45. Cinta Tak Bersua

1.2K 148 0
                                    

"Dulu, kamu yang menemukan aku saat aku jatuh. Kamu pula yang menyadarkan kepadaku bahwa mengakhiri hidup adalah suatu keputusan yang buruk. Aku masih ingat bagaimana kamu menangis saat itu, kemudian berkata kepadaku seperti ini."

"Sebesar apapun keinginanmu ingin menyerah malam ini, sesakit apapun dunia memberimu sanksi, kamu harus bisa melewati semuanya dengan sabar hati. Pikirkan sebentar akan ada berapa banyak orang yang terluka karena kehilangan sosok sepertimu. Dunia terlalu indah untuk kamu tinggalkan."

"Karenamu, aku masih bisa hidup sampai sekarang."

"Tapi malam ini kamu malah ingin mengakhiri semuanya secara tergesa-gesa. Ingatlah perkataanmu sendiri, Anna. Akan ada banyak orang yang akan terluka, yang tersakiti sebab keputusanmu sendiri."

"Bahkan aku akan menangisi kepergianmu."

Keadaan Anna sudah lebih baik dari satu jam yang lalu. Maksudnya, dia sudah tidak meraung-raung lagi. Hanya saja memang air matanya masih sering tanggal sampai sekarang. Tidak ada siapapun yang bisa membuat gadis itu tenang walau untuk satu detik saja. Dia sedang terluka, maka biarkanlah ia mengarungi kesedihan ini dengan caranya sendiri.

Sementara itu Asahi masih ajek menggenggam tangan Anna dari satu jam lalu. Laki-laki itu betulan takut jika saja Anna akan berniat melakukan upaya menghancurkan diri seperti tadi. Melihat tangannya yang kini sudah berbalut perban, membuat Asahi ikut merasakan sakit tak tertahankan.

"Anna. Bukankah kamu pernah bermimpi ingin menikahi adikku?"

Ketika Asahi menyinggung masalah itu, Anna seketika mendongak malu. "Kenapa?"

"Tidak apa-apa." Gigi Asahi sampai tampak saat ia mulai tertawa. "Lucu saja. Jika kamu benar-benar ingin menikahinya, seharusnya kamu tidak pernah mempunyai pikiran seperti tadi."

Benar juga. Anna sempat lupa dengan segala pinta hajatnya. Kalau sudah begini, yang bisa Anna lakukan hanyalah merenungi diri sendiri. Ia perlu tahu apa saja yang dibutuhkan hidupnya, bukan malah menunggu untuk binasa saja.

Ya, beginilah jika sudah berbicara dengan Asahi. Segala gundah yang sempat Anna rengkuh seakan telah pergi, dan Anna pun bisa tahu dengan jalan apa yang harus ia pilih. Itu mengapa Haruto tansah berkata bahwa Hamada adalah manusia paling berharga dalam hidupnya.

Ternyata Hamada memang sangat berharga.

Setelah menuju puskesmas, kedua insan itu tak serta-merta langsung pulang ke rumah. Mereka singgahi sejenak ketenangan di dalam sebuah kopi, kemudian menyeduhnya sembari menghitung lalu lalang mobil putih. Hanya dengan begitu saja, Anna sanggup merasakan separuh ketenangan jiwa. Walau separuhnya masih bisa dirasakan jelas bahwa kesedihan itu masih melanda, tapi Anna sedikit sudah bisa dikatakan bahwa dirinya sedang tidak apa-apa.

Tak lama, Asahi akan menuntunnya berjalan lagi, menggengam tangan Anna untuk beberapa waktu di malan ini, menatap kedua matanya, tersenyum, lalu mengatakan kepada Anna bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Kamu yang kuat, ya? Tidak semua hal yang kamu punya telah hilang. Masih ada aku, juga adikku. Kami adalah milikmu juga."

Sungguh, Anna merasa sangat bersyukur karena telah mengenal keluarga mereka. Kedua bocah itu selalu memberikan Anna semangat dalam menjalani kehidupan berat ini. Jika dari awal mereka tak berjumpa, mungkinkah Anna bisa setabah sekarang?

Asahi punya berbagai cara untuk bisa mendamaikan hati manusia. Haruto punya berbagai kiat-kiat hidup sentosa. Sementara Anna punya berbagai alasan untuk bisa hidup bahagia bersama mereka. Tiga insan itu dari awal sudah memiliki tujuan yang sama untuk bisa bertahan dalam garis hidup ini. Mereka seolah seperti sebuah genggam yang sangat sukar untuk dilepas. Ketika yang satu terjatuh, dua yang lain pun ikut terjatuh.

[✔] Narasi Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang