***
"Lisa-ya, maaf- kau baik-baik saja?" tanya Taeyong, setelah Lisa akhirnya menyadari kehadiran Taeyong disana. Setelah Lisa akhirnya melihat Taeyong yang berdiri di belakang Jennie, dengan wajah yang sama babak belurnya dengan Ten.
"Baik-baik saja? Aku?" jawab Lisa, bersamaan dengan Ella yang datang setelah mendapat jawaban dari dokter.
"Bisa aku minta tolong untuk menghubungi pihak agensi? Katakan aku ada di rumah sakit dan bayar tagihan rumah sakitnya?" pinta Jiyong, sembari memberikan kartu debetnya pada Jennie. Jiyong hanya ingin menyingkirkan Ella dari pemandangan tidak menyenangkan di ranjang rumah sakit itu. "Jennie-ya temani dia, Ten, aku perlu bicara-"
"Kau pikir hanya hidupmu yang sulit?" sinis Lisa, seakan tidak ada siapapun disana. Jennie buru-buru bangkit, menemani Ella untuk membayar tagihan rumah sakitnya, sedangkan Lisa justru menahan Jiyong agar tidak pergi dari sana.
Lisa memegangi tangan Jiyong, meminta Jiyong untuk tetap berada disana– bukan karena Lisa ingin Jiyong mendengar ucapannya, melainkan karena ia butuh berpegang pada sesuatu dan menyembunyikan getaran ditangannya.
"Kau pikir hubunganku selalu menyenangkan hanya karena aku mengencani seorang idol? Kau pikir aku senang setiap kali orang-orang sepertimu menyebutku beruntung karena bisa berkencan dengan idolaku? Kau pikir aku senang karena tidak bisa pergi ke stasiun? Kau pikir aku senang saat harus menghabiskan uang untuk taksi karena tidak berani naik bus yang ramai? Kau pikir aku senang pulang dengan menunggu bus terakhir karena bus lain selalu ramai? Kau pasti mengira bersembunyi di belakang punggung orang lain itu menyenangkan. Apa kau tahu bagaimana rasanya gemetar hanya karena ditanyai orang asing di jalan?" marah Lisa, dengan suara yang perlahan-lahan mulai bergetar karena menahan tangis. Jangankan Jiyong, bahkan Ten sekalipun tidak dapat menghentikan Lisa saat itu. "Kau bilang aku beruntung karena memiliki Ten di sisiku? Ya, aku beruntung karena dia selalu ada di sisiku selama ini. Aku beruntung karena dia- karena dia-"
"Lisa-ya, hentikan, ini rumah sakit," bujuk Ten sebelum Lisa benar-benar menangis disana.
"Apa yang harus ku hentikan?! Dia bilang aku harus senang karena tidak perlu repot-repot meraih mimpiku!" jerit Lisa sembari menatap Ten dengan air mata yang sudah benar-benar jatuh dari pelupuk matanya. "Apa kau tahu bagaimana rasanya dipaksa berhenti untuk meraih mimpimu?! Selama lima tahun yang kulakukan hanya mengikuti semua audisi dan tiba-tiba aku harus berhenti melakukannya. Kau pikir saat itu aku melompat senang lalu bersyukur karena tidak perlu meraih mimpiku lagi?! Aku menangis! Menangis seakan hari itu adalah hari pemakamanku sendiri! Dan kau bilang aku beruntung? Aku menjual cerita sedihku hanya agar kau memaklumiku?! Berapa banyak yang bisa kau bayar untuk cerita sedihku?!"
"Kita keluar saja," ucap Ten yang lantas menarik Taeyong keluar. Taeyong tidak menolak, namun Ten dapat merasakan kalau temannya itu sudah benar-benar lemas karena rasa bersalah. Ten mendengarkan Lisa dengan seluruh tubuhnya, dan kini pria itu tidak berdaya seakan Lisa baru saja menyerap seluruh sari kehidupan dari tubuh Taeyong.
"Aku bahkan tidak bisa mengakui lagu yang di putar di radio sebagai laguku... Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan suaraku di depan orang-orang di stasiun dan dia masih bilang hidupku menyenangkan," ucap Lisa di sela isakannya. Begitu Ten membawa Taeyong pergi, Lisa benar-benar menangis dan Jiyong mengulurkan tangannya untuk memeluknya. Jiyong duduk di tepian ranjang kemudian memeluk Lisa dengan sangat erat, mencoba untuk menguatkan kekasihnya tanpa mengatakan apapun.
Setidaknya hanya itu yang dapat ia lakukan setelah beberapa kali ia memarahi Lisa karena pekerjaan mereka. Jiyong hanya mengenali Lisa dari surat-surat yang Lisa kirimkan untuknya, dan Jiyong baru benar-benar mengenali Lisa selama beberapa bulan terakhir ini, Jiyong tidak pernah menyangka akan secepat ini melihat Lisa menangis dan terluka seperti sekarang.
"Eonni itu sakit parah? Sampai tidak bisa meraih mimpinya?" tanya Ella, yang tidak sengaja mendengar jeritan Lisa. Bahkan Jennie membeku karena tidak pernah tahu kalau luka yang Lisa tahan selama ini jauh lebih menyakitkan dibanding sekedar gangguan panik. "Ku pikir dia hanya terlalu pemalu,"
"Ku pikir juga begitu," jawab Jennie yang kemudian menyuruh Ella bicara pada seorang pria yang datang dan mencari Jiyong. Ada seorang perwakilan dari pihak agensi yang datang karena panggilan Ella, dan tidak lama setelah orang itu datang, Taehee– manager Jiyong– juga datang. Setelah seluruh urusan administrasi selesai diurus, Ella pergi bersama perwakilan dari agensinya, Taehee masih menunggu Jiyong selesai menenangkan Lisa, sedangkan Jennie menghampiri Taeyong dan Ten di depan rumah sakit.
"Kau benar-benar jahat," ucap Jennie, menyalahkan Taeyong. "Hanya karena dia tidak membalas perasaanmu, bagaimana bisa kau tega melukainya sampai seperti itu, oppa?"
"Aku tidak bermaksud-"
"Aku benar-benar ingin memukulmu sekarang, hyung," potong Ten, yang tidak cukup tega karena melihat wajah pucat Taeyong. Bukan pukulan Ten yang menyakiti Taeyong, melainkan ucapan Lisa, ditambah air mata yang jatuh di wajah gadis itu.
"Kau seorang guru, banyak dari muridmu yang tidak bisa melanjutkan mimpi mereka. Kau memberi mereka semangat, tapi bagaimana bisa kau memperlakukan Lisa seperti itu? Dia juga tidak bisa melanjutkan mimpinya. Apa kau tahu apa saja yang Lisa lakukan untuk kita? Untukmu?" ucap Jennie, benar-benar tidak dapat menahan semua keluhan yang muncul di kepalanya. "Dia selalu mendukungmu, dia menemanimu memahat, dia membantumu mengoreksi agar kau punya waktu untuk meraih mimpimu, bukankah karena itu kau menyukainya? Kau benar-benar jahat. Bahkan lebih jahat dari Bobby yang sudah menyelingkuhi Lisa berkali-kali,"
"Maaf, permisi," tegur seorang pria– Taehee– membuat Jennie menutup mulutnya kemudian menoleh pada pria itu. "Maaf, apa kalian tahu dimana rumah Lisa? Maksudku rumah orangtuanya, kurasa akan lebih baik kalau dia tinggal bersama eommanya lebih dulu,"
"Disaat seperti ini Lisa tidak akan mau pulang kerumah orangtuanya," jawab Ten sembari melirik Jennie dan Taeyong. "Antarkan dia pulang kerumah kami saja, dia akan lebih nyaman berada disana, di kamarnya sendiri,"
"Oppa menginaplah di rumah temanmu, jangan menemui Lisa untuk beberapa waktu," ucap Jennie, pada Taeyong tentunya. "Jangan memprovokasi Lisa untuk pergi ke stasiun dan pingsan lagi. Kalau kau memang merasa bersalah, jangan menemuinya dulu,"
Sementara itu, masih di UGD, Lisa sudah berhenti menangis. Gadis itu menghapus air matanya kemudian tersenyum saat melihat Jiyong tertawa karenanya. Jiyong tertawa karena wajah lucu Lisa yang sedang berusaha menghentikan tangisannya, berusaha terlihat baik-baik saja walaupun sebenarnya perasaannya jauh dari kata baik.
"Astaga... Air matamu banyak sekali, apa kau masih punya sisa air mata?" ucap Jiyong sembari mengusap-usap pipi Lisa dengan ibu jarinya. Lisa tersenyum, berusaha untuk tertawa dan menghentikan tangisannya, namun tidak juga berhasil.
Lisa menggelengkan kepalanya, tidak begitu ingin bicara karena suaranya akan terdengar sangat aneh kalau ia berbicara setelah menangis– bisa-bisa ia kembali menangis karena memaksakan diri untuk bicara.
"Kau boleh menangis, aku akan menemanimu menangis. Tapi kau tidak perlu bernyanyi di depan banyak orang kalau memang tidak bisa melakukannya, bernyanyi saja di depanku, seperti saat kita membuat lagu bersama, oke? Aku tidak akan memarahimu lagi, jangan khawatir,"
"Bohong,"
"Huh? Apa aku pernah membohongimu? Enak saja-"
"Oppa- augh! Air matanya tidak bisa berhenti!" keluh gadis itu karena matanya terus saja berair, karena ia terus saja menangis tanpa bisa mengontrol dirinya sendiri. "Oppa bilang tidak marah tapi oppa terlihat marah," lanjutnya sembari terisak, sembari berusaha keras untuk menghentikan air matanya– yang tidak bisa berhenti walaupun Jiyong membuatnya tertawa sekalipun.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Potato
FanfictionSweet Potato, si manis yang hangat. Tidak harus ada B setelah A. Tidak harus ada 2 di belakang 1. Nyatanya, hati manusia jauh lebih rumit di banding logika matematika.