***
Lisa baru saja akan pergi tidur. Saat itu sudah lewat tengah malam dan Lisa baru saja akan tidur setelah ia menulis beberapa bait lirik- yang akan jadi lagu gagal ke-11 Lisa kalau Jiyong menolaknya lagi. Sudah hampir pukul 4 dini hari ketika Lisa naik ke atas ranjangnya untuk pergi tidur. Jiyong ada di kamarnya sampai tepat pukul 12 malam tadi, jadi Lisa hanya berbincang dengan Jiyong selama pria itu masih ada di kamarnya.
Namun baru saja Lisa akan memejamkan matanya, sebuah pesan baru masuk di handphonenya. Pesan itu dari Jiyong, yang bertanya apakah Lisa sudah bicara dengan Taeyong atau belum. Jiyong juga belum tidur, mungkin masih bekerja di studionya di rumah, pikir Lisa. Sialnya, pesan dari Jiyong tersebut membuat Lisa kembali terjaga, kantuk gadis itu hilang dan ia jadi kembali memikirkan Taeyong yang sudah pasti terluka karenanya.
"Hhh... Ayo selesaikan semuanya malam ini Lisa," gumam gadis itu sebelum akhirnya ia berjalan keluar dari kamarnya dan mengetuk pintu kamar Taeyong. Saat itu tentu saja Ten sudah tidur di kamarnya sendiri, sedangkan Jennie tidak pulang malam itu- entah menginap dimana. Akhir-akhir ini Jennie terlihat seperti seorang yang tengah berkencan namun ia tidak mau memberitahu siapa pria yang di kencaninya.
Lisa memutuskan untuk membuka pintu kamar Taeyong karena tidak ada yang menanggapi ketukannya di pintu itu. Saat Lisa masuk, Taeyong sedang duduk dengan mata terpejam di depan meja kerjanya, dengan kedua kaki yang ia tumpangkan di atas mejanya. Lampu kamar Taeyong sengaja di matikan, namun cahaya dari bulan yang tidak terhalang tirai tetap menerangi kamar tersebut.
"Oppa tidur?" tanya Lisa walaupun ia tahu Taeyong tidak sedang tidur. Mendengar suara Lisa, Taeyong lantas menurunkan kakinya, memutar kursinya untuk melihat Lisa.
"Ada apa?" tanya pria itu sembari menatap Lisa dengan tatapan aneh yang bagi Lisa terlihat sangat palsu. Taeyong tengah berusaha baik-baik saja, entah apa yang dikatakan Ten padanya, tapi tepat pukul satu malam tadi Taeyong pulang dan bertingkah seakan ia tidak pernah menyukai Lisa sebelumnya, seakan sejak awal ia mendukung hubungan Lisa dengan Jiyong, seakan ia ikut senang karena Jiyong menyukai Lisa.
"Aku tidak bisa tidur," jawab Lisa sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. "Aku ingin pergi membeli beer di minimarket, mau ikut?" tanya Lisa dan mau tidak mau Taeyong menemani Lisa untuk pergi ke minimarket yang tidak begitu jauh dari apartemen mereka.
Selama berjalan sekitar 15 menit, tidak ada satupun yang membuka pembicaraan. Mulai dari keluar apartemen sampai membayar beernya, Lisa tidak mengajak Taeyong bicara begitupun sebaliknya. "Sudah lama tidak minum disini, oppa mau duduk sebentar disini?" tanya Lisa sembari melihat ke arah sebuah kursi di depan minimarket. Taeyong tidak menolak, dan mereka duduk bersebelahan di kursi minimarket itu. Seperti biasanya, Taeyong membukakan kaleng beer untuk Lisa dan Lisa menerimanya dengan senang hati- walaupun suasana disana terasa sedikit canggung bagi Lisa.
"Maafkan aku," ucap Lisa, setelah ia menghabiskan setengah dari beernya. "Karena tidak segera memberitahu kalau aku berkencan dengan Jiyong oppa,"
"Berapa lama? Kalian sudah berkencan,"
"2 bulan," jawab Lisa. "Aku ingin memberitahumu, tapi waktunya tidak pernah tepat,"
"Dia memperlakukanmu dengan baik?"
"Ya," jawab Lisa dan pembicaraan itu pun kembali selesai. Taeyong kembali diam dan Lisa pun tidak punya pilihan lain selain ikut diam.
Angin berhembus, mengisi kesunyian. Dinginnya malam seharusnya cukup menusuk kulit, namun baik Lisa maupun Taeyong sudah memakai jacket tebal mereka masing-masing.
"Akhirnya kau memakai jacket tebal saat keluar malam," ucap Taeyong, setelah kesunyian akhirnya terasa sangat menyesakan untuknya.
"Ya, Jiyong oppa marah- maksudku, tentu saja aku harus memakai jacketku sendiri, oppa bisa sakit kalau terus-terusan meminjamkanku jacket saat kita keluar malam seperti ini," jawab Lisa yang justru menyesali jawabannya, ia menyesal karena sudah menyinggung Jiyong. "Maaf-"
"Kau lebih mendengarkannya dibanding mendengarkanku. Kau sangat menyukainya?" tanya Taeyong namun Lisa sama sekali tidak bisa menjawabnya. Tentu saja Lisa ingin mengiyakannya, namun mengingat Taeyong adalah pria yang selama ini selalu membantunya, membuat Lisa khawatir akan terus melukai perasaan pria itu.
Lisa tahu kalau Taeyong menyukainya, dan Lisa pun tahu kalau ia tidak pernah berkewajiban untuk membalas perasaan Taeyong. Namun selama ini Taeyong adalah salah satu orang yang selalu membantunya, mereka dekat walaupun Lisa tidak membalas perasaan Taeyong. Mereka berteman cukup dekat, walaupun Lisa tidak pernah menganggap Taeyong sebagai pria yang ia sukai. Mereka cukup dekat, walaupun Lisa lebih menganggap Taeyong sebagai kakaknya dibanding sebagai pria yang bisa ia sukai. Lisa tidak sampai hati untuk melukai Taeyong.
"Kau tidak menjawabnya, kau pasti sangat menyukainya," ucap Taeyong sembari menenggak habis sekaleng beernya kemudian membuka kaleng keduanya. "Bisakah kau memberitahuku apa yang membedakanku dengannya? Apa yang membuatnya jadi lebih baik dariku dan kau memilihnya?"
"Tidak ada," jawab Lisa tanpa berani melirik Taeyong yang sekarang menatapnya. Lisa takut air matanya akan jatuh saat menatap mata terluka Taeyong. "Dia hanya datang lebih dulu, aku hanya lebih dulu mengenalnya dibanding mengenalmu. Saat appaku meninggal, aku benar-benar kesepian. Kesepian yang kurasakan tidak berujung, aku tidak bisa melihat ujungnya,"
"Kau masih memiliki eommamu dan Ten, mereka juga membuatmu kesepian?"
"Tidak," geleng Lisa. "Mereka selalu ada untukku, ada orang yang mengenalku, ada yang tidak. Mereka termasuk dalam orang-orang yang mengenalku. Ada banyak orang yang mengenalku, tapi selain mereka, orang-orang itu membuatku kesepian. Orang-orang yang mengenalku selain Ten dan eomma membuatku merasa kesepian. Cara mereka memperlakukanku membuatku kesepian. Aku ikut audisi di berbagai agensi sejak aku masih belum genap 13 tahun, bahkan setelah appa meninggal, aku masih ikut berbagai audisi, tapi tidak satupun yang menerimaku dan setiap kali seseorang bertanya apa mimpiku, mereka menyuruhku menyerah, karena itu aku merasa kalau mereka membuatku kesepian. Tapi G Dragon membantuku bertahan. Memang tidak masuk akal, seharusnya kau berdoa atau bergantung pada Tuhan ketika usahamu tidak juga membuahkan hasil, tapi doa tidak selalu berhasil pada semua orang, setidaknya padaku. Mungkin aku tidak berdoa dengan benar, mungkin berdoa terlalu sulit untukku. Aku tetap berusaha mengatasinya, tapi aku tetap sedih, aku tetap kecewa dan cara termudah untukku mengurangi sedikit rasa sedih dan kecewa itu dengan mendengarkan lagu-lagunya. Karena itu aku bersikeras dia ada untukku saat aku sedang sedih,"
"Karena itu kau mengidolakannya? Jadi dia datang sebagai seorang idol di hidupmu, dia datang lebih dulu daripada aku,"
"Maafkan aku,"
"Untuk apa? Karena kau lebih menyukainya dibanding menyukaiku? Atau karena kau mengenalnya lebih dulu dibanding mengenalku? Semuanya bukan kesalahanmu. Aku yang seharusnya sadar kalau kau benar-benar menyukainya, bukan hanya sekedar mengidolakannya. Seharusnya aku sadar kalau sejak awal kau tidak memberiku kesempatan,"
"Oppa-"
"Semuanya mungkin terlihat mudah untukmu Lisa," potong Taeyong. "Hanya dengan beberapa surat bodoh kau bisa mengencani idolamu dan mengatakan padaku kalau kau sudah lama mencintainya. Tentu saja, kau bahkan tidak perlu repot-repot mengejar mimpimu hanya karena beberapa kali gagal audisi, lalu ada Ten yang selalu melindungimu setiap kali kau tidak ingin bertemu seseorang hanya karena kau takut orang itu akan menanyakan pekerjaanmu. Bahkan disaat kau melukai perasaan seseorang, Ten akan menemui orang itu dan menyelesaikan masalah itu untukmu. Semuanya mudah untukmu, tapi bagiku- seperti katamu, aku menyedihkan, hidupku tidak pernah mudah, seperti milikmu. Jadi tidak perlu menjual kesedihanmu hanya untuk membuatku memaklumi keputusanmu," ucap Taeyong sebelum kemudian ia berpamitan dan meninggalkan Lisa yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Lisa terluka? Tentu saja.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Potato
FanfictionSweet Potato, si manis yang hangat. Tidak harus ada B setelah A. Tidak harus ada 2 di belakang 1. Nyatanya, hati manusia jauh lebih rumit di banding logika matematika.