M&M : 6

3.9K 259 1
                                    

Happy reading!

Sita POV

Aku berjalan cepat menuju lift yg tengah terbuka. Meski hak sepatuku menyebabkan suara berisik, aku tidak peduli. Yang penting aku tidak harus menunggu 15 menit lamanya.

"Tungguuuu!!" Teriakku refleks saat pintu lift itu akan tertutup.

Beruntung, seseorang menahan pintu dan membuatku berhasil mendapatkan tumpangan. Aku tersenyum menatap Edward salah satu rekan kerjaku yg juga balas tersenyum.

"Makasi Ed." Namun kebahagiaanku berubah menjadi penyesalan saat kulihat Pak Mahesa ada di dalam lift itu.

Pria itu melihatku seperti biasa. Tajam dan seakan ingin membunuhku. Aku memaksakan senyuman di bibirku dan mengangguk hormat sebelum berbalik menghadap pintu lift.

Jika saja aku tau dia ada disini, lebih baik aku menunggu 15 menit.

Ting.

Lift akhirnya berhenti di lantai 10, dimana kantorku berada. Buru - buru aku melesat keluar, sebelum Pak Mahesa mengikuti. Demi apapun, aku tidak ingin berjalan beriringan dengannya.

"Linda!" Aku tidak tau kenapa, tapi aku hanya ingin meneriakan namanya dan membuat Linda menoleh bingung.

"Ada apa? Kenapa lu?" Tanya Linda heran.

Aku menggeleng, "Engga kenapa - napa."

Sejujurnya, aku hanya merasa takut. Takut tiba - tiba Pak Mahesa berada di belakangku dan memanggil namaku. Sehingga kuputuskan untuk meneriakan siapapun yg kulihat pertama kali.

Tiba - tiba ponselku bergetar. Menunjukkan sebuah pesan masuk dari Hendra.

'Inget pesan gua. Lu harus lakuin itu supaya lu lepas dari amarah dia, Sit.'

Aku hampir saja mengumpat saat membaca pesan itu. Sialan memang. Bukannya membela, Hendra ikut menyudutkan ku.

Mengingat bagaimana kemarin dia menceramahiku membuatku kesal. Tapi, kata - kata Hendra ada benarnya. Ini juga salahku. Seharusnya aku tidak ikut campur. Tapi, semua sudah terlanjur. Kini aku harus menerima konsekuensinya.

Tapi........

Aku mengetik balasan untuk Hendra dengan panik.

'Aduh, Ndra. Masa gua harus minta maaf lagi?'

Drrt..

'Yaiyalah, lu mau sampe kapan di siksa sama dia? Mana tau setelah lu minta maaf dgn tulus dia ga bakal gitu lagi.'

'Tapi, kalo tetap aja gimana dong?'

Drrt..

'Ya nanti gua pikirin. Sekarang sana minta maaf. Kabarin kalo uda.'

Dan berakhirlah percakapan tanpa suara itu. Aku hanya bisa menghela nafas. Bagaimana caranya aku bertemu dengan dia? Lah, dikira gampang. Gila emang si Hendra.

Setelah beberapa saat berpikir, aku akhirnya memutuskan.

**

"Permisi pak." Ujarku pelan setelah mendapatkan ijin untuk masuk ke ruangan beliau.

Setelah bertengkar dengan Hendra saat makan siang, akhirnya aku mengalah. Mungkin Hendra memang benar. Aku harus melakukan ini.

"Ada apa?" Suara sarkastik itu terdengar segera setelah aku melangkah masuk.

Sesaat aku mencoba membersihkan tenggorokan dan mencoba menatap Pak Mahesa. Namun kuurungkan niatku segera, karena ternyata itu lebih mengerikan dari pikiranku. Lagian kenapa dia harus menatapku begitu sih?

"Umm, itu pak, anu."

Kucoba mengintip dan beliau masih tetap menatapku dan menunggu. Wajahnya terlihat tidak senang, dan kesal.

"Jika tidak penting, lebih baik kau keluar."

"Eh, tunggu. Saya mau minta maaf pak." Seruku panik.

Kulihat pak Mahesa menaikkan sebelah alisnya.

"Hmm?" Berikutnya dia sudah meletakkan semua berkas di atas meja dan menyila kedua tangannya di depan dada.

"Jadi, hmm begini pak. Saya merasa sepertinya saya sudah melakukan kesalahan pada bapak. Saya memang sudah minta maaf, tapi sepertinya permintaan maaf itu kurang berkenan. Kali ini.. hmm kali ini saya tulus mau minta maaf. Jika saya ada melakukan kesalahan yg melukai hati bapak, saya minta maaf pak." Jelasku panjang lebar dan refleks membungkuk 90°.

Sekitar 5 menit, aku mempertahankan posisi itu hingga merasa sebentar lagi aku akan mati.

"Baiklah. Aku akan memaafkanmu." Akhirnya suara pak Mahesa membuatku bisa mengangkat tubuhku yg terasa mati rasa.

Aku tersenyum dan kembali membungkuk.

"Terima kasih, pak."

"Tapi dengan satu syarat."

**

"Pak, ini udah jam 9 malam. Saya ijin pulang ya?" Rengek ku karena tubuhku benar - benar lelah.

"Tidak. Aku masih belum puas. Kemari." Suara serak Mahesa membuatku menghela nafas.

Dengan kesal, aku bangkit dari sofa dan berjalan mendekati meja pak Mahesa. Beberapa tumpukan berkas sudah memenuhi meja kerjanya. Penampilannya kini sangat jauh dari kata 'Keren'. Berantakan dan kelelahan. Well, meski begitu ia tetap terlihat tampan.

"Kenapa pak?"

"Ini, kamu periksa lagi laporan ini. Cari nama - nama produk yg tidak ada dilist dan ada disini, nanti berikan tanda. Terus ini--"

"Iya iya ngerti, sini biar saya kerjain." Potong ku sebelum pak Mahesa menjelaskan hal yg sudah kuketahui.

Mahesa menghela nafas dan mengangguk. Membiarkanku mengambil alih laporan yg ia pegang tadi sebelum membuka laporan yg lain.

Well, setidaknya dia tidak memberikan syarat yg mengerikan. Hanya perlu membantunya menyelesaikan tumpukan laporan yg harus selesai sebelum akhir tahun. Dan dia beruntung, bisa memanfaatkan ku. Jika tidak, mungkin dia benar - benar akan menghabiskan waktunya di ruangan ini sendirian.

Perutku tiba - tiba berbunyi. Menandakan bahwa cacing - cacing ku sudah minta di berikan asupan gizi. Aku menyentuh perutku dan menyuruh cacingku untuk bersabar.

Lalu kulihat pak Mahesa kini tengah memejamkan mata dan bersandar di kursinya. Sesekali menghela nafas.

"Pak, saya mau beli makan. Bapak mau?" Aku berjalan mendekati pak Mahesa dan mengagetkannya.

"Hah? Oh. Jam berapa ini?"

"Jam setengah 11 pak." Gumamku pelan.

Wajahnya terlihat tengah berpikir sebelum tiba - tiba menepuk lengan kursi dan berdiri.

"Baiklah. Waktunya istirahat, kamu tinggal dimana?" Tanya Mahesa sembari membereskan barangnya dan mengambil jas nya.

"Hmm.. di deket Wisma 77 Tower 2 pak."

Mahesa menatapku dengan tatapan -kau serius?- yg membuatku otomatis mengangguk.

"Saya bisa naik gojek kok pak." Jawabku refleks.

"Kenapa kau memilih tempat tinggal sejauh itu?"

"Karena ada teman saya pak."

Berikutnya, Mahesa hanya mendengus dan menggeleng.

"Kalau begitu sampai jumpa besok pagi. Kau akan membantuku lagi. Jadi pastikan kau sudah di ruangan jam 8 pagi." Perintahnya sebelum tanpa rasa bersalah meninggalkanku.

Sialan. Mentang - mentang gua nolak, lu jadi manusia ga ada usahanya.

WOY! PEKA DONG! INI UDA JAM 11 MALAM! MASA GUA HARUS PULANG NAIK GOJEK SEJAUH ITU?! SETIDAKNYA KASIH GUA DUIT LEMBUUUUUUUUR!!! MAHAAAAL BEGOO!!

Namun, yg kulakukan hanya menghela nafas dan menatap nanar punggung Mahesa yg perlahan menghilang. Apa bedanya dengan tidak meminta maaf?

TBC

Marsita & MahesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang