🌻 [9] BAD MOOD

597 277 161
                                    

"Rasa cinta itu bisa berubah menjadi sebuah kebencian dalam sekejap mata, hanya karena satu kesalahan yang fatal."

💙HAPPY READING💙

Mood Dira benar-benar tidak baik. Semenjak kejadian di lapangan kemarin sore, ia jadi selalu merasa kesal sendiri. Apalagi mengingat perkataan Vito yang sangat kurang ajar.

Dira menggerutu kesal. Bagaimana bisa ia memiliki mantan modelan seperti itu!

Sembari menguncir rambutnya, Dira berjalan turun ke bawah untuk sarapan. Gadis itu sudah lengkap dengan seragam sekolah dan juga tasnya.

"Pagi-pagi masa udah cemberut," komentar Vania--Mama Dira.

Dira yang baru saja duduk di kursi meja makan, menoleh pada mamanya yang sedang mengoleskan selai kacang pada selembar roti.

"Lagi bad mood, Ma," ujarnya.

Vania tersenyum geli pada anak gadisnya itu. Remaja zaman sekarang ada-ada saja, terlalu banyak istilah yang kadang Vania tidak pahami.

"Anak cantik mama kenapa bad mood?" tanya Vania lalu duduk di kursi yang bersebelahan dengan Alvin, suaminya.

"Paling gara-gara cowok, Ma."

Dylan yang baru saja turun dari tangga duduk di kursi yang ada di samping adiknya. Berhadapan dengan Alvin.

Tanpa aba-aba Dylan langsung mencomot roti yang tadi diberikan Vania pada Dira.

"Abang!" kesal Dira. "Itu roti aku!"

"Yaelah, roti doang! Pelit banget, sih," cibir Dylan lalu menikmati roti itu dengan lahap sambil tersenyum jahil pada Dira.

"Mama ... liat, tuh, abang," adu Dira pada.

Jika sudah mengadu seperti itu, maka ekspresi Dira akan terlihat sangat lucu. Semua yang melihatnya pun akan merasa gemas.

"Dylan, jangan kayak gitu sama adik kamu," nasihat Vania.

"Iya, Ma," jawab Dylan dengan senyum penuh arti ke arah Dira.

"Ih, Abang!"

Dylan menoleh dengan tampak sok polosnya. "Apa?"

"Mama ...!"

"Udah, udah," ujar Vania lalu memberikan roti baru kepada Dira. "Nih, Mama kasih yang baru."

"Makasih, Ma," ujar Dira sambil tersenyum lalu menoleh pada Dylan sambil menjulurkan lidahnya.

Setelah itu Dira memakan rotinya dengan tenang.

"Papa nanti lembur lagi?" tanya Dylan pada Alvin.

Alvin adalah tipe orang tua pekerja keras. Berstatus sebagai pemilik perusahaan warisan dari almarhum ayhnya, membuatnya harus bekerja keras untuk mempertahankan dan mengembangkan perusahaan tersebut. Hampir setiap hari ia harus pulang larut malam dan bahkan kadang menginap di kantornya.

Selain pekerja keras, Alvin juga tipe orang yang tidak banyak bicara. Cuek, dingin, tetapi sangat peduli apalagi dengan istri dan kedua anaknya.

Berbeda dengan Vania, istrinya yang cerewet dan protektif.

"Mungkin," jawab Alvin. "Papa harus berangkat sekarang. Bisa kamu antar adik kamu?"

"Siap, Pa!" jawab Dylan semangat. Sekaligus takut membuat Ayahnya geram.

Setelah itu Alvin berpamitan, lalu melangkah keluar rumah setelah ketiganya bergantian mencium punggung tangannya.

***

Setelah mengganti seragam putih abu-abu dengan seragam olahraga, para murid kelas XII IPA 1 berbondong-bondong meninggalkan kelas dan menuju ke lapangan.

Kini yang ada di kelas hanya Ferly, Revan, dan Kevin.

"Tadi pagi gue kena amuk bokap, anjir!" ujar Revan mengadu.

Orang tua Revan memang tegas dan galak. Apalagi tahu anaknya sering  tawuran dan bolos sekolah.

"Siapa suruh tawuran," ujar Kevin. "Udah tau bokap lo galaknya ngalahin Bu Reta, masih aja nekat."

Revan mendengkus pelan. "Ya kali lo pada tawuran, tapi gue gak ikut.  Yakin bisa menang tanpa gue?"

Kevin tertawa ngakak di atas meja. Cowok itu sedari tadi memang duduk di atas meja bersama Revan.

"Kita menang, tuh, bukan karena lo, Van," ujar Kevin. "Kita menang karena ada Ferly, nih."

Kevin menepuk bahu Ferly beberapa kali dengan rasa bangga. Namun, Ferly menggerakkan bahunya agar tangan Kevin terlepas dari sana.

"Kita menang karena kita sama-sama. Coba kalau gue cuma sendiri, pasti gak bakal menang juga, kan?"

Perkataan Ferly memang benar. Mereka kuat karena mereka selalu bersama. Memang di antara ke empatnya, Ferly yang paling diunggulkan dalam hal bela diri. Tak perlu diragukan lagi kemampuan cowok satu itu.

Tawuran dengan anak-anak SMA Taruna kemarin lagi-lagi dimenangkan oleh SMA Adhitama. Ferly yang paling banyak menyerang lawan dan membuatnya bonyok.

Meskipun begitu, tidak ada luka sedikit pun di wajah atau tubuh Ferly. Lain halnya dengan Kevin yang merasakan sakit di sekujur tubuhnya, juga Revan yang wajahnya memar-memar. Itulah sebabnya ia dimarahi habis-habisan oleh orang tuanya tadi pagi.

"Udahan ngobrolnya. Ayo ke lapangan," ujar Iqbaal yang muncul di pintu kelas. Pasti ia diperintahkan oleh guru olahraga untuk memanggil ketiga temannya tersebut.

Dengan ogah-ogahan ketiganya berjalan keluar dari kelas.

"Bisa izin gak, sih? Sakit semua nih badan gue," keluh Kevin sambil memegangi pinggangnya yang terasa encok.

"Enggak usah izin, bolos aja," ujar Ferly seenaknya.

Iqbaal yang berjalan di depan ketiganya langsung menoleh. "Gak ada bolos-bolos!"

Telunjuk Iqbaal mengarah pada Ferly "Lo, Fer. Mau lo gak dikasih jajan sama kakek? Mobil, motor, kartu kredit, semuanya ditarik kakek, mau?"

"Shit!" umpat Ferly kasar.

Mengenai ancaman itu, Ferly tahu kakeknya tidak pernah main-main. Saat masih kelas sebelas Ferly pernah diancam seperti itu, tetapi ia tetap nekat membuat kerusuhan di sekolah. Alhasil, semua fasilitsnya dicabut oleh kakeknya dan tidak diberi uang jajan ke sekolah.

Ferly sudah merasakannya, dan tak ingin mengulangi kesalahan yang sama.

Maka dengan berat hati ia dan kedua temannya terpaksa harus ikut jam olahraga minggu ini.


***Juara Kedua***

Hello guys!

Kasih tanggapan kalian dong sama part ini, hehe.

Btw maaf yaaaa part ini jadinya pendek kaliiii huhu😭

JUARA KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang