M&M : 38

3.2K 203 7
                                    

Warning!!
Baca abis buka puasa ya readers ya menjalankan wkwk..
Saya uda bilang lho ya, tanggungjawab sendiri. Saya mah lg engga puasa nih..

Happy Reading!

"Hmm. Mck. Hmm." Berulang kali Hendra berpikir apa ia harus menghubungi Sita atau tidak.

Ini sudah lebih seminggu sejak terakhir ia berkomunikasi dengan Sita. Salahkan kerjaan yang membelundak dan mengharuskannya terbang ke luar negeri untuk menyelesaikannya. Ia bahkan kalah langkah dengan Mahesa.

Terdengar helaan nafas dari bibir Hendra saat pembicaraan dan perjanjiannya dengan Mahesa di malam itu. Bagaimana mereka membahas perasaan mereka masing - masing dan bertaruh. Tidak, bukan bertaruh tapi berlomba.

Siapa yang berhasil mendapatkan hati Sita, adalah pemenangnya. Hadiahnya? Sudah pasti mendapatkan Sita.

Hendra tidak tau kenapa, tapi ia tidak ingin memberikan Sita pada Mahesa. Hatinya menolak untuk menerima, meski pada awalnya ia tidak peduli dan malah ikut senang saat temannya itu akhirnya mendapat pasangan. Namun, setelah merasakan bagaimana Sita menjadi jauh dan memperhatikan pria lain, Hendra tidak menyukainya. Ia tau jika ia egois dan jahat, tapi ia tidak mau memberikan Sita pada siapapun. Karena perhatian Sita hanya untuknya.

"Ah! Gisel!" Teringat dengan teman sekosan Sita, Mahesa langsung menghubungi Gisel untuk menanyakan Sita.

Ia baru mengejutkan Sita dengan datang kekosan dan mengantarnya ke kantor nanti.

"Halo? Gisel? Lu dimana? Masih dikosan? Hmm, Sita masi dikosan ga?" Tanya Mahesa dan menunggu saat Gisel mengecek kamar wanita itu.

Mendengar perkataan Gisel, kening Hendra mengerut bingung. Sita sudah pergi?

Hendra mengecek jam di ponselnya sejenak dan melihat jika saat itu masih pukul 7 pagi. Padahal biasa Sita selalu berangkat kerja jam 8. Apa mungkin hari ini ada meeting pagi? Tapi..

"Mungkin belum bangun? Oh, sepatunya uda ga ada? Oke oke. Makasi ya Sel." Setelah menyelesaikan pembicaraan, Hendra menutup telepon dan mengerutkan kening.

Meski mungkin saja Sita ada meeting, tapi Hendra tidak tenang. Seakan ada hal lain yang terjadi. Dan ia takut jika itu berhubungan dengan Mahesa. Jadi, saat mengingat satu teman kerja Sita yang pernah dihubungi Sita dengan ponselnya, Mahesa dengan segera menghubunginya.

"Eung, halo? Ini Linda? Oh gua Hendra. Iya bener. Hmm, gua mau nanya dong. Lu dimana? Oh, masi di rumah? Oke deh, eh tapi, hari ini ada meeting pagi ya? Oh engga, gua nyari si Sita. Haha, iya dia gabisa dihubungi. Oh? Ga ada? Ter..." perkataan Hendra terputus saat Linda mengatakan sesuatu yang ditakutinya.

Sesuatu yang seketika membuat nafas Hendra terhenti sesaat.

'Iya, ga ada. Kemarin sih dia pulang sama pak Mahesa, terus oh bentar.. Sita sama pak Mahesa ada kerjaan diluar kota nih. Mungkin mereka udah berangkat.' Jelas Linda memberikan info yang dibutuhkan Hendra untuk terduduk lemas.

Setelah itu, Hendra diam. Melamun dengan segala pemikiran yang bisa terjadi antara Mahesa dan Sita. Sebagai seorang pria sehat yang sama seperti Mahesa, tidak ada satu pikiran baik yang terlintas di kepala Hendra. Tidak ada jika pria itu bukan pria yang memiliki ketahanan diri sepertinya. Bagaimana jika..

"Sialan!" Maki Hendra merasa begitu marah karena sudah di dahului Mahesa.

Ia mencoba menghubungi Sita pada akhirnya. Tidak lagi merasa ragu dan seperti orang gila menelpon tanpa henti nomer Sita.

"Sita! Lu dimana?! Astaga!" Erang Hendra panik.

🍂🍂🍂🍂🍂

"Jadi, dia ini sepupu kamu?" Bisik Sita di belakang Mahesa.

Marsita & MahesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang