47. Symphony No.5

1.3K 155 0
                                    

Bolehkah Asahi menentang takdir Tuhan di malam ini? Ia sungguh tidak mau melihat wajahnya lagi. Kenapa di saat mereka hampir menggenggam secorak bahagia, bunda malah datang dengan tatapan yang masih sama?

Begitu sinisnya ia memandang Asahi. Bahkan Anna bisa merasakan sendiri jika Asahi pun tidak menyukai kehadiran wanita itu di sini. Batin Asahi langsung menjerit kencang tatkala dilihatnya sang bunda tengah menggenggam sebuah balon hijau yang ia tahu sendiri bahwa ada kisah dibalik semua ini.

"A-Anna. Bawa Haruto masuk, kunci dia di dalam kamarnya." Itulah titah pertama Asahi setelah bunda tiba-tiba mendekati mereka.

Awalnya Haruto segan, namun Asahi memaksanya dengan penuh penekanan. Hingga beberapa saat kemudian usai Haruto dikunci di kamarnya sendiri, yang tersisa sekarang hanyalah bunda dan putra pertama bernama Hamada Asahi.

"Hallo, Hamada. Kita bertemu lagi, di sini. Bagaimana permainanmu?"

Bagaimana permainanmu ... Persetan! Sudah bertahun-tahun ini Asahi sudah tidak mendengar bunda mengatakan itu. Dan sekali lagi ia diharuskan untuk mendengarnya kembali. Masih dari mulut yang sama, dan kondisi yang tak jauh berbeda.

"Apa yang kau lakukan di sini ... Reina." Hamada betul-betul tak sudi menyebutnya sebagai bunda. Mengingat perlakuannya dulu sungguh mampu membuat Hamada teramat murka.

Lantas, bunda menyeringai pada Hamada. "Apa aku perlu alasan untuk menemui anak-anakku?"

"Kami bukan anakmu. Dan selamanya kamu bukan ibuku."

"Begitu, kah?"

Balon yang beliau genggam seketika pecah. Entah atas kasus apa Hamada tiba-tiba melepaskan kendali atas pandangannya. Dadanya pun turut merasakan nyeri saat itu juga. Sungguh, napas Asahi sangat sulit untuk sekadar dikendalikan.

"Ternyata kamu masih sama seperti Hamada kecilku. Hamada yang aku rawat dengan penuh kasih sayang, namun malah mengkhianati gurunya sendiri."

"Guru macam apa yang hampir membunuh muridnya sendiri? Kau pun sama gilanya dengan Reina yang dulu. Reina yang selalu menginginkan kesempurnaan dari setiap tekanan oleh jari-jariku. Reina yang selalu mengagung-agungkan keindahan suara piano tuamu itu."

"Ah! Akhirnya kamu tahu alasan aku kemari."

Reina tersenyum lebar-lebar seolah tak pernah terjadi apa-apa. Sementara itu Hamada sudah nyaris tak bisa menahan gejolak ingin membunuhnya sekarang juga. Setiap bunda berbicara, ada langkah yang harus jatuh sebab kata-katanya.

Hamada jadi teringat akan kisah lama ketika Symphony no.5 oleh Beethoven selalu terngiang-ngiang sampai nyaris membuatnya gila. Semua momen-momen dulu sangat Asahi benci. Atau lebih tepatnya, Asahi sangat membenci masa lalu. Tak terkecuali dengan ibunya sendiri.

Kini, wanita itu malah mendekati Hamada di saat Hamada sedang tak mau-maunya berbicara dengan beliau. "Aku kemari untuk mengambil apa yang sudah kalian bawa ke rumah ini."

"Aku tak akan pernah sudi memberikanmu. Piano itu menjadi saksi bahwa keringat dan darahku sering menetes setiap harinya. Sekalipun aku harus mati sekarang, kamu tak akan pernah bisa menyentuh setitik demi setitik debunya."

"Oh, ya? Mungkin adikmu akan memberikannya padaku."

"Kau selalu membawa namanya saat sedang melawanku. Cih, kau tak punya senjata selain itu, hah?"

"Hamada. Aku tidak mau ada keributan diantara ibu dan anak. Tapi kenapa dari awal kedatanganku kemari, kau terlihat begitu tak suka? Apa aku pernah bersalah kepadamu?"

"Kau lupa? Apa kau lupa dengan aksi bejatmu di masa lalu?"

"Hmm. Biar kuingat-ingat. Aku memberimu makan. Memberimu ilmu. Tempat tinggal. Bahkan kasih sayang seorang ibu. Itu saja, kan?"

[✔] Narasi Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang