Asahi punya beribu-ribu alasan kenapa dirinya bisa bahagia. Tiap malam laki-laki itu selalu tersenyum kepada apa dan siapa saja yang tansah menyapa kesendiriannya. Kadang kala pula ayah akan datang sekadar menjenguk lamunan Asahi perihal masa depan seperti apa yang sangat ingin ia damba.
Lalu, Haruto akan datang dan tertidur di atas pangkuan sang Hamada. Tak lama setelah itu Asahi akan menyugar surai adik manis yang paling dia cintai itu.
Memang. Kelihatannya tidak ada yang berubah, semuanya masih sama. Hanya ... kini tinggal mereka berdua saja yang tersisa. Ayah sudah tiada.
"Dek. Di hari ulang tahun kamu ke tujuh tahun ini, kamu mau hadiah apa dari Kakak?" Asahi seringkali bertanya begitu kepada adiknya.
Lalu Haruto akan menjawab. "Haruto tidak butuh apa-apa. Haruto hanya ingin Asahi bahagia."
Setiap mendengar permintaan Haruto, batin Asahi akan menangis kencang derukan seceruk permintaan. Tak perlu intan permata apalagi sampan raksasa tuk arungi sejengkal prahara laut segara, melihat Haruto tertawa saja Asahi sudah bisa bahagia.
Di malam yang begitu panjang, tak habis-habisnya Asahi binasakan waktu untuk sekadar merenungi nasib sang adik. Perihal ... kenapa Haruto masih dipaksa untuk hidup sedangkan jiwanya sudah lama mati?
Asahi tidak butuh alasan akan mengapa dirinya sampai sekarang masih setia menemani sisa-sisa umur Haruto yang entah kapan kan mendermakan epilog. Dia ikhlas memberi Haruto segalanya, bahkan tiap-tiap senti garis hidupnya.
Sungguh, demi apapun Asahi sangat menyayangi dia. Memangnya, selama ini Asahi bekerja untuk siapa lagi jika bukan untuk Haruto kekasih? Dia rela meremukkan tulang demi membeli sesuap nasi untuk Haruto tersayang. Sebesar itu rasa cinta Asahi kepada adiknya. Kematian sendiri bukan menjadi hal yang sangat ia takuti untuk sekarang ini. Asahi lebih takut kehilangan Haruto-mata air dari tawa bahagianya.
Bahkan malam ini, ketika hujan tidak mau lekas berhenti menghujamkan diri, Asahi masih giat menuntun sepedanya demi bisa menemukan satu bahagianya yang tersisa. Sang netra tak pernah lepas menjamah tiap-tiap mandala, namun yang ia temukan hanyalah asa yang nyaris mati rasa.
Sepanjang perjalanan ia gumamkan terma pemberian rama, Haruto asmanya, adik tercinta dari seorang Hamada. Kendati ruang bumi sudah mulai berteman dengan sepi, Asahi tak pernah merasa lelah jika diharuskan untuk mencari sampai besok pagi. Sejujurnya dia sudah mulai kelewat cemas. Asahi memang mudah mengkhawatirkan Haruto bilamana pikirannya menyangka apa yang bukan apa-apa sampai terjadi kepada dia.
Selalu saja seperti itu.
"Dek. Udah jam sebelas. Kamu ke mana?" Lisan itu berbicara sendiri di tengah keheningan pertiwi.
Jalanan kota tidak seramai jam delapan tadi, pelita gedung pun mulai padam detik demi detik. Tidak peduli jikalau sakit akan menghampirinya seusai dia berdiri di bawah rinai hujan, yang Asahi prioritaskan kini hanyalah adiknya seorang. Dia sungguh tidak mau terjadi sesuatu kepadanya.
Langkah itu tampak tertatih-tatih kala menjejaki rusuk jembatan. Namun sejemang, ia pandang eksistensi seseorang di bawah lentera nan benderang. Raut cemas sekejap demi kejap mulai sirna ketika segenap netranya tanpa sapa berjumpa dengan sosok yang amat ia damba kehadirannya.
Sepeda berkarat warisan ayahanda ia sandarkan di pagar jembatan, sementara itu dirinya sejenak mendekati laki-laki di depan sana. Entah, apa yang sedang dia lakukan sampai Asahi sudi meneteskan air mata.
"Haruto ...."
Dia melihatnya. Asahi benar-benar melihat Haruto tengah menatap ketenangan sungai Han dengan berbagai arti pada selingkar matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Narasi Musim Semi
Fanfiction❝Perihal riwayat kehidupan Haru. Sosok remaja yang takut tumbuh dewasa.❞ ______________________________________ ● treasure tbz izone fanfiction ● watanabe haruto © benaluna