One

31.4K 1.3K 10
                                    


F A K E   L O V E R

Recommended Song :Taylor Swift — Lavender Haze

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Recommended Song :
Taylor Swift — Lavender Haze



*******






Chiara menghembuskan nafas lelah. Pekerjaan hari ini sangat melelahkan. Setelah selesai menutup semua jendela dan mematikan lampu, Chiara duduk di salah satu kursi sambil menunduk dalam. Mencari uang memang susah. Kepalanya pusing sekali. Gajinya masih 2 minggu lagi tapi besok sudah waktunya membayar tagihan SPP. Chiara sudah menunggak 3 bulan dan pihak sekolah sudah memberinya waktu 5 hari untuk melunasinya. Kalau tidak, maka beasiswanya akan dicabut.

Tapi dengan gaji segitu, tetap belum cukup untuk membayar SPP nya. Uang hasil gajinya juga dipakai untuk kehidupan sehari-hari. Ibunya hanya seorang buruh pabrik. Yah, sebenarnya ekonomi keluarga berkecukupan. Masalahnya ada di sekolahnya. Chiara bersekolah di SMA Nasution yang merupakan sekolah elit di kotanya. Sekolahnya besar, luas, dan megah. Murid-muridnya mayoritas kaya dan cerdas. Kebanyakan berasal dari keluarga kalangan atas. Ada yang anaknya pejabat, menteri, dosen, sampai konglomerat. Sudah pasti SPP nya mahal. Itupun Chiara mendapat keringanan karena dari anak yatim. Chiara berhasil masuk kesana karena beasiswa dan mendapat uang saku 1 juta perbulan. Entahlah, padahal ia sudah bekerja keras untuk mencari uang tapi selalu sulit untuk membayar biaya sekolahnya.

Jika tahu akan begini, Chiara tidak akan bersekolah kesana.

Uang hasil kerjanya selalu terpakai. Entah itu untuk biaya makan, biaya listrik dan air, atau membayar hal lain. Gaji Ibunya digunakan untuk membayar biaya SPP nya dan biaya kontrakan, dan Chiara akan membantu biaya yang lain. Tapi tidak selamanya uang bisa terkumpul. Ini bukan pertama kalinya Chiara menunggak SPP. Jika ada kebutuhan mendesak, maka kebutuhan itu yang akan didahulukan. Chiara tidak bisa memprotes kalau SPP nya belum bisa terbayar.

"Chia, lo gak pulang?"

Chiara mendongak. Menatap teman kerjanya—Kinal—yang sedang memainkan kunci motor. Kinal mengambil helm nya di pojok meja kasir lalu menghampiri Chiara.

"Ah ya, ini mau pulang kok." Chiara tersenyum tipis. Ia ikut berdiri mengambil tas selempangnya yang ada di atas meja. Mengikuti arah Kinal keluar cafe dan menunggu temannya itu yang sedang mengunci pintu.

"Hujan. Lo bawa jas hujan, gak?" tanya Chiara. Memandang hujan rintik-rintik yang turun dari langit malam yang gelap.

"Aduh, gak bawa lagi. Terobos aja, lah. Lagian cuma gerimis." Kinal berjalan terburu-buru menuju motornya dan memakai helm. Menghidupkan mesinnya lalu menyerahkan helm yang satunya ke Chiara. "Cepat. Keburu deras."

Chiara memakai helm nya lalu duduk di jok belakang. Kinal mengendarai motornya cukup kencang karena takut kehujanan. Jalannya lumayan sepi karena ini sudah jam 9 malam. Chiara berdoa dalam hati supaya tidak kehujanan. Boleh turun deras asalkan ia dan Kinal sudah sampai di rumah.

Fake Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang