Di wilayah Tebing Tinggi-Sumatera Selatan, seorang gadis sedang berada di sebuah mobil yang bergerak kencang. Ia duduk di bangku belakang dekat jendela sambil memandangi dengan bosan barisan pohon hutan tropis dan semak belukar yang saling berdesakan. Kadang-kadang matanya disilaukan oleh cahaya sinar matahari yang semakin terasa terik.Saat itu langit berwarna biru muda terang, disertai gumpalan awan yang berwarna putih bersih dan berkilatan oleh cahaya matahari. Namun hari yang cerah tidak mampu menembus hatinya. Mata gadis itu kelam, tidak memancarkan semangat. Sejak kemarin hatinya telah berkerut dan berwarna gelap. Cahaya di hatinya seperti sedang bersembunyi di balik awan gelap tebal yang semakin melebarkan diri menutupi setiap celah hatinya.
Ia merasa hidupnya mundur ke belakang saat membayangkan kota kecil yang akan menjadi tujuannya. Ia yakin hidup di sebuah kota kecil hanya menawarkan kehidupan sederhana dan tradisional yang tak bisa lagi diikuti. Perasaan takut menjadi sosok asing di negeri sendiri kini terselib di benaknya. Bukan itu saja, ia merasa seperti orang bersalah yang sedang melarikan diri, bersembunyi di tempat terpencil. Semua perasaan yang mengecilkan hati itu saling berjalinan, membuat dirinya iba pada diri sendiri.
Umurnya baru tujuh belas tahun, kendati masih muda, ekspresi wajahnya menunjukkan kedewasaan. Kebanyakan gadis seumurnya sedang mencari keceriaan dengan teman sebaya, bahkan kedekatan dengan teman lebih sering diutamakan daripada dengan orang tua. Mereka asyik berkumpul sambil bergosip, lalu saling berlomba mendapatkan pacar idaman. Atau dengan konyolnya terobsesi kepada artis terkenal. Intinya mereka disibukkan dengan urusan remeh temeh belum tersadar atau tak peduli dengan kehidupan dunia yang keras dan penuh muslihat.
Aika bukan salah satu dari mereka. Sebagian hidupnya merupakan rangkaian tragedi. Tragedi yang meninggalkan luka jiwa yang tak akan pernah pulih sepenuhnya. Ia memandang dunia kini dengan sinis, penuh curiga. Entah kenapa, pandangan negatif kini selalu mendahuluinya. Kadang Aika menyadari sikapnya, tapi ia tak bisa mencegahnya.
Gadis itu, Aika Masril , seorang anak tunggal yang ditinggal ibunya ketika ia masih berusia sebelas tahun. Sedangkan ayahnya, seorang ilmuwan yang kini mendekam di penjara karena dianggap bertanggung jawab atas kegagalan alat deteksi tsunami yang diciptakan.
Aika melihat sekilas jam tangannya yang telah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Ia masih mengantuk karena baru tertidur sekitar jam dua malam setelah sampai di Bakauheuni Lampung. Kemudian ditegakkan duduknya untuk meluruskan punggungnya yang agak pegal. Dibukanya jendela mobil lebar-lebar untuk mengusir rasa kantuk. Angin yang hangat langsung menerpa wajah dan menggoyang-goyangkan rambutnya yang panjang sepundak. Sesaat ia menikmati pentas spontan alam; dedaunan di pepohonan bagai menari dengan gemulai mengikuti irama angin yang hangat dan lambaian batang-batang pohon laksana sepasang tangan yang sedang bertepuk tangan.
Apakah mereka sedang menyambut kedatanganku atau sedang menertawaiku?
Gadis itu menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata, lalu ditariknya napasnya dalam-dalam. Dalam benaknya ia menyayangkan hati dan jiwa adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat, apalagi disentuh untuk diperbaiki dengan tangannya sendiri.
Mobil kemudian melambat, lantas berbelok ke arah pom bensin untuk mengisi bahan bakar. Di sana, Aika menyempatkan diri mencuci muka dan menggosok gigi, lalu mengganti bajunya yang kusut. Saat melewati cermin, dilihatnya rambutnya yang kusut Aika menarik nafas, mau tak mau ia harus menyisir rambutnya supaya tak terlihat seperti orang malas. Selesai merapikan penampilannya, gadis itu berjalan menuju mobil sambil memandangi satu-satunya jalan utama yang masih membentang lurus dan tak bercabang. Seolah-olah mengatakan, ia harus berjalan terus, tidak bisa belok, apalagi balik arah.
Mobil dan truk sesekali melintas cepat di depannya membawa hembusan bau jalanan ke hidungnya. Gadis itu masih berdiri mematung, kakinya seakan berat untuk melangkah. Matanya mengikuti kendaraan-kendaraan yang sedang melaju di jalanan. Kerisauan masih terbayang di wajahnya, ia masih tidak percaya telah berada di Pulau Sumatera dan akan menuju dataran tinggi Sumatera Barat.
Walaupun ia mengagumi para negarawan sejati dan sastrawan besar yang banyak dilahirkan di Sumatera Barat, tapi karena suatu peristiwa menyedihkan membuatnya membenci daerah ini. Sejujurnya bahkan ia tidak ingin menginjakkan kaki di pulau ini, kalau tidak disuruh oleh ayahnya. Menghibur diri, ia bertekat dalam hati, tinggal di Bukittinggi untuk sementara saja. Kota itu bukan tujuan akhir, melainkan hanya persinggahan singkat, seperti kedua tokoh penjelajah dari abad pertengahan, Marco Polo dan Ibnu Batuta yang pernah berkunjung ke Pulau Sumatera.
Ingatan Aika mengelana ke tokoh Marco Polo, seorang saudagar dari Venesia yang dalam perjalanan pulang dari China ke Eropa di sekitar tahun 1292 telah singgah di Kesultanan Peureulak. Lalu Ibnu Batuta dari Maroko pada tahun 1345 yang mengunjungi wilayah yang sama namun wilayah itu sudah menjadi bagian Kesultanan Samudra Pasai. Keduanya memiliki keberanian dan rasa ingin tahu yang tinggi untuk menjelajahi negeri-negeri asing yang sangat jauh.
Karena ia menjadi orang sinis sekarang, menurutnya kedua tokoh itu bisa melakukan perjalanan panjang dan jauh kerena mereka tidak memiliki kehidupan yang menyedihkan seperti dirinya.
Kisah kedua penjelajah itu, diketahui dari ibunya ketika ia berusia tujuh tahun. Ibunya lebih sering menceritakan sejarah dunia sebagai pengantar tidur daripada kisah-kisah dongeng yang menurutnya terlalu banyak menceritakan mahkluk khayalan seperti kurcaci, peri, raksasa dan monster berbagai rupa, yang sukar dijelaskan. Kenapa kedua tokoh sejarah itu sekonyong-konyong mengisi kepalaku kini? herannya dalam hati.
Pelajaran sejarah memang tidak pernah menarik hatinya di sekolah, karena selalu membuatnya bosan dan mengantuk. Ia bisa menguap beberapa kali dalam satu jam.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE KING'S CALL
Fantasy(Book 1 COMPLETED/ To be continued on Book 2) Aika, 17 tahun, terpaksa pindah ke Bukittinggi akibat tragedi yang menimpa ibu dan ayahnya. Padahal ia benci Bukittinggi semenjak Ibunya dibunuh di Kota itu. Semenjak kedatangan di pulau Sumatra, Aika...