36. Perjalanan Satu Malam

1.5K 186 0
                                    

Untuk kesekian kali pada hari yang silam ini, Asahi mencurahkan isak tangisnya kembali. Tidak apa-apa jika dirinya tak mungkin mampu memendam kehendak untuk tidak menangis lagi. Karena semua yang ia kisahkan pada malam ini hanya bernaas sama, tidak jauh berbeda dari kata duka nan sungkawa.

"Jadi ... itu alasan kamu nggak pernah mau Haruto tahu? Tentang hari ulang tahunnya sendiri." Semilir bayu memperkenankan Anna untuk bertanya perihal sesuatu.

Asahi sudi mengindahkan sembari masih setia menenggelamkan roman. "Bukan berarti aku nggak mau adikku tahu. Hanya saja, aku takut dia akan ingat kejadian itu, lalu merasa bersalah seperti dulu. Sudah beberapa tahun ini Haruto nggak nanyain sesuatu pasal ulang tahunnya. Bahkan kadang dia lupa kalau ayah udah lama pergi ninggalin kita."

"Kadang, pulang sekolah Haruto sering nyariin ayah di belakang rumah. Waktu aku bilang ayah udah berangkat ke surga, Haruto cuma mandang langit sambil bilang ..."

"... Kapan ayah bawa kita pergi ke surga?"

Air mata Anna turut tumpah saat itu juga. Apalagi ketika dirinya berkenan menoleh pada konfigurasi Haruto yang kini masih giat bermain dalam pondok barunya, lantas tertawa saat ia jatuh dari anak tangga. Semua yang ia lihat dan ia dengar malam ini sungguh menyiksa kalbu. Langit yang kelabu laksana hati Anna yang tak disangka berubah pula menjadi abu.

Sejenak, teriakan sumbang dari oknum bernama Haruto tiba-tiba berkumandang. "Ayah! Lihat! Haruto dan Asahi sudah memiliki istana sendiri!"

Seruan itu Haruto tujukan kepada bumantara. Dengan ini, diharapkan ayah dapat mendengar sorakan bungsu meski jarak yang terpatri antar mereka amatlah jauh. Untuk menggapai langit merupakan sebuah ihwal yang begitu sulit. Haruto hanya bisa berharap jikalau angin malam sudi mengirim pesan darinya sampai di depan gerbang surga.

Langkah demi langkah, detik yang telah usai terjalani, dan musim semi yang kini lekas pergi sudah Anna lewati dengan sepenuh hati. Tidak terasa hari sudah begitu larut dan kisah keluarga mereka usai diriwayatkan begitu runtut. Ada berapa banyak lagi rahasia masa lalu yang Asahi sembunyikan sedari dulu? Sejujurnya Anna ingin mendengar semua perihal mereka. Mulai dari bunda, sampai alasan ketiganya pindah.

Tapi Asahi menolak.

Dia bilang ....

"Suatu saat kamu akan tahu. Saat aku sudah mempercayai kamu. Apa yang belum kamu dengar akan kamu dengar. Dan apa yang belum kamu tangisi akan segera kamu tangisi."

"Jadi, Anna. Buat aku percaya bahwa kamu bukan manusia seperti mereka."

***

Sedari pengumuman dua hari yang lalu, perjalanan satu malam menjadi salah satu acara paling ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa-siswi dan juga para guru. Entah apa yang istimewa, Anna rasa tidak jauh berbeda dengan piknik-piknik biasa. Akhir-akhir ini gadis itu memang sangat malas berpergian ke mana-mana. Paling-paling, tempat yang sering ia singgahi cuma kediaman Hamada belaka. Selebihnya Anna hanya merutuk di rumah saja, atau mungkin pergi menemui teman baiknya, Miyawaki Sakura.

Pagi ini sekolah sedang ribut-ributnya dengan keluhan para murid yang gencar merengek sebab dari satu jam lalu dijemur di tengah teriknya lapangan. Wali kelas mereka bilang akan ada pembinaan sebelum pemberangkatan. Namun yang dinanti-nanti tak kunjung menampakkan hilal bayang-bayang akan kehadirannya.

"Lama-lama kita jadi ikan asin dijemur sejaman gini. Pembimbingnya ke mana, sih?! Ngaretnya lama banget, njir." Dalam hiruk-pikuk kicauan mereka, yang mau Anna dengar hanya rengekan dari Sakura semata.

Tak lama Anna tertawa sebab wajah Sakura yang kini terlanjur memerah masam. "Sabar kali, ah."

"Na!"

Persetan dengan pekikan dua kakak beradik itu, Anna sungguh menyesali perbuatannya dulu. Sebab, untuk beberapa saat kemudian Juyeon pula Hyunjae tiba-tiba datang sembari menyodorkan sekaleng minuman.

[✔] Narasi Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang