Hendery melangkah dengan mantap memasuki pekarangan rumah sakit. Di tangannya ada se-bouquet mawar putih. Kesukaan Ibunya. Senyumnya merekah ketika perawat mengatakan Ibunya baru saja selesai makan malam, dan kini sedang berada di perpustakaan, mengisi jam bebasnya untuk membaca.
Setelah selesai berbincang dengan dokter yang menangani Ibu, Dokter Tara, Hendery berpamitan dan menemui Ibunya dengan diantar seorang perawat menuju Perpustakaan.
"Bu?" Panggil Hendery, lemah dan lembut dari belakang punggung yang tengah membungkuk, nampak seperti sedang membaca sebuah buku.
"Ya? Hendery, kaukah itu nak?" Suara itu menyahuti.
"Ya, aku datang Bu." Balas Hendery kemudian menarik kursi yang ada di sebelah ibunya.
"Tumben sekali kamu datang saat malam begini. Tidak takut?" Ucap Ibu sembari membelai rambut Hendery.
Hendery tertawa kecil. "Takut pada apa? Hantu?" Tanyanya. Ibu mengangguk menjawabi.
"Untuk apa? Toh mereka lebih takut padaku." ucapnya sambil terkikik.
Ibu terkikik. Ia masih mengusap rambut Hendery. "Gimana sekolahnya? Apakah menyenangkan? Ibu sudah tidak sabar untuk pulang." Ucap Ibu menatap lembut putranya.
"Yah, cukup menyenangkan. Apalagi sejak aku berkenalan dengan adik temanku. Ibu tahu Kun bukan? Ia punya adik, Oceana." Jelas Hendery tersenyum kecil.
"Cantik?" Tanya Ibu.
Hendery mengangguk. "Tentu. Dia juga begitu baik pada semua orang, biarpun terkadang menyebalkan."
"Oh ya? Coba ceritakan pada ibu." Ibu terlihat tertarik, ia meminta Hendery untuk menceritakaan dan tentu dengan senang hati Hendery akan menceritakaannya.
"Bu,"
"Ya?"
"Mau bercerita sambil berkeliling taman?" Tanya Hendery mengajak ibunya untuk keluar dari perpustakaan.
"Mengapa? Bukankah disini nyaman?" Lagipula kita tidak menganggu siapapun." Ucap Ibunya.
Hendery cemberut. "Oh ayolah bu, hidungku gatal berada di tengah-tengah buku seperti ini."
"Ah itu! Maaf. Mari keluar."
-o-
Setelah mencium kening Ibunya dan berpamitan, Hendery melajukan mobilnya keluar dari area gedung perawatan ini. Nanti, ia akan kembali kesini, tentu untuk menjemput Ibunya pulang.
Sudah lima tahun ia selalu pergi dan pulang dari rumah kemari. Dan selama lima tahun itu juga ia tidak pernah sekalipun bertemu Ayahnya apalagi Mama, Ibu tiri Hendery dengan waktu yang lama. Hanya berpapasan ketika keluar kamar saat pagi hari, atau ketika mereka sedang tidak ada keperluan diluar. Itupun sangat jarang. Benar-benar jarang. Sungguh, diantara mereka sudah tidak ada lagi amarah yang terpendam, mereka sudah berdamai denagn satu dan yang lain.
Lima tahun lalu, ketika Hendery masih duduk di kelas satu SMP , sebuah bencana datang di tengah-tengah keluarganya. Ayahnya yang dikenal sangat bijaksana dan jujur tiba-tiba berubah. Dibalik itu semua ternyata tersimpan sebuah rahasia besar, Ayahnya ketahuan berselingkuh dengan perempuan lain. Dan kejadiannitu tepat sebulan setelah mereka kehilangan calon adik Hendery.
Kondisi itu semakin memperparah fikiran Ibu, beliau semakin tertekan. Hendery yang kala itu masih berumur duabelas tahun, cukup mengerti akan penderitaan ibunya. Ia juga menyampaikan pendapatnya pada Ibu, kalau ia bersedia untuk hanya hidup berdua dengan Ibunya. Terlepas dari hubungan dengan Ayahnya. Dan tentunya Ayah Hendery menerima dengan senang hati keputusan anak laki-lakinya itu. Dan sebulan kemudian, setelah Ibu Hendery merasa siap, mereka bercerai di depan pengadilan. Hak Asuh Hendery jatuh pada Ayahnya.
Hendery menolak. Ia takmau tinggal bersama Ayahnya yang berkhianat. Lantas, Ibunya meyakinkan, bahwa Hendery akan baik-baik saja dengan Ayahnya. Dan ibu akan baik-baik saja disana. Ya. Di pusat rehabilitasi yang takpernah terfikirkan untuk tinggal didalamnya.
Hendery pintar, cerdas. Ia tahu bahwa Ayah dan Mama akan sibuk terus menerus, ia akan diberikan fasilitas dan uang dan segalanya untuk menunjang kehidupannya. Mama memanglah berasal dari keluarga berada, maka dari itu semua kemewahan dapat ia rasakan. Berlebih-lebih dari posrsi seharusnya. Maka dari itu, setiap Ayahnya memberikan uang yang begitu berlimpah, selalu ia simpan dan hampir tak ia sentuh jika ia tidak terdesak.
Tiga Tahun kemudian, ketika umurnya dengan uang yang ia kumpulkan selama 36 bulan. Ia membeli sebuah rumah. Hanya rumah kecil yang nantinya akan menjadi tempat dimana ia dan ibunya bernaung jika tiba-tiba Ayah mengusir mereka dari rumah.
Hendery selalu berkunjung, membawa sebuket bunga mawar putih ketika ia datang menjenguk. Namun kala itu, ia datang dengan seseorang, orang itu adalah developer yang mengurusi rumah yang akan Hendery beli.
Pada saat itu Hendery mengatakan:
Bunda, memang aku belum berkerja, tak akan terfikirkan olehmu bahkan satu orangpun bahwa anak berumur duabelas tahun dapat membeli rumah sendiri.Bunda, Ayah selalu kasih Dery uang. Itu sangat banyak, dan menurutku selalu berlebihan untuk jajan seorang anak SMP. Aku mengumpulkannya bunda, setiap ayah memberi, langsung aku masukan amplopnya kedalam laci dan aku kunci. Tiga tahun bunda, sembilan puluh lima juta. Uang Hendery, halal. Untuk bunda. Tidak mencuri, tidak mengambil hak orang lain. Murni pemberian Ayah dan Mama.
Bunda, Hendery membelikan rumah untuk bunda. Tak sebesar yang selama ini kita tinggali, namun cukup didalamnya untuk kita berlindung dan memulai lembar baru kehidupan kita. Bunda, Hendery berharap bunda mau dan menyetujui untuk menandatangani kontrak ini. Boleh kan Bunda?
Dan saat itu, developer menangis, perawat yang selalu menjaga pun juga menangis. Ibu pun juga menangis karenanya. Karena Hendery. Putra kecilnya yang kini telah mulai tumbuh dewasa. Dengan haru, Ibunya menandatangani surat Kontrak. Hanya menandatangani. Semuanya, segala surat, dan apapun yang dibutuhkan, sudah Hendery siapkan.
Tadi, Dokter bilang, bahwa ibu sudah normal kembali. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan seperti dulu. Menangis, berteriak, menjambak, melukai dirinya sendiri. Kini telah aman. Sudah tiga bulan, dan secepatnya, terserah pada Ibunya kapan, ia dipersilahkan pulang.
Hendery tentu memberitahu berita bagus ini pada Ibunya. Tadi saat mereka berjalan-jalan sebentar di taman. Dan ibunya bertanya, Minggu depan, saat kau selesai ujian. Dan Ibunya juga meminta, jika gadis yang Hendery ceritakan tidak keberatan, bolehlah ikut serta untuk menjemputnya nanti. Hendery mengangguk memahami permintaan ibunya itu.
—//—
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara; Hendery
FanfictionOceana tidak pernah menyangka seseorang yang mengantarkannya pulang ternyata teman dekat saudara kandungnya. Oceana juga tidak menyangka tempat dimana ia selalu mengeluarkan keluh kesalnya ternyata orang yang ia cintai. Oceana juga tidak menyangka...