41

1.9K 373 13
                                    

***

Sudah dua minggu sejak lagu yang Lisa ajukan pada Jiyong di setujui. Jiyong bilang dia menyukai lagu itu, namun sama seperti Superstar, Jiyong tetap terlibat dalam tiap detik pembuatan lagunya. Sudah dua hari, Jiyong dan Liaa berada di studionya– di agensi– untuk menyelesaikan lagu yang dinamai Sober itu. Saat ini mereka sedang merekam suara gitar untuk lagu tersebut namun Lisa sudah merasa benar-benar mengantuk.

"Oppa, boleh aku tidur sebentar?" ucap Lisa, sembari menunggu seorang gitaris yang datang sedikit terlambat pagi ini– di hari ketiga mereka di studio.

"Tentu saja tidak," jawab Jiyong yang duduk di kursinya sementara kekasihnya berbaring di sofa. Bahkan walaupun Jiyong melarangnya, Lisa tetap saja berbaring di sofa dan memeluk bantal hitam milik sofa tersebut. "Ya! Kau tidak boleh tidur,"

"Kita sudah memasuki hari ketiga tanpa tidur," rengek Lisa yang lantas merentangkan tangannya dengan mata terpejam. "Ayo tidur, sebentar saja... Kau tidak lelah oppa?"

"Heish! Kemana gitarisnya?! Kenapa dia terlambat?!" omel Jiyong pada seorang asisten produser yang duduk di depannya– di depan seperangkat komputer yang menghadap kaca. Dengan malas, pria itu lantas turun dari kurisnya, hendak berbaring di sebelah Lisa, di pelukan gadis itu.

"Selamat pagi, aku tidak terlalu terlambat kan? Semalam aku minum-minum bersama temanku, jadi aku terlambat bangun pagi ini, hehe," ucap seorang wanita yang baru saja datang tepat setelah Jiyong menutup matanya.

Kantuk Lisa langsung menghilang karena mendengar ucapan gadis itu, sang asisten produser juga jadi harus menahan nafasnya karena ucapan si gitaris wanita itu. Sementara Jiyong? Ia hanya melepaskan tangan Lisa dari tubuhnya kemudian bergerak untuk bangkit dari sofa. Begitu Jiyong berdiri, Lisa bergerak untuk duduk di sofa, duduk dengan punggung tegak seperti sang asisten produser yang sudah siap bekerja– memaksa untuk terlihat siap bekerja.

"Kita akan mulai sekarang? Aku akan mengatur gitarku-"

"Tidak perlu," potong Jiyong membuat si gitaris wanita yang baru satu kali bekerja dengan Jiyong itu justru terkekeh.

"Haha jangan khawatir sunbaenim, aku bisa bekerja," ucap wanita itu, sembari tertawa dan menepuk pelan bahu Jiyong– seakan mereka sudah benar-benar dekat. Lisa bahkan tidak berani melakukan itu ketika Jiyong sedang terlihat sangat marah begini. "Aku sudah tidak mabuk, aku sudah bisa bermain dengan-"

"Ya! Apa yang kau pikirkan?!" bentak Jiyong secara tiba-tiba, membuat Lisa dan asisten produser disana langsung menundukan kepalanya dalam-dalam, padahal Jiyong tidak sedang memarahi mereka. "Apa kau tidak tahu kalau hari ini harus rekaman?! Apa kau tidak bisa bersikap profesional?! Kalau kau profesional bukankah kau seharusnya menyiapkan dirimu untuk rekaman hari ini?! Kau tidak ingin terlibat dalam lagu ini?! Ya! Kalau begitu jangan merepotkan orang lain! Kau terlambat dan masih bisa tertawa?! Ya! Dimana akal sehatmu?! Augh! Gadis bodoh sialan! Kita batalkan rekaman hari ini!" marah Jiyong yang kemudian meraih tasnya dan tas kecil milik Lisa. Pria itu pun meraih tangan Lisa dan mengajaknya untuk keluar dari studio rekaman itu– meninggalkan si gitaris wanita yang hampir menangis karena bentakan Jiyong.

"Kenapa dia- dia sangat berlebihan? Aku hanya terlambat sebentar..." gumam si gitaris wanita dengan suara bergetar– hampir menangis.

Sementara di tempat lain, Jiyong menggandeng Lisa ke tempat parkir gedung agensinya. Tidak ada seorang pun yang bicara karena Lisa terlalu takut untuk menegur Jiyong, dan Jiyong sendiri tengah berusaha menurunkan emosinya. Jiyong sama sekali tidak membuka mulutnya– khawatir mulutnya justru akan membuat Lisa merasa tidak nyaman.

"Oppa!" seru Lisa, begitu mobil yang dinaikinya melewati lampu lalu lintas di persimpangan.

"Ada apa?" tanya Jiyong, sembari melirik Lisa yang terlihat panik di kursinya. Gadis itu seakan baru saja mendapatkan sebuah kabar buruk.

"Gawat-"

"Ada apa? Kau melupakan sesuatu di agensi? Handphonemu tertinggal?"

"Tidak," jawab Lisa sembari menunjukan handphone yang ada di dalam tasnya. "Lebih gawat dari itu," lanjut Lisa, sembari menatap Jiyong dengan wajah memelasnya, memandangi Jiyong yang kemudian mengurangi kecepatan mobilnya. "Aku lapar tapi oppa sedang marah," jelas gadis itu disusul dengan suara gemuruh dari perutnya.

"Astaga..." gumam Jiyong yang kemudian menepikan mobilnya di depan sebuah minimarket. "Apa ini yang kau inginkan?"

"Tepat sekali! Tunggu disini- ah tidak! Parkir disana, kita tidak bisa parkir disini dan ditilang lagi, aku akan membelikan makanannya,"

"Tidak bisakah kita makan di rumah saja? Kau tidak bisa menunggu sampai di rumah?"

"Begitu juga boleh, tapi oppa tetap tidak boleh parkir disini," ucap Lisa yang kemudian berjalan keluar dari mobil, masuk ke dalam minimarket dan membeli beberapa makanan disana.

Tidak sulit bagi Jiyong untuk berkencan dengan Lisa. Gadis itu tidak menghubunginya setiap saat, tidak memaksanya untuk selalu bertemu, dan tidak pernah meminta Jiyong untuk menuruti keinginannya. Namun semakin hari, gadis itu semakin menggemaska bagi Jiyong. Semakin hari, Jiyong merasa semakin menyukainya– terutama surat-surat yang dikirimnya. Lisa jauh lebih sederhana dibanding gadis-gadis lain yang pernah Jiyong kencani. Dan piciknya, Jiyong bersyukur karena Lisa penakut, karena Lisa tidak punya banyak teman, karena Lisa selalu gugup di depan orang baru, karena itu membuat Lisa tidak akan berani berselingkuh.

"Bagaimana dia bisa berselingkuh kalau menatap kasir minimarket saja takut," gumam Jiyong sembari memperhatikan Lisa yang tengah berdiri di depan meja kasir dan membayar seluruh barang belanjaannya. Tanpa perlu Jiyong kekang, Lisa sudah membatasi dirinya sendiri, membuat Jiyong tidak perlu khawatir lagi.

Mungkin bagi Lisa, hubungan mereka terasa seperti 50:50. Bagi Lisa cintanya sama besar dengan milik Jiyong. Akan tetapi, bagi Jiyong, hubungan mereka terasa seperti 70:30, dengan cinta Lisa yang lebih besar dari miliknya. Lisa tidak mengekang Jiyong dan Jiyong tidak perlu khawatir Lisa akan berselingkuh, benar-benar sebuah hubungan yang Jiyong idamkan. Terkadang, dengan segala toleransi gadisnya itu, Jiyong mulai berfikir kalau Lisa tidak akan marah bahkan ketika ia berselingkuh. Tapi untuk apa berselingkuh kalau gadisnya sekarang sudah seperti paket lengkap?

"Ayo makan di rumah, ayo pulang, aku lapar dan mengantuk," ucap Lisa setelah gadis itu masuk kedalam mobil Jiyong kemudian menutup pintunya. Sekantong makanan ada di pangkuan Lisa, dan selama sisa perjalanan mereka– yang hanya 20 menit– Lisa mengganjal perutnya dengan sepotong roti. Dan tentu saja gadis itu juga membagi rotinya dengan pria di sebelahnya.

Di rumah Lisa, gadis itu menyiapkan dua ramyun cupnya. Jiyong menunggu di meja makan sembari mengecek beberapa pesan di handphonenya, sementara Lisa menunggu ramyun cup mereka matang di dalam microwave. Baru saja dua ramyun cup mereka matang dan Lisa meletakan ramyun cupnya di atas meja makan, namun pintu depan terbuka dan Taeyong berdiri disana. Taeyong berencana masuk, namun melihat Lisa di meja makan membuatnya sedikit bimbang, karena seperti permintaan Jennie, Taeyong menghindari Lisa untuk menebus rasa bersalahnya.

"Masuklah oppa," ucap Lisa sembari menoleh ke arah pintu depan. Jiyong mengangkat kepalanya, menatap Lisa karena mengira Lisa tengah bicara padanya. "Tidak perlu menghindariku, ini juga rumah mu, berhentilah menginap di rumah temanmu dan pulanglah," lanjut Lisa sementara dengan canggung Taeyong melangkah masuk. Sedangkan Jiyong? Hanya menganggukan kepalanya ketika mengetahui Lisa tengah bicara pada Taeyong.

"Ah? Ya," canggung Taeyong sembari berjalan ke kamarnya. "Ng- Lisa-ya," panggil Taeyong begitu ia melewati meja makan, pria itu menoleh untuk menatap Lisa dan punggung Jiyong yang duduk di meja makan kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Minta maaf? Ya, Jiyong oppa sudah memberitahuku kalau oppa menyesal dan dia juga menyuruhku memaafkanmu," ucap Lisa membuat Jiyong justru mengerutkan dahinya. Bagi Jiyong, Lisa justru terkesan tidak ingin memaafkan Taeyong. "Pria yang sangat kau benci, memintaku memaafkanmu. Aku bisa memaafkanmu, tapi aku tidak berniat melupakan apa yang kau ucapkan padaku waktu itu. Itu benar-benar menyakitkan dan ku harap kau tidak akan mengulanginya lagi, padaku atau pada orang lain,"

***

Sweet PotatoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang