~•~ Part 28 : Father (2) ~•~

603 34 3
                                    

Luka di tubuh mungkin bisa sembuh dengan cepat, tapi luka di hati perlu waktu panjang untuk sembuh atau mungkin tidak akan pernah sembuh lalu menjelma menjadi sebuah trauma.
~~~~••••••~~~~

Natasyah POV

Saat usiaku 8 tahun, aku mendapatkan sebuah luka yang sekarang menjadi trauma yang amat dalam bagiku. Mungkin aneh bagi kalian jika tahu bahwa aku trauma dengan pistol atau senjata api. Aku akan sangat ketakutan saat melihat sebuah pistol meskipun itu hanya mainan.

Aneh memang, tapi itulah faktanya. Setiap kali melihat sebuah pistol ataupun mendengar bunyinya saja aku akan sangat ketakutan.

Flashback on
Trauma itu berawal tepat saat hari ulang tahunku dan saudaraku yang ke-8 tahun. Pada awalnya semuanya baik-baik saja, namun saat orang-orang dengan menggunakan masker itu menembakkan senjata di langit, keadaan berubah menjadi ricuh dan penuh ketakutan.

Aku ditarik oleh saudara kembarku untuk bersembunyi di bawah meja, tapi aku menolak karena aku tidak mau meninggalkan kedua orang tuaku.

Aku menangis memanggil kedua orang tuaku, namun suara pistol dan teriakan panik dari para tamu undangan itu membuat suaraku tidak terdengar oleh kedua orang tuaku. Aku menangis dan Nathan memeluk erat, dia berusaha untuk mengajak untuk berlari dari tempat itu, namun aku tidak mau.

Karena keras kepalaku itu, dengan cepat tubuhku yang tadinya di pelukan Nathan ditarik paksa oleh salah seorang dari penjahat itu. Aku sudah berusaha memberontak. Tapi gagal, karena tenagaku sudah mulai melemah.

Nathan berusaha menyelamatkanku, tapi penjahat yang berusaha menculikku itu menodongkan pistolnya ke arah Nathan. Aku sudah berusaha menyuruh Nathan untuk menjauh dari senjata itu. Aku menangis sejadi-jadinya sambil memohon pada Nathan untuk tidak mendekat.

Tapi Nathan tidak bisa diam melihat saudarinya dalam bahaya, sampai akhirnya Nathan tetap maju dan DOR!! Suara tembakan yang sangat keras membuat keadaan seketika hening.

Dengan sekuat tenaga aku berteriak dan melepaskan diri dari cengkeraman penjahat itu, dan itu berhasil.

Aku berlari ke arah Nathan yang telah terbaring lemah dengan darah yang terus memancar dari arah perutnya. Tidak lama setelah itu, polisi pun datang bersama Gavin dan langsung mengamankan TKP. Beruntung saat itu Gavin langsung bergegas mencari telepon terdekat untuk menelepon polisi.

Aku menangis sekuat-kuatnya berharap Nathan mendengarku, tapi hasilnya nihil. Matanya tertutup sangat rapat, seolah enggan melihatku lagi.

Tidak lama setelah itu, Papa datang dan langsung membawa Nathan ke rumah sakit, sedangkan aku masih menangis di pelukan Mama. Beruntung kedua orang tuaku tidak terluka sedikitpun, jika itu terjadi aku tidak bisa membayangkan keadaanku saat itu.

Berkali-kali aku bertanya pada Mama, "Kapan abang akan buka mata, Ma? Apa dia marah karena Via keras kepala itu sebabnya abang tidak mau lihat Via lagi?".

Tapi Mama selalu menjawab, "Abangmu tidak marah sama kamu. Kita sama-sama berdoa ya sayang". Mama berusaha untuk tegar di hadapanku, padahal aku tahu Mama batinnya lebih tersakiti daripada aku.

Sampai akhirnya, Papa keluar dari ruangan dokter dan mengatakan bahwa Nathan dinyatakan koma, tangis Mama pecah mendengar kabar itu. Aku tidak mengerti apa yang Papa maksud, tapi aku juga ikut menangis, karena entah mengapa firasatku mengatakan hal itu bukan kabar baik.

Ketika Diary Menjadi Saksi 📖 (COMPLETED✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang