44. Katakan Sesuatu

1.3K 155 0
                                    

Hari ini bumi sedang berduka. Ia tumpahkan tangis atas kesedihan yang tengah ia rasa. Manusia-manusia-nya telah pergi meninggalkan bumi sendiri, terpaku dengan tangisan di hari ini. Semua turut berbela sungkawa, bukan hanya bumi saja.

Dan kepadamu wahai Bumi, kami harap kamu akan baik-baik saja setelah ini.

Tawa yang dulu pernah kamu dengar, kini telah lenyap. Bagai kehilangan separuh jiwa, kamu merasakan itu setelah dirinya tiada.

Ya Tuhan, kenapa ada begitu banyak tangisan di hari ini? Apa Engkau betul-betul ingin melihat umat-Mu berduka? Kasihanilah mereka. Dia, dan dia, yang tak bisa merasakan apa-apa setelah langit bermuram durja sedang menahan diri untuk tidak menyalahkan dunia. Apa mereka telah melakukan kesalahan besar sampai Engkau dengan tega menghukumnya dengan sebuah kehilangan?

Bagaimana aku bisa hidup setelah ini?

Sang hamba sedang bertanya. Maka sudilah Engkau jawab dengan apa saja. Sudah satu jam ini dia tidak pernah putus asa dalam mengutarakan kesedihannya. Air mata di bawah netranya pula sudah bisa dijadikan bukti bahwa anak itu sedang bersusah hati.

Dia mengeluh. Mereka mengeluhkan kehilangan ini. Mereka menuntut orang-orang itu untuk kembali. Sebegitu kejamnya, kah, siksa dunia? Tanpa sapa dirimu ambil paksa segala yang kemarin sempat mereka punya. Lihatlah wajah-wajah itu, orang-orang yang telah kamu hilangkan harapannya sedang menangis tersedu-sedu. Sekarang, apa mereka boleh mengeluh?

Satu yang mereka pinta, hapuskan semua air mata. Jangan lagi memberi duka. Tidak sepantasnya orang-orang itu selalu berduka setiap harinya. Ada janji yang belum mereka penuhi. Namun pagi ini tubuh mereka tiba-tiba ditelan bumi.

"Younghoon. Apa kami pernah membuat kamu susah sampai kamu memilih pergi tanpa berpamitan?" Juyeon membatin dikala Hyunjae tak henti-hentinya mengusap batu nisan itu.

Dia bilang, dia akan pulang. Namun sekarang, dia malah menghilang. Wahai Kim Younghoon, kepergianmu sungguh membawa begitu banyak nelangsa di hati mereka. Tidakkah engkau terlalu kejam meninggalkan orang-orangmu di sini sendirian?

Pandanglah mata adikmu. Lihatlah sudah sebesar apa dia meronta sebab tak rela dirimu tinggalkan. Wonyoung merasa jatuh begitu dalam. Ia tenggelam bersama angan-angan yang kini tak lagi bisa dirimu kabulkan. Sungguh, bahkan adikmu sempat berpikir untuk menjemputmu saja.

"Kamu telah meninggalkan penyesalanmu di sini. Kamu pun telah meninggalkan satu perempuan yang pernah kamu kasihi."

Jangan tanyakan di mana kehadiran Anna. Ia tidak ada di sana. Bahkan pemakaman ayahnya saja Anna tidak sanggup untuk mendatanginya. Entah sedang apa gadis itu saat ini. Setelah Juyeon menghubunginya satu jam lalu, tak ada kabar sekalipun yang bisa ia dapati sampai sekarang.

"Bang Younghoon kenapa ninggalin Adek? Adek salah apa? Abang bilang setelah Abang sembuh, Abang mau bawa Adek jalan-jalan. Sekarang, di mana janji Abang?"

Wonyoung kembali memeluk batu nisan bertuliskan asma Kim Younghoon itu. Karangan bunga sudah memenuhi gundukan tanah. Semua orang turut berbela sungkawa, tak terkecuali dengan kedua orang tuanya yang sedang berniat terbang kemari menjumpai putranya yang telah usai binasa.

Untuk Minju, gadis itu sedang dirawat di rumah sakit sebab terluka parah. Ayahnya ikut mati dalam kecelakaan yang ia ciptakan sendiri. Mungkin, jika saja Minju tak meminta Younghoon untuk datang ke sana, semuanya pasti akan baik-baik saja.

Tapi memang nasib tidak ada yang tahu. Sekalipun dengan Minju. Apa yang ia lakukan sekarang menjadi sebuah penyesalan besar di kemudian waktu. Minju baru saja belajar akan hal itu setelah semuanya terlanjur sudah berlalu.

[✔] Narasi Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang