11. Rayuan Luka Di Atas Buana

2.4K 331 6
                                    

"Aduh, Haruuu! Aku capek banget jalan kaki sampai sembilan kilo gini. Kamu tadi bilangnya deket! Ini mah saking deketnya sampai bikin kaki aku hampir potek!"

Ladang Jessica sudah mereka sadrani. Dan gadis itu pikir jarak dari sana sampai ke keadiaman Anna hanya sejengkal sampai. Eh, tahu-tahunya malah sejauh bumi dan matahari.

"Dekat, Annaaa. Satu kilo lagi kita akan sampai. Ayo semangat!"

"Semangat-semangat, gudalmu!"

Rasanya beban hidup tambah banyak saja.

"Hmm. Sebentar." Dalam beberapa detik berlalu, kepala Haruto giat menoleh ke segala penjuru. "Sepertinya di sini dekat dengan ladang jeruk Ibu Tiffany. Mau mampir di sana sebentar?"

"Gila, ya, kamu?! Ini udah mau malem, nggak baik bertamu ke rumah orang jam segini. Lagian, kenapa kita kayak lagi berburu ladang gini, sih?!"

"Haruto menawarkan saja. Siapa tahu Anna kelaparan."

"Udah dari tadi perut aku krisis makanan. Kamu juga apa-apaan, coba? Sok-sokan jaim nolak duit Bu Jess segala. Kan kalau kamu terima lumayan bisa buat ongkos naik bus."

"Anna ini tidak tahu malu sekali! Ibu Jessica itu sudah kelewat baik memberi kita agar-agar!"

"Agar-agar doang, Haruuu! Ya mana bisa ganjel perut sampai sore, coba?"

"Bisa, kok. Perut Haruto saja masih kenyang sampai sekarang." Selain pandai beralibi, Haruto juga pandai membuat orang lain emosi.

Tanpa mewasiatkan kata-kata, Anna langsung pergi melanjutkan langkah seraya menyesal sebab percaya dengan ucapan laki-laki itu. Sialnya pula, ponsel Anna sudah tidak bisa digunakan lagi sebab sudah mati dari siang tadi.

Argh! Haruto keparat! Sepertinya dia sengaja ingin membuat Anna semaput di tengah jalan.

Sore yang sedang berhiaskan rona jingga itu sekontan-kontan mengagih suasana penuh romansa tatkala Haruto gancang menggendong Anna hingga sampai membikin gadis itu terperangah sulit percaya. Apalagi saat dirinya menoleh ke belakang sembari berkata.

"Anna lucu sekali saat marah-marah. Haruto jadi tidak tega."

Jiwa Anna rasanya sudah tidak mungkin bisa jujur jikalau dia telah memulai hasrat untuk menyemai rasa. Batinnya yang dulu berkata bahwa Haruto hanya sekadar laki-laki titipan bumi, kini terang-terangan sudi menarik kata-katanya kembali. Sebab, Haruto terlampau sempurna untuk hidup bersama Jeon Anna.

"Jangan pernah turunin! Gendong aku sampai ke rumah, ya!"

Anna tetaplah Anna. Psikopat durjana yang hobi menyiksa manusia tak berdosa. Dan gobloknya lagi Haruto mau-mau saja.

"Siap, kapten! Laksanakan!"

Apa semesta tidak gemas melihat momen manis Naruto dan Hinata?

Ralat.

Haruto dan Anna maksudnya.

Sebab, rimbun daun yang kini tengah menyapa dan bayang-bayang merah di kaki cakrawala sejenak menyeru pesan jika mereka diharuskan untuk membangun cinta saja. Akan sangat mubazir jika keduanya enggan mengungkap rasa.

Kenapa pula Anna mudah dilema? Jika pun disuruh memilih antara masa lalu dengan laki-laki itu, sampai satu windu saja Anna akan terus meragu. Selalunya dia akan menyerahkan segala perihal cinta kepada tiap-tiap denting waktu.

Begitulah Anna. Gadis biasa yang seringkali menganggap jatuh cinta sebagai sebuah dosa.

Dalam perjalanan pulang yang sampai sekarang Anna masih saja digendong ke mana-mana, dirinya seketika berkenan mempertanyakan sesuatu perihal asmara.

[✔] Narasi Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang