30

592 82 0
                                    

Bel pintu berbunyi dua kali. Cean yang tengah memanggang roti di dapur bergerak cepat membuka pintu rumah.

"Siapa?" tanyanya tanpa melihat kedepan. Ketika ia mendongak seorang laki-laki berdiri didepannya, dengan kaos putih yang terbalut sweater biru tersnyum manis menyapanya.

"Selamat malam, apa benar ini kediaman mbak Oceana?" sapa Hendery. "Ada kiriman bunga mbak dari saya, mohon diterima." lanjutnya menyerahkan seikat bunga.

"Lo kenapa sih? Tumbenan." tanya Cean heran, ia pun menerima bunga itu.

"Gak kenapa-kenapa tuh, biasa aja. Emangnya gak boleh bertamu? Biasanya juga dateng ga bilang sama lu." balas Hendery.

"Ya boleh aja sih. Masuk aja, Kak Kun di kamarnya." Kata Cean menyingkir dari depan pintu.

Hendery melepas alas kakinya dan melangkah masuk kedalam ruang tamu. Ia tersenyum kecil lalu merangkul pundak Cean.

"Gue gak mau ketemu Kun, tapi mau ketemu Lu. Gak apa-apa kan?" katanya memberitahu.

Cean cukup terkejut dengan ucapan Hendery barusan. Lagi dan lagi diperutnya seperti ada kupu-kupu yang berterbangan.

"Gak apa-apa." Kata Cean membalas.

Cean langsung pergi ke dapur dengan langkahnya yang sengaja ia lebar-lebarkan. Rasanya tak tahan jika terus berdiri sedekat itu dengan Hendery. Bisa-bisa ia mati muda karena jantungan.

Yah sedikit berlebihan, tapi itu kenyataannya.

Cean menghampiri toast maker yang baru saja mengeluarkan roti yang ia panggang. Ia memindahkannya ke atas piring lalu membawanya ke bar.

"Kamu lagi ada masalah ya di tempat siaran?Tadi ada mbak mbak nyamperin aku pas ke Cafe." Cean menyeletuk.

"Dia ngomong apa aja? Namanya siapa?" respon Hendery yang tengah menuang susu cair kedalam gelas.

"Dia bilang kalau dia lebih tua daripada kamu, namanya Aisyah. Terus dia bilang kalau kamu lagi ada masalah di tempat siaran. Wah gila sih gak nyangka ada yang ngefans sama kamu." jelas Cean membalik badannya dengan wajah terkejutnya.

"Terus dia bilang apa lagi? Gak nyeritain aneh-aneh kan?" tanya Hendery yang kini tengah menutup kembali kotak susunya.

"Wah jelas nyeritain dong. Malah aku yang minta Mbak Aisyah buat cerita. Nih aku tadi dikirimin sama dia." jawab Cean bersemangat lalu memperlihatkan layar ponselnya pada Hendery.

Layar ponsel Cean menunjukan sebuah video yang tadi sore ia dapatkan dari Mbak Aisyah. Hendery menonton video itu lalu menunduk malu.

"Jangan ditonton lagi An, malu gue." Kata Hendery.

Cean terkikik, ia pun menyimpan kembali ponselnya kedalam saku. "Lucu banget tau. Lagian se-gabut itu ya?"

"Iseng doang itu. Gak gabut-gabut amat kok." bantah Hendery malu.

"Ry gue boleh gak sih main ketempat siaran lo? Selama ini kan gue gak cukup tau tentang dunia lo. Gue janji gak nyusahin, gak ngerepotin lo." tanya Cean sambil menyerahkan selembar roti panggang dengan selai strawberry pada Hendery.

Hendery mengangguk-angguk. "Boleh kok, gak ada yang larang. Lo bisa datang jam 8 malem, karena itu jam istirahat. Kalau perlu gue jemput." ucap Hendery.

"Eh gak usah, jauh tau dari sana ke rumah gue." Tolak Cean cepat.

"Iya iya. Gue siaran malam setiap hari selasa dan rabu." ucap Hendery menginfokan.

"Wah rabu ya? Jadi inget sama penyiar yang sering gue dengerin dan sering gue hubungi kalau malem. Dia juga dari company yang sama dengan lo." Kata Cean ceria, seperti habis menerima hadiah besar.

"Terus?"

"Ya mungkin kalau gue main kesana gue bisa kali ketemu juga sama penyiar favorite gue haha, gak sabar." balasnya lagi.

"Jadi kesana mau nemuin gue apa nemuin dia?" Tanya Hendery jealous.

"Cie elah jealous masnya. Hahaha," tawa Cean nyaring.

Hendery melepas pegangannya pada sendok lalu mencubit pipi Cean.

"Berisik!!" serunya kesal.

"Lo udah persiapan buat ulangan?" Tanya Cean masih tertawa.

"Udah dari jauh hari. Ntar pas hari ulangan gue gak perlu belajar sana-sini yang berakhir gue lupa sama pelajarannya." Hendery menjawab.

"Susah ya anak pinter, ulangan mah berasa tanya jawab doang." Cibir Cean

"Amiin gue pinter amin." Ucap Hendery mengaminkan.

"Kalo di inget-inget, berarti kita udah kenal hampir enam bulan ya? Lama juga. Dan kita gini-gini aja." Ucap Cean lalu melahap rotinya.

Dan kita gini-gini aja.

Hendery terdiam. Ia tersenyum pahit. Memang berat rasanya berada di posisi seperti ini. Atmosfir di sekeliling mereka pun mendadak berubah. Seperti sedikit tegang dari sebelumnya, dan lebih banyak terdengar helaan nafas ditimbang bicara.

"Ntar kalo gak gini-gini aja gak ada yang di tunggu." Ucap Hendery bermaksud bercanda, namun gadis itu menanggapinya dengan hal yang berbeda.

"Gue terus-terusan ragu sama diri gue, sama perasaan gue. Bahkan terkadang ragu sama lo." ucap Cean lirih. "Ah, abaikan." Katanya lagi.

Hendery tersenyum. "Semua perlu waktu, waktu yang menentukan kapan 'suara' itu akan terdengar."

Cean balas tersenyum. "Jangan merasa terpaksa."

—//—

Halo!
Akhirnya aku bisa update lagi huhu.
Habis ulangan langsung deh lebaran. Yaudah nambah-nambah dikit hiatusnya hehe 😜

Oh ya! Aku mau minta maaf sama kalian kalau aku ada salah kata atau perbuatan selama menulis cerita ini. Barangkali ada yang tidak suka, atau merasa gimana dengan aku mohon dimaafkan ya!

Minal aidzin walfaidzin!!
Mohon maaf lahir dan bathin🤗

Suara; HenderyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang