49. Alam Semesta Tak Menerimanya

2.9K 167 13
                                    

Hamada bilang, orang yang hidupnya selalu disalahkan itu hanya butuh sebuah kebenaran. Amat lazim jika manusia selalu mencari makna dari tiap kesalahan-kesalahan mereka. Lalu ketika sudah ia jumpai arti dari balik itu semua, manusia akan mencari pembenaran dan menuntut kehidupan yang layak untuk bisa mereka rasakan.

Sesungguhnya dalam beberapa tahun ini, Asahi hanya ingin mengakhiri kelananya di atas bumi. Jika saja dunia merestui laki-laki itu untuk pulang, mungkin sudah dari lama dirinya menghilang. Entah atas kesalahan mana yang bisa menjelaskan alasan kenapa Asahi bisa hidup di tengah huru-hara ini. Luka dan trauma akan masa lalu tidak pernah merajut lelah tiap malam yang sunyi datang menghampiri.

Bahkan di detik ini saja, pemuda itu sangat ketakutan saat tahu jika adiknya belum pulang ke rumah. Sore tadi Haruto memang sudah meminta izin kepada Asahi untuk bermain di rumah Anna sebentar. Tapi saat dia hendak menjemput adiknya, Haruto tidak ada di sana. Sama sekali tidak meninggalkan jejak langkahnya.

Asahi takut. Asahi benar-benar mencemaskan Haruto setelah Anna memberitahukan kepadanya bahwa Haruto tak pernah datang ke rumah. Terlebih saat hari sudah hampir malam, bocah itu seakan menghilang ditelan kegelapan suram.

"Terus Haruto ke mana? Dia bilang akan ke rumahmu." Ia acak rambutnya sendiri dengan perasaan saling memborbardir seisi pikiran.

Sedangkan Anna yang tak tahu apa-apa lantas menggeleng cepat. "Dari tadi aku di rumah sama Sakura, tapi nggak ada apa-apa."

"Haruto. Kamu ke mana?"

Kebetulan sekali Juyeon dan Hyunjae beserta para jajarannya tiba-tiba datang dengan raut wajah penuh kecemasan. Seolah maklumat yang akan mereka sampaikan pada petang ini sangat mampu membuat pikiran-pikiran mereka gaduh.

Juyeon tarik napasnya sejenak, kemudian memandang Asahi dengan berbagai tanya. "Bang Asa. Apa Haruto punya kerabat lain di sini?"

Tunggu. Kerabat? Kenapa Juyeon tiba-tiba mempertanyakan itu? Tentu saja Haruto tidak punya.

"E-enggak. Kenapa? Kamu lihat Haruto?"

"Tadi kita nggak sengaja lihat dia masuk ke mobil orang lain. Kita nggak tahu itu mobil punya siapa, tapi setelah itu Haruto dibawa pergi sama mereka."

Tolong. Jangan katakan bahwa akan ada luka lagi di malam ini. Sudah cukup Asahi menerimanya. Tidakkah dunia berpikir bahwa Asahi pun bisa merasakan lelah? Kasihanilah raganya yang telah berkorban setiap masa. Untuk satu hari saja, beri ia waktu untuk bisa mendamaikan sukma.

Tapi dunia sungguh lah kejam. Hari ini dia kembali memberi luka untuk seseorang yang hidupnya terlalu suram.

Pada saat matahari mulai merangkak tenggelam di ujung garis cakrawala, panggilan dari nomor tak dikenal tiba-tiba membesuk kepanikan Hamada.

"Adikmu ada di rumahku. Jika kau mau menjemputnya pulang, maka kembalikan dulu piano milikku. Aku akan mengirimkan alamat rumahku."

Reina persetan.

***

Haruto bingung dengan Bunda. Sore tadi beliau membawanya ke rumah hanya untuk disiksa. Sampai kini pun laki-laki itu belum juga berhenti meraung sebab beliau dengan biadapnya membanting tubuh Haruto di depan pekarangan rumah. Saat badai sedang gencar memporak-porandakan seisi mandala, tak henti-hentinya Haruto memohon maaf kepada Reina.

Dia masih menyimpan dendam. Bukan. Dia hanya sedang merasa terkhianati oleh anak-anaknya sendiri. Sedangkan Haruto tidak tahu apa-apa sewaktu Reina meneriaki sesuatu perihal piano tua di sembilan tahun lalu. Tidak terhitung sudah sebanyak apa beliau memukul Haruto di malam ini, seakan anak itu memang didapuk sebagai bahan pelampiasan emosi.

[✔] Narasi Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang