"Anna. Keluar, Nak. Dari kemarin malem kamu belum makan. Ini, Ayah beliin ceker pedes kesukaan kamu."
Titah tersebut merupakan panggilan ke tujuh yang sempat Anna dapatkan di sore yang tak cerah-cerah amat ini. Beliau benar-benar mencemaskan anak itu. Apa masalah yang ditanggung begitu besar sampai dirinya tidak mau keluar? Sebab dia, beliau jadi uring-uringan, pusing tujuh keliling. Pagi ini saja Ayah rela tidak berangkat kerja demi menjaga Anna.
"Apa kamu pengen makan di luar? Ayo, mobil Ayah udah bener, tuh."
Lagi, tidak ada respon sama sekali.
"Ayah pengen lihat muka anak Ayah yang cantik itu. Dari pagi tadi Ayah belum lihat bidadari lewat. Ini bidadarinya lagi ngorok apa, ya? Kok nggak ada yang nyahut."
Beliau terkadang memang lucu. Lawakan khas bapak-bapak menjadi hal yang selalu Anna tunggu-tunggu. Meskipun garing, setidaknya beliau ada usaha untuk menenangkan gundah pada hati anak perempuannya.
Disisipi dengan sayunya durja, gadis itu akhirnya mau membuka pintu bersama sembapnya netra. Dalam beberapa detik Ayah sempat khawatir, lamun tak lama setelahnya beliau malah tertawa.
"Ya ampun. Kantung mata kamu udah kayak gendon aja," ungkapnya meledek. Namun tidak disambut baik oleh Anna.
"Makan, yuk---"
"Aku mau keluar sebentar, Yah." Nada yang tersiar amat lemas kala didengar.
"Mau ke mana? Mau malem loh, ini."
"Jalan-jalan di sekitar sini sebentar."
"Pulangnya jangan kemaleman, ya."
Sekadar anggukan kecil yang dapat Ayah pirsa dari gelagat Anna, selebihnya beliau hanya bisa melihat bekas air mata saja. Dugaan dia benar, bahwa Anna kemungkinan memiliki masalah cukup besar. Sesungguhnya Ayah betul-betul ingin membantu, namun Anna bukanlah tipikal anak yang senang saat orang tuanya turut campur.
Ayah yakin pasti, dirinya pergi bukan untuk menyelesaikan masalahnya seorang diri. Tetapi, Anna membutuhkan tempat untuk mengisyaratkan perasaannya di ruang sepi, sendiri, lagi. Sudah terbiasa ia kumandangkan jerit nan derai air mata di tengah perhelatan kota. Selalunya dia akan menangis di sana, lalu berduka kepada maharaja dan menyalahkan apa saja yang pernah takdir datangkan untuknya.
"Manis buah kelapa~ tak semanis gula~"
"Aku ungkapan cinta~ kuharap kau teri---"
"Wanjerrr!"
Tembang lagu dari seorang laki-laki sontak terhenti tatkala dijenguknya figur Anna sedang menangis di tengah taman kota. Aduh! Anna malu sekali kedapatan Juyeon di saat dia sedang bersedih-sedih seperti ini.
"Kaget, babi! Gue kira kuntilanak lagi mangkal di mari." Sedetik kemudian ia duduki pembaringan di samping Anna.
Didapatinya raga laki-laki itu masih terbalut seragam sekolah. Ketika Anna lirik arloji sekejap---benar saja. Hari sudah sore, dan anak-anak pasti sudah pulang ke rumah masing-masing.
"Kenapa tadi nggak sekolah?" tanya Juyeon.
"Peduli apa lo sama hidup gue? Urusin aja hidup lo sendiri."
"Busettt. Gue nanya doang. Sensi banget, dah."
"Bodoamat. Sana lo pergi, ah. Ganggu gue lagi galau aja!"
"Lo kayak orang dongo njir kalo lagi galau gini. Stop, Na! Orang lain yang lihat lo bukannya iba malah pengen ketawa."
"BAJINGAN!"
Bisakah seseorang menendang Juyeon ke Neptunus saja? Jangan sampai bumi terbakar cuma karena Anna kesal. Laki-laki itu sebaiknya berhenti menggoda gadis tersebut sebelum buah zakarnya yang akan menjadi sasaran empuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Narasi Musim Semi
Fanfiction❝Perihal riwayat kehidupan Haru. Sosok remaja yang takut tumbuh dewasa.❞ ______________________________________ ● treasure tbz izone fanfiction ● watanabe haruto © benaluna