Di kedalaman hutan Sumatera, seorang pemburu liar sedang mencengkeram seekor anak harimau yang baru berumur lima minggu dengan hati-hati. Menyadari dirinya telah direnggut secara paksa, hewan kecil itu berteriak-teriak dengan suara lemah memanggil induknya. Namun suara harimau kecil itu bagai alunan musik yang merdu di telinga si pemburu.
Peduli setan dengan perlindungan hewan langka! pikir pemburu itu dalam hati. Pemburu itu lalu menyeringai sendirian, begitu puas dengan hasil buruan yang didapat. Di benak sang pemburu telah terbayang lipatan uang yang akan diterima dari hasil penjualan hewan yang sangat berharga ini. Walaupun masih sangat kecil, si harimau kecil itu tetap tak ternilai.
Kotak yang telah berisi harimau kecil itu lalu dimasukkannya ke dalam sebuah tas jinjing besar. Sambil bersenandung kecil, si pemburu kembali melanjutkan perjalanan sambil menyandang senapan api rakitannya.
Menjadi pemburu liar sudah menjadi profesi utamanya selama ini. Sepuluh tahun yang lalu ia hanyalah seorang buruh kasar yang disewa secara harian oleh pengusaha perkebunan atau pertambangan untuk meratakan hutan. Seringnya keluar masuk hutan, membuatnya kerap bertemu dengan satwa-satwa yang dilindungi. Awalnya pemburu itu tak menyadari kalau hewan yang ditemukan adalah satwa yang berharga, seperti saat ia menemukan seekor anak kucing batu yang disangka hanyalah seekor kucing rumahan yang tersesat di hutan. Atau ketika ia sedang duduk beristirahat sehabis kelelahan menebang pohon di senja hari, matanya tertumbuk pada seekor hewan dengan penampakannya perpaduan monyet dan beruang mini di sela-sela pepohonan.
Didorong oleh rasa penasaran, si pemburu beranjak dari duduknya untuk dapat mengamati hewan itu lebih dekat. Dengan bantuan sebuah senter kecil, si pemburu berhasil mendekati pohon tempat hewan itu sedang bergelayut. Matanya harus melewati dahan-dahan yang berceranggah untuk fokus. Hewan aneh itu sedang bergerak dengan pelan pada sebuah dahan langsing yang mengganjur sambil mengintai seekor cicak pohon. Kepalanya berputar 180 derajat mengikuti gerak cicak itu. Saat menghindari ranting yang menonjol, ia bergerak mengelilingi dahan dengan posisi tubuh yang terbalik dalam lintasan spiral.
Karena bermuka lucu, si pemburu lantas berusaha menangkap hewan itu sebelum ia menghilang. Saat hewan itu berada di ujung dahan pohon yang tidak terlalu tinggi, sang pemburu mendekatinya perlahan. Setelah sangat dekat, si pemburu kemudian menjulurkan tangannya semaksimal mungkin. Beruntung, hewan itu bergerak sangat pelan. Namun, sang hewan menunjukkan perlawanan. Kuku tangan dan kakinya yang seperti kait, melekat sangat erat. Dengan sabar akhirnya sang pemburu berhasil melepaskan kaitan kuku itu.
Setelah berada dalam cengkeraman tangannya, hewan itu ternyata hanya sebesar kucing dewasa. Warna bulunya coklat kemerahan dan terdapat garis punggung yang bercabang ke arah telinga dan matanya. Ia mempunyai dua mata besar yang dikelilingi lingkaran berwarna gelap. Walaupun mata itu melotot ke arahnya, tetapi secara keseluruhan menampakkan muka yang sendu dan melankolis, seperti mahkluk ajaib dalam dongeng, pikirnya. Tingkah si hewan pun malu-malu, selalu menundukkan dan memalingkan wajahnya. Si pemburu langsung jatuh hati. Lalu dibawa pulanglah hewan aneh itu untuk dijadikan peliharaan anaknya.
Hanya berselang dua bulan, demi lima kilogram beras, si pemburu pun menjual si hewan kepada seseorang yang bersedia membayarnya dengan harga hanya seratus ribu rupiah. Anaknya menjerit dengan keras ketika mengetahui ulahnya. Sampai suatu ketika seseorang mengatakan bahwa hewan lucu itu adalah seekor kukang, sejenis primata primitif yang banyak dicari orang kaya.
"Primitif?" imbuh si pemburu.
"Ya, karena memang belum setingkat dengan kerabat dekatnya kera maupun monyet," jawab orang itu.
"Apanya yang belum setingkat?" si pemburu bertanya balik sambil menyalakan rokoknya.
"Selain fisiknya yang berbeda, hewan ini tidak bergerak lincah seperti kera dan monyet,"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE KING'S CALL
Fantasy(Book 1 COMPLETED/ To be continued on Book 2) Aika, 17 tahun, terpaksa pindah ke Bukittinggi akibat tragedi yang menimpa ibu dan ayahnya. Padahal ia benci Bukittinggi semenjak Ibunya dibunuh di Kota itu. Semenjak kedatangan di pulau Sumatra, Aika...