O7. Adimas

3.3K 426 17
                                    

"Asahi. Kenapa Anna tiba-tiba pulang, ya? Padahal kan Haruto mau berbicara sebentar dengan Anna."

Malam ini Haruto dan Asahi sedang duduk di depan rumah sembari bertukar kata. Untuk pertanyaan Haruto barusan, Asahi agak dibuat kalang kabut tak karuan. Pasalnya, Anna lekas pulang sebab tadi diusir olehnya. Kalau Asahi mengatakan yang sebenarnya, Haruto pasti akan marah besar.

Mungkin sekali-kali berdusta dengan sang adik rasanya tidak akan apa. "Kecapekan, kali."

"Hmm. Masuk akal juga, sih. Hari ini ada pelajaran olahraga." Syukurlah, Haruto bisa percaya. Kini Asahi sudah bisa bernapas lega.

"Demam kamu udah turun, Dek?" tanya Asahi sembari menempelkan punggung tangannya ke arah kening Haruto, sesekali dia akan mengusap kepala sang adik yang kini sedang terbaring di atas pahanya.

"Sudah, kok. Besok Haruto boleh sekolah, kan?"

"Boleh. Mau Kakak anter?"

"Tidak perlu. Haruto berencana mau mengajak Anna berangkat sekolah bersama."

Tidak ada angin tidak ada badai, air muka yang giat menggenang di roman Asahi seketika berubah manai. Sungguh, Asahi hanya ingin adiknya tidak berhubungan dengan orang lain. Masih ia simpan kenangan lama di mana Haruto sempat menangis kencang sebab kehilangan seseorang. Dan Asahi tidak mau hal itu terjadi lagi.

Sejenak, Asahi belai anak rambut Haruto seraya tersenyum tipis. "Dek. Emang kamu nggak takut ya kalau suatu hari nanti Anna bisa aja pergi?"

"Kenapa harus takut?" Haruto bangkit dari pembaringannya, kemudian menatap Asahi lekat-lekat. "Bukankah Asahi sendiri yang pernah bilang jika pulang perginya manusia sudah menjadi hal biasa? Hidup juga tidak luput dari yang namanya duka dan lara."

Haruto, meski perasaan kamu tulus ketika merangkai kata akan hal itu, akan tetapi masih sukar untuk Asahi percaya. Jejak-jejak masa kecilmu sirna dimakan rasa trauma. Kamu lupa. Kepingan-kepingan itu menghilang begitu saja.

Masih teringat jelas dalam memori Asahi. Bagaimana malam-malam yang sunyi datang menemani. Selingan rintih tangis lirih darimu masih pekat Asahi dengar. Dulu, hadirmu dunia salahkan, hanya dua orang saja mau menerima. Ayah dan kakak laki-lakimu. Satu orang pergi, kamu tangisi.

Lantas, ketika Asahi sudah tidak lagi di sini, ke mana hidup akan membawamu berlari?

"Kakak cuma nggak mau kamu sedih lagi. Sewaktu lihat kamu menangis saja, hati Kakak udah kayak dicabik-cabik nelangsa."

"Haruto tidak akan membuat Asahi bersedih. Haruto berjanji akan menjadi adik yang baik."

Ketika itu pula, Haruto lantas mendekap raga sang kakak. Pelukan hangat laki-laki itu benar-benar sangat bisa mendamaikan raga nan jiwa. Apabila Asahi menyapu surai adiknya di malam hari, dia akan menangis seorang diri. Lalu berdarma kepada semesta bahwa dia akan menjaga Haruto selama-lamanya.

Biar bagaimanapun juga, Asahi tetap akan menggendong Haruto untuk meniti jalanan setapak meski penuh bara api yang siap membakar kakinya kapan saja. Haruto harta benda yang ayahnya wariskan kepadanya, prasasti yang teramat berharga kalau baginya.

Berapapun harga yang harus dibayar, sebanyak apapun rasa sakit kian menyambar. Laki-laki itu berkenan menyumbang janji bahwa dia akan menjaga adiknya dengan sabar.

***

Pagi ini setitik embun acap kali menggelayut ujung daun. Mereka enggan gugur tatkala matahari kembali mengambil singgasananya di ufuk timur. Korelasi antara embun pagi dan hujan di musim semi pun terasa amat serasi. Pagi yang indah untuk berjejak di tengah adimarga kota kalau kata Anna.

[✔] Narasi Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang