48. Sapa Dalam Hening

1.5K 141 9
                                    

"Ayahku langsung pulang waktu tahu anaknya terluka parah. Setelah keluar dari rumah sakit, beliau baru sadar kalau sertifikat rumah tiba-tiba berpindah kepemilikan jadi atas nama Reina. Entah ayahku yang ceroboh atau Reina yang sangat pandai menipunya, kami akhirnya diusir dengan sangat hina. Aku masih ingat ayahku berteriak sangat kencang saat akan mengangkat kaki dari sana."

"Kami akan pergi. Kami akan pergi membawa apa yang pantas kami bawa pergi! Semua barang yang pernah anak-anakku sentuh di rumah ini akan aku bawa tanpa tersisa satu pun barang yang bisa kamu nikmati!"

"Dan ayah benar-benar membawa semua barang dari rumah itu, tanpa tersisa sedikitpun. Hanya Reina yang kami tinggalkan. Karena kami tak pernah menyentuhnya."

Cerita kehidupan Asahi berakhir dengan air mata, lagi. Dia berkata jika semua ketakutan itu sampai sekarang masih menggerayangi mimpi-mimpi mereka. Berkali-kali tangan Asahi terkadang tak mampu dikendalikan. Bahkan ketika makan saja nasinya selalu tumpah ke mana-mana.

Kenapa ada ibu yang dengan tega menyiksa bocah-bocah tak berdosa macam Haruto dan Hamada? Yang selalu menginginkan kesempurnaan hidup anak-anaknya, meskipun anaknya tak pernah menginginkan kesempurnaan itu. Asahi masih takut. Sungguh. Bayang-bayang kobaran api melahap satu gedung itu kadangkala membuat Asahi tiba-tiba terpaku di tempat. Dan pada akhirnya, ia diharuskan menangis dengan sebuah sebab.

"Piano itu. Selamat dari tragedi kebakaran," gumam Anna sambil melirik pintu gudang. Pintu di mana alat musik hitam raksasa tersebut sedang berpangku di situ.

"Awalnya ayah tidak ingin membawanya juga. Tapi aku meminta beliau untuk mengangkut piano itu dari sana. Aku merasa bahwa piano itu adalah aku, dia bekerja sepanjang malam karenaku. Benda itu pun terkadang seakan berbisik kepadaku."

"Hamada. Terima kasih telah membawaku pergi dari rumah itu. Sekarang aku tinggal menunggu waktu untuk tubuhku berkarat, kemudian hancur dimakan umur."

"Iya. Aku sudah gila mengira piano itu adalah suara hatiku sendiri."

Awan tak lagi biru, langit tak lagi mengabu. Senandika Hamada berkata bahwa sekarang waktunya untuk tidur. Walau badai di luar turut memborbardir seisi jagat raya, namun Asahi memilih untuk tidak menghiraukannya.

Kamar Haruto yang sedari tadi senyap lantaran ia buka. Lagi-lagi, Asahi harus menjumpai adiknya dalam keadaan melamun di sudut ruang seakan tengah berimajinasi. Mungkin dia rindu bunda yang sudah lama tidak pernah bersua dengan para ananda. Sekali dipertemukan, Asahi malah melarang Haruto menatap wajahnya dalam-dalam.

"Haruto." Ia panggil nama sang adik. Namun bocah itu agaknya sedang tidak mau diusik. Barang menoleh sekilas saja rasanya sangat segan sekali.

Beberapa saat berlalu dengan hening. Sebab rasa bersalah yang amat membelenggu kisi-kisi hatinya saat ini, Asahi lantas mendekap bocah itu sedalam mungkin, kemudian menyembunyikan sebuah tangis penyesalan di dalam tengkuk Haruto sambil meminta maaf sebab telah tega membiarkannya pergi begitu saja sebelum ia sanggup menyapa.

"Maafkan aku. Aku hanya tidak mau kamu terluka lagi."

Haruto tergamam sedih. Titik lidahnya memforsir diri untuk mengabdikan tiap katanya pada malam ini.

"Seharusnya kita sudah berakhir di hari itu."

***

"Musim dingin ini udah hampir satu bulan berlalu. Tapi kenapa salju belum dateng juga, ya? Apa mungkin seterlambat itu?"

Matahari yang baru saja merayap naik menjadi penentu kehadiran bocah-bocah itu. Acap kali sang surya menyapa tanah buana, sangat dipastikan jika mereka sudah aktif duduk di pondok Hamada sembari menatap kilau bumantara.

[✔] Narasi Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang