Anna patah hati, mendengar Younghoon segera pergi. Ditimang oleh sandyakala, jagat merasa Anna sedang tidak baik-baik saja. Dikatakan kepadanya bahwa ia takkan apa. Namun pasang muka yang menggurat durja tampak sedang memendam lara.
Ya Tuhan, gadis itu belum siap merelakan dia bersanding dengan perempuan lain. Lisan Anna memang pernah mengucap bahwa ia telah sudi melihat dia berpindah hati. Tapi bukan begini. Bukan dengan perpisahan tergesa-gesa seperti ini.
Jengah. Anna sungguh malu dengan ini semua. Tiba-tiba saja air matanya serampangan tumpahi aspal jalanan raya, dengan Anna yang masih bimbang akan sebuah resah. Tak ayal benak pikirnya pun lantas membina radar pencarian untuk sejenak bermuara di tengah lentera kota.
Satu ... dua. Lampu gedung bersemilir memijar dari sejauh mata memandang. Sayangnya, mata Anna tak mampu seterang mereka. Bertalun-talun bahana depak kakinya melangkah merdu, suara burung sore turut beradu. Air mata ajek bertakung sebelum dirinya melihat secercah cahaya biru.
Itu Hamada Asahi. Pemuda tersebut datang menghampiri Anna yang kini masih kentara sedang bersusah hati.
"Anna. Sudah hampir malam. Kamu nggak pulang, kah?"
Di tengah ketenangan sungai, gadis itu mulai membisu dan berawai. Asahi paham jelas jika Anna sedang membendung isak. Yang mana dalam beberapa menit kemudian dirinya betul-betul menggemakan bisik tangisnya pada keheningan senja.
"Ada masalah, ya?" Sejenak, Asahi matikan senter yang ia bawa dari rumah. Kemudian tak lama ia lepas syal biru muda miliknya untuk dipakaikan pada leher Anna.
"Cup-cup. Nangisnya udahan, ya. Kasihan mata kamu, nanti bengkak," imbuh Asahi sembari merapikan anak rambut gadis tersebut.
Ya, beginilah. Anna takkan bisa ditenangkan oleh siapa saja. Kalau sudah menderukan tangis, maka ia akan terus menangis. Biar saja, air matanya memang keras kepala. Dan sulit untuk bisa mereda.
"Aku baru mau ke rumah kamu. Hari ini aku dapet rezeki. Syukurlah, keluargaku sampai bisa bagi-bagi makanan buat anak panti juga. Dan niatnya aku mau ngajak kamu makan malem bareng di rumah aku. Ya, itung-itung buat ramein rumah. Ada temen-temen kamu juga, kok. Gimana?"
Lagi-lagi, yang bisa Asahi dapati cuma keheningan dan suasana sepi.
"Anna." Sekejap bagi Asahi untuk menjeda prakatanya kini. "Sebegitu beratkah masalahmu hari ini? Sampai aku saja tidak kamu hiraukan sama sekali."
Anna mengangguk-angguk sahaja. Selepasnya ia tatap bentang sungai di hadapan sana. "Hamada. Apa kamu pernah bingung dengan perasaanmu sendiri?"
"Hmm. Selalu, Anna."
"Itu yang aku rasakan hari ini." Sebarang masa ia tundukan mustaka sedalam-dalamnya. "Aku sudah tidak mendambakan kehadirannya lagi. Aku bahkan sudah tidak peduli. Tapi sore tadi aku mendapatkan kabar bahwa laki-laki itu sebentar lagi akan pergi. Dan yang aku pertanyakan sekarang adalah ..."
"... kenapa hatiku merasa tak rela?"
Asahi tersenyum saat itu. Entah apa arti dari senyum tersebut. "Kamu bukannya tak rela. Kamu hanya berharap bahwa dia akan mengajakmu pergi bersama."
"Begitu, kah?"
"Atau mungkin kamu masih cinta."
Tidak. Sungguh tidak. Seluruh hati yang tertanam hanya untuk penggantinya semata. Tak mungkin Anna sewenang-wenang masih mendamba kisah cinta lama. Lebih baik Anna sakit hati lagi daripada harus menelan ludah sendiri.
"Anna. Jika Haruto tahu bahwa kamu masih seperti ini---seakan masih dilema dengan cinta pertamamu ini. Bukankah itu hanya akan membuatnya sakit hati?"
"A-ah. Maaf---"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Narasi Musim Semi
Fanfic❝Perihal riwayat kehidupan Haru. Sosok remaja yang takut tumbuh dewasa.❞ ______________________________________ ● treasure tbz izone fanfiction ● watanabe haruto © benaluna