau ketemu pemilik kafe ini, bisa?" Ucapku. Dan kasir itu terlihat seperti... kaget.
"Oh.. Mas Juna. Ada di ruangannya Mbak" balasnya sambil menunjuk tangga kafe ini. "Di atas sana ruangannya. Mbak ini temennya, ya?" Lanjutnya bertanya padaku.
Aku mengangguk kaku saja. Tidak mungkin aku terlalu pede bilang kalau aku ini pacarnya, kan?
"Iya, permisi saya cari di atas saja" pamitku pada si kasir. Kasir pria itu hanya tersenyum ramah padaku.
Lantas kakiku menapaki tangga menuju lantai dua, ruangan Juna berada seperti kata kasir tadi. Saat sampai aku langsung menemukan sebuah pintu. Yang terdapat nama di tengah pintu. Arjuna.
Tanganku mengepal untuk mengetuk pintu itu. Dua kali ku ketuk. Terdengar suara dari dalam menyuruhku masuk. Aku menghela napas panjang dan membuangnya. Kuputar knop pintu itu. Dan.. benar Juna berada di dalam. Tangan kanannya dibalut perban dan gips. Aku masih terpaku di ambang pintu. Begitupun Juna melihatku dengan wajah kaget karena aku tiba-tiba kemari tanpa memberinya kabar.
~~~~~~
Selepas kami bertemu di ruang pribadi Juna tadi. Aku dibawa entah ke mana oleh Juna. Juna tak bisa menyetir karena tangannya masih ber-gips. Dan tadi Juna menelepon salah satu sopirnya untuk menjemput kami.
Saat ini mobil memasuki perumahan yang menurutku tempat para orang elit berada. Aku tau dari rumah mereka yang mewah dan besar. Apa Juna juga tinggal di sini?
Kurasa tentu saja, karena dari sekian yang kutau Juna selalu menggunakan barang-barang yang mahal. Misalnya saja motor sport waktu di halte itu, dan mobil sport yang biasa ia gunakan ke sekolah. Itu semua menandakan ia memang dari kalangan orang berada.
Dan benar saja dugaanku sepanjang perjalanan. Sopir memberhentikan mobil ini di depan rumah berdesain eropa yang megah dan super luas. Wah.. aku sangat kagum dengan apa yang aku lihat ini. Mungkin terdengar norak jika aku kagum dengan hal ini. Tapi aku memang kagum. Rumahku mungkin hanya seperempat dari rumah Juna ini.
Dengan masih mengagumi bangunan di depanku ini. Suara Juna menyentakku agar tersadar. "Ayo masuk.." suara husky itu menyuruhku untuk mengikutinya.
Sungguh aku terpana lagi saat mataku menjelajahi isi dari rumah ini. Barang-barang di sini terlihat sangat mahal tanpa kutau harganya. Bersih dan sangat luas. Aku mengikuti langkah Juna. Sampai kami tiba di lantai dua rumah ini. Juna berjalan ke arah pintu bercat coklat dan membukanya. Aku terdiam di tempat, apa aku juga perlu masuk?
"Kenapa diem?" Ujarnya.
"Ha? Nggak apa-apa aku masuk" kataku. Ini kamar Juna, dan sebelumnya aku belum pernah memasuki kamar seorang laki-laki.
"Emang kenapa? Udah cepet masuk" suruhnya dengan nada datar dan dingin. Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam. Wangi maskulin langsung menyambut indera penciumanku. Untuk kamar seorang pria ini sangat rapi, pikirku. Temboknya bercat putih. Namun, tempat tidurnya di dominasi warna hitam juga karpet dan sofa ruangan ini.
"Duduk.." kata Juna. Aku meliriknya. Ternyata dia sudah berada di sofa. Aku langsung mengambil duduk di seberang sofa yang ia duduki sekarang.
"Kamu nggak apa-apa?" Tanyaku.
"Ya, lo bisa liat sendiri.." balasnya tanpa melihatku.
"Kamu jatuh dari motor? Jangan ikut balap lagi.." setelah kata itu meluncur dariku. Juna menatapku dengan mata menajam. Napasku menjadi tak teratur dengan itu. Apa Juna marah. Tapi bagiku ini demi kebaikannya.
"Nggak usah ngatur.." ketusnya. Kata itu seakan menohok perasaanku. "Kenapa nggak boleh? Bukannya aku pacar kamu"
"Emang kalau kita pacaran. Lo bisa seenaknya ngatur kemauan gue." Balasnya. Rasanya saat ini ada sesuatu yang mengganjal di mataku. Apa salahnya jika aku khawatir dengan kekasihku sendiri. Sungguh aku hanya ingin dia berhenti untuk kebaikannya. "Lo cukup diem. Dan jangan coba ngendaliin apa yang gue lakukan" lanjutnya.
"Iya.. " hanya kata itu yang bisa kuucapkan. Kemudian dengan hati kesal aku bangkit dari sofa. Berniat untuk pulang saja. "Aku pamit pulang. Semoga cepat sembuh" kataku padanya. Dan dua langkah aku pergi dari kamar itu. Tiba-tiba tanganku dicekal oleh tangan kekar Juna.
"Lo mau pulang. Emang tau jalanan sini?" Sontan mataku membulat. Benar juga, aku mana tau jalanan daerah sini. Aku berbalik dan mataku dan milik Juna bertemu. "Dianter sopir gue aja nanti. Ini udah mau malem" Juna berkata seperti itu dengan ekor mata melirik ke jendela. Aku mengikuti arah ekor mata itu dan benar saja hari sudah semakin gelap. Kenapa aku tak memikirkan ini sebelum akan pergi.
"Sekarang boleh pulang? Ibu pasti nyariin kalau pulang telat" ujarku padanya. Aku sudah duduk lagi di sofa dengan Juna di sampingku.
"Tante nggak akan marah. Bilang aja dari rumah gue.." jawabnya enteng.
"Kenapa gitu" balasku yang belum mengerti.
"Ya nanti liat aja di rumah" katanya. Juna menatapku. Mata dingin itu mengunci netra agar tak berpaling dari sorotan tajamnya. Aku mengerjap beberapa kali saat wajah tampannya semakin mendekat.
Mataku membulat penuh saat bibirku dan bibirnya bertaut. Darahku berdesir hangat. Tubuhku membeku. Sungguh aku tak berpikir hal ini akan terjadi. Tapi selanjutnya aku merasa nyaman dengan ini. Sepertinya aku memang sudah mencintai Juna.
Wajah Juna menjauh. Melepas tautan kami. Aku menunduk dengan tangan mencoba meraba jantung yang berdetak sangat kencang. Aku merasakan tangan kiriku seperti ada yang menggenggam. Aku melihat itu Juna. Tangan kiri milik Juna. Dia tersenyum kepadaku. Walau hanya senyum tipis. Tapi bagiku senyum itu sangat tulus. Karena memang dia sangat jarang tersenyum selama ini.
"Besok gue masuk sekolah. Pagi gue jemput" ucapnya. Aku hanya mengangguk dan ikut tersenyum.
"Gue sayang lo" katanya lagi.
Desiran hangat menjalar lagi di tubuhku. "Iya, aku juga sayang kamu Juna." balasku.
Lantas ia mencium keningku. Dan mengajakku berdiri. "Mau pulang, kan? Ayo ke bawah biar sopir gue yang antar"
"Iya, .." jawabku.
Hari ini sungguh hatiku sangat senang. Senang seperti wanita paling bahagia di dunia. Makasih Juna.
KAMU SEDANG MEMBACA
PACAR PAKSA
General FictionAnastasia Pofly Harata, gadis campuran Inggris, Jepang dan Indonesia-tidak mengira akan dapat pernyataan cinta dari Arjuna Bima Direndra seorang badboy sekolah saat ia baru saja putus hubungan dengan kakak kelasnya, Sebastian Fredo. Ia mendapat hadi...