Cean mengencangkan ikat rambutnya. Setelah selesai mengganti kemeja sekolahnya dengan seragam olahraga, Cean bersama Agata dan Cindy menyimpan baju mereka kedalam loker lalu berkumpul di lapangan sekolah.
"Panas banget buset." Celetuk Cindy setelah melihat termometer di tembok sekolah.
"Wah gila, 32 derajat. Bukan keringatan karena olahraga ini mah, malah keringatan karena kepanasan." Sahut Cean juga ikut melihat benda yang di perhatikan Cindy.
"Paling kita olahraga di lapangan indoor. Gak mungkin Kak Jungwoo mau olahraga panas-panasan. Dia kan sayang muridnya." Celetuk Agata dari belakang.
"Cindy, Cean, Gata! Baris woy!" Tegur Hanbin dari arah lapangan. Ketiganya pun segera menyusul teman-teman sekelas yang lain.
Barisan sudah rapi, Kak Jungwoo selaku guru pembimbing pelajaran olahraga-pun sudah mengambil tempatnya. Di depan sana, kak Jungwoo mengarahkan kami untuk pergi ke lapangan indoor sekolah, seperti tebakan Agata lima belas menit yang lalu.
Sambil mengipasi wajah dengan tangan, sambil merutuki terik matahari yang membakar kulit. Seluruh murid bergegas untuk pergi ke lapangan indoor sekolah, tanpa terkecuali Cean dan kawan-kawannya.
"Ntar makan apa ya?" Celetuk Cindy tiba-tiba bertanya.
"Pengen nasi campur masa? Gue beli nasi campur deh ntar." Ucap Agata merespon celetukan Cindy.
"Gue malah pengen seblak, padahal panas gini cuacanya." Ucap Cean.
"Gue mah maunya makan mie ayam." Sahut seseorang tiba-tiba. Sontak tiga gadis itu menoleh ke sumber suara di belakang mereka.
"Apaan sih nyambung-nyambung aja. Gak ada kabel telpon padahal." Cibir Agatha dengan wajah tidak sukanya.
"Cie elah mbaknya galak amat. Maaf deh, gak ganggu lagi kok." Ujar Hanbin lalu terkekeh dan menyalip gerombolan.
"Heran gue tuh sama dia, suka bener usil. Gak capek apa ya usil mulu?" Cicit Agatha yang masih kesal. Dia tidak suka jika ada orang yang dengan sekenannya menyambung obrolan orang lain.
"Udah Tha, jangan marah-marah. Udaranya lagi panas ntar lo makin panas." Tenang Cean menepuk pundak Agatha.
Langkah kaki murid kelas sebelas IPS berhenti di depan pintu coklat yang terbuka lebar. Mata-mata itu memandang tanpa kedip, melihat kejadian di depan mereka. Dua orang anak laki-laki dengan seragam yang sudah urak-urakan terlihat sedang baku hantam. Saling memukul, melukai lawanya.
"Itu bukanya kakak kelas yang sering nyamperin Oceana? Iya gak sih? Apa aku salah lihat?" Bisik murid perempuan yang berdiri di garda depan.
"Ada apa sih An?" Tanya Cindy pada Cean.
"Gak tau tuh, gue gak liat ada apa disana." Jawab Cean seadanya sambil berjinjit, berusaha melihat sesuatu yang menjadi pusat tontonan.
Tak lama kemudian, lengkingan suara pluit memenuhi ruangan. Suaranya terpantul nyaring, di susul dengan seruan garang.
"Adhlino! Junenderick! Kalian ini apa-apa an berkelahi di sekolah? Tidak bisa apa di bicarakan baik-baik? Atau kalian sok jago?" Tegur seseorang yang kemungkinan besar adalah seorang guru.
"An adhlino katanya, maju gih maju biar keliatan." Ucap Cindy mendorong bahu Cean dan membantunya untuk membuka jalan.
Mereka bertiga pun akhirnya dapat melihat dengan jelas siapa gerangan yang menjadi penghalang mereka untuk masuk kedalam gedung olahraga. Di tengah-tengah sana, Hendery Adhlino dan Junenderick tengah berdiri dengan tangan terkepal dan nafas terengah-engah.
Cean membulatkan matanya, terkejut melihat dua orang tersebut yang tampangnya sudah tidak karu-karuan lagi. Baju urak-urakan, tulang pipi memar, sudut bibir berdarah. Sungguh pemandangan yang sangat tidak mengenakan.
"Kalian berdua ikut saya ke kantor. Anak seperti kalian itu perlu di beri pelajaran." Titah guru itu lalu menyeret keduanya keluar dari keramaian.
Hendery dan Cean sempat terlibat kontak mata, sebelum akhirnya punggung cowok itu menghilang di balik pintu kayu yang tertutup dengan sendirinya.
Cean tak mengerti arti tatapan itu, yang pasti sekarang hanyalah bagaimana kondisi Hendery dan juga jantungnya yang tiba-tiba berdebar dan berdenyut nyeri. Sebelum akhirnya kesadaran dirinya hilang dan jatuh ke lantai.
-//-
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara; Hendery
FanfictionOceana tidak pernah menyangka seseorang yang mengantarkannya pulang ternyata teman dekat saudara kandungnya. Oceana juga tidak menyangka tempat dimana ia selalu mengeluarkan keluh kesalnya ternyata orang yang ia cintai. Oceana juga tidak menyangka...