M&M : 43

2.7K 193 4
                                        

Happy Reading!

"Hah? Gimana.. gimana? Sorry.. hah?" Sita sama sekali tidak mengerti saat Mahesa menyebut nama Anna sebagai seseorang yang mengetahui kesukaan Yahya.

Tunggu dulu.. bukankah seharusnya Kate lebih menguasai hal itu?

"Tunggu dulu.. hmm coba gimana? Kok mba Anna?"

Mahesa hanya menghela nafas melihat reaksi Sita.

"Karena Anna adalah gadis kesayangannya." Jawab Mahesa simple tapi Sita tidak puas hanya dengan kalimat itu.

"Engga engga bisa. Masih ga paham. Maksudnya?"

Diberi tatapan penuh tanda tanya dan rasa penasaran, Mahesa mendecakkan lidah karena kesal.

"Jadi, kamu mau beli baju atau gimana nih?"

"Mck, kan bisa cerita sambil belanja."

"Gak. Belanja ya belanja. Cerita ya cerita." Jawab Mahesa dengan nada kesal.

Pria itu lalu berjalan pergi, meninggalkan Sita yang heran.

"Lah, kok sensitif amat sih? Mahesa!"

Akhirnya, sambil menunggu kedatangan Anna, mereka menghabiskan waktu menyantap makan siang dan juga cemilan. Iya, cemilan seperti dimsum dan teman - temannya.

"Terus.. Anna itu dari kecil emang uda kenal om Yahya?" Tanya Sita setelah mendengar penjelasan Mahesa.

"Om?!!"

Seakan mendengar kata mengerikan, Mahesa menatap Sita tidak percaya.

"Ya iyakan? Jadi aku mesti manggil apa? Yang mulia kaisar tuan Yahya?" Sambil terus memakan dimsumnya, Sita balik menatap Mahesa dengan heran.

Pria itu terlihat terganggu dengan panggilan barusan tapi ia berusaha mengabaikannya.

"Ya. Dari kecil Anna uda kenal Daddy, itu kenapa dia memaksaku untuk menikahi Anna. Selain karena orangtua Anna adalah mitra kerjanya, mereka juga adalah sahabat baiknya. Bahkan, dia lebih mencintai Anna dibandingkan putrinya sendiri." Jelas Mahesa merasa kesal pada Ayahnya sendiri.

"Hmm... mungkin mba Anna sifatnya sesuai dengan pribadi om Yahya kali ya? Jadi connect gitu, sehati. Makanya klop deh mereka." Ujar Sita mengambil kesimpulan yang disetujui Mahesa.

"Memang. Ambisi Anna dan Yahya sama - sama besar. Mereka berdua lebih cocok jadi ayah dan anak."

"Hmm... ga ah."

Mata Mahesa langsung menatap Sita yang baru saja mengatakan itu. Memberinya tatapan—Apa maksudmu?—yang diselingi rasa kesal.

"Well.. mba Anna meski berambisi masih punya hati nurani. Kalo om Yahya mah kayanya engga sama sekali tuh ya?"

Mahesa memutar bola matanya mendengar jawaban itu.

"Well, itu karena dia seorang psikolog. Ya harus ada hati nurani lah."

"Eh tapi.. ga cuma itu aja. Ada juga lho psikolog gila! Kalo emang psikopat mah psikopat aja meski psikolog juga!" Entah kenapa Sita menjadi sedikit sewot saat mengatakannya.

Marsita & MahesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang