***
Asahi tahu bagaimana cara menjadi kuat, tapi dia tidak pernah paham akan perihal larat. Sejak dulu, laki-laki itu selalu menuntut kepada diri sendiri untuk bisa tabah menyeberangi jembatan panjang dalam hidupnya yang penuh akan derita sungkawa.
Semua terlihat baik-baik saja. Asahi murah hati. Dia pemuda biasa. Suka menolong. Suka mengasihi. Namun untuk mengasihani diri sendiri, mereka rasa dirinya tidak kan bisa.
Agaknya aneh. Asahi memang laki-laki aneh. Seperti kata Anna, dia laki-laki pikiran kosong. Hidupnya seakan tak memiliki tujuan apapun selain merawat adiknya yang amat rapuh itu.
Pada kesempatan malam ini, ketika hujan tidak lagi berjumpa dengan bumi, ia rekatkan sejenak sang daksa yang kini suah terlanjur lelah. Beberapa kali terdengar desah napas Asahi menggemuruh di tengah keheningan, beberapa lainnya tertampak dirinya sedang tertidur lelap.
Keringat lagi-lagi membanjiri pelipis Asahi tanpa alasan pasti. Sudah biasa kalau kata purnama raya, dalam tidur saja laki-laki itu tidak pernah lega. Meski mata itu kini sedang terpejam sempurna, akan tetapi pikirannya berlalu lalang ke mana-mana. Tak sempat ia rasakan sewaktu kecil, bagaimana lagu tidur menjejaki malamnya yang kelabu, bagaimana indahnya langit biru. Itu semua tak pernah Asahi rasakan. Sebab, semasa hidup -pun sampai sekarang, dia tidak pernah sudi melihat keinginannya sendiri.
Haruto ... Haruto ... Haruto. Nama itu tansah menjadi alasan kenapa Asahi masih berusaha untuk tetap hidup di dunia ini. Setiap harapan yang adiknya gumamkan seolah menjadi sebuah kewajiban yang sepatutnya ia kabulkan. Selalu saja seperti itu. Padahal, Haruto tidak menuntut apapun. Sungguh. Hidup dengan Asahi saja Haruto sudah sangat bersyukur.
Satu-satu daun kering gugur di depan pekarangan rumah, luruh suaranya seakan mampu menggait hasrat laki-laki itu untuk segera terbangun sejenak. Sebenarnya, bukan atas alasan itu Asahi mau membuka mata. Sepuluh detik lalu dirinya mendengar sebuah melodi tembang lagu lawas milik tanah seberang.
"Ba-lonku ada lima .... Rupa ... ru-pa warnanya ...."
"Hijau ... kuning ... kelabu .... Me-rah muda. Dan ..."
"... biru."
Begitu mendengar irama yang dikidungkan bersama suara piano nyaring itu, tergerak dalam pikiran Asahi untuk segera bangkit dan membawa raga ke dalam gudang belakang. Mata Asahi langsung lepas kendali saat ia tapaki eksistensi Haruto sedang duduk di depan benda usang yang telah lama bertengger di sana. Tangannya pula giat menekan lembut tiap-tiap tuts bersama nyanyiannya yang amat merdu.
"D-Dek ...."
Seakan rungunya tak mampu mengindra laras Asahi, dirinya masih lanjut memainkan piano hitam itu. Demi apapun, Asahi sangat ketakutan sekarang. Bagi pemuda tersebut, panorama yang sedang ia pirsa merupakan sebuah bencana.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Narasi Musim Semi
Fanfiction❝Perihal riwayat kehidupan Haru. Sosok remaja yang takut tumbuh dewasa.❞ ______________________________________ ● treasure tbz izone fanfiction ● watanabe haruto © benaluna