Kisah ini terlalu rumit. Selalu bersimpuh kepada rangkuman luka maupun sakit. Duka nestapa terpetik tak disangka-sangka, membunuh asa terdefinisikan sebagai perihal biasa. Malam maupun pagi, gugur maupun semi, tidak ada yang berbeda tanpa pengecualian oleh sang resi hati.
Jalan satu-satunya untuk keluar sudah dihadang oleh para pelakon kisah lama. Yang mana takkan rela jika sebuah kedamaian ada dan malah menghancurkan ekspektasi dari sebuah akhir bahagia.
"Ya Tuhan. Kenapa Engkau membedakan aku?" Seorang hamba pernah bertanya.
"Ya Tuhan. Kenapa manusia begitu?" Langit turut mempertanyakan si pendosa.
Setiap malam bumantara selalu terheran-heran dengan kelakuan para makhluk bumi di bawah kaki dia. Mengeluh saja kerjaannya. Paling-paling, ketika Sang Penguasa jagat menimpakan kepadanya sebuah pengharapan, yang bisa dilakukannya cuma mengeluh semalaman-menganggap dunia tidak adil bagi beberapa insan-paling tidak bisa dimaafkan ketika dia sengaja mendurhaka kepada takdir Tuhan.
Menurut seorang pengabdi malam dari pelosok kampung seberang, mati sebenarnya bukan ketika manusia terburu-buru dalam menutup mata. Namun, perihal raga yang mati akan terjadi kala sebuah jiwa tidak bisa mengenali raganya sendiri.
Terbesit sebuah ceritera di mana seorang laki-laki Jepang menjadi tokoh utamanya. Kadangkala banyak insan acap kali bertanya perihal anak seperti apa dia sebenarnya. Sebab, tercantum dalam satu halaman buku di mana lisan seseorang pernah datang dan berseru.
"Haruto lupa akan siapa dirinya."
Kalian tahu manusia mana yang berani mengatakan itu? Jawabannya adalah kakaknya, Hamada. Laki-laki pemburu bahagia untuk sang adik, namun sampai sekarang yang ia dapati hanya sebuah hardik.
Dulu, Haruto merupakan sosok yang sangat periang. Sungguh! Tawanya selalu menggema setiap hari, senyumnya selalu terpatri seolah ingin abadi. Namun ternyata, hidup Haruto juga fana, bahkan untuk ingatannya-semua sudah ia lupa.
Haruto lupa bagaimana cara tertawa tanpa harus berpura-pura. Haruto lupa cara menyembuhkan raga yang tengah ditiban lara. Haruto lupa bagaimana rupa dan wajah ayah serta bunda. Haruto lupa segala-galanya. Segala perihal gundah dan bahagia.
Dia menangis lagi. Asahi menangis lagi malam ini. Mau bagaimanapun juga, sekuat apapun Asahi berusaha, akan ada masa di mana air matanya berkenan tumpah. Tidak ada manusia yang bisa menahan sakitnya kehidupan di tengah kesendirian.
Tangis pilu itu kian hari kian menjadi-jadi. Dunia terlalu 'sempurna' untuk setakat menjadi tempat singgah. Saking sempurnanya, tiap malam Asahi kerap menyerana. Kemudian mendamba seceruk harapan-harapan kecil. Seperti ....
"Bolehkah kami bahagia?"
Atau mungkin ....
"Jika terlalu berat, Engkau tidak perlu memberiku juga. Tapi aku memohon, hilangkan segala ketakutan adikku perihal masa lalu."
"Aku merasa sangat bersalah setiap melihatnya berusaha memukul kepalanya sendiri. Hamba sangat takut jika harus melihatnya pergi lagi."
Dalam bisikan tersebut, dirinya akan tersedu-sedu sampai sesak melilit dada saja enggan ia rasakan.
Membayangkan bagaimana kehidupan kecil yang tak layak Haruto dapati dulu membuatnya didera kesedihan yang begitu mendalam. Belum pernah Asahi ceritakan kepada siapapun perkara kehidupan Haruto kecil. Yang mana hal itu masih menjadi sebuah rahasia akan dirinya dan juga semesta.
Asahi hanya berharap jika tangisan yang selalu ia persembahkan kepada dunia akan memungkas akhir bahagia. Tidak apa-apa jika mereka hidup dalam kemiskinan harta, Asahi semata-mata hanya berharap ketenangan adiknya belaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Narasi Musim Semi
Fanfiction❝Perihal riwayat kehidupan Haru. Sosok remaja yang takut tumbuh dewasa.❞ ______________________________________ ● treasure tbz izone fanfiction ● watanabe haruto © benaluna