Bab 5 Perjalanan yang Tidak Bisa Dihindari

334 21 0
                                    




           Di wilayah Tebing Tinggi-Sumatera Selatan, seorang gadis sedang berada  di  sebuah mobil yang bergerak kencang.  Ia duduk di bangku belakang dekat  jendela  sambil memandangi dengan bosan  barisan pohon hutan tropis dan semak belukar yang saling berdesakan.  Kadang-kadang matanya  disilaukan oleh cahaya sinar matahari yang semakin terasa terik. 

         Saat itu langit berwarna biru muda terang, disertai gumpalan awan yang berwarna putih bersih dan berkilatan oleh cahaya matahari.    Namun hari yang cerah tidak mampu menembus hatinya. Mata gadis itu kelam, tidak memancarkan semangat. Sejak kemarin  hatinya telah  berkerut dan  berwarna  gelap. Cahaya  di hatinya seperti sedang bersembunyi di balik  awan gelap   tebal  yang semakin melebarkan diri menutupi setiap celah hatinya.

          Ia  merasa hidupnya  mundur ke belakang  saat membayangkan kota kecil yang akan menjadi tujuannya. Ia yakin hidup di sebuah kota kecil hanya menawarkan kehidupan  sederhana dan tradisional  yang tak bisa lagi  diikuti.  Perasaan takut menjadi  sosok asing di negeri sendiri kini terselib di benaknya.  Bukan itu saja, ia merasa seperti orang  bersalah yang sedang melarikan diri,  bersembunyi di tempat terpencil. Semua perasaan yang mengecilkan hati itu saling berjalinan, membuat dirinya  iba pada diri sendiri.  

Umurnya baru tujuh belas tahun, kendati masih muda, ekspresi wajahnya menunjukkan kedewasaan. Kebanyakan gadis seumurnya sedang mencari  keceriaan dengan teman sebaya, bahkan kedekatan dengan teman lebih sering diutamakan daripada dengan orang tua. Mereka  asyik  berkumpul  sambil bergosip, lalu saling berlomba mendapatkan pacar idaman. Atau dengan konyolnya terobsesi kepada  artis  terkenal. Intinya mereka disibukkan  dengan urusan remeh temeh belum  tersadar atau tak peduli dengan kehidupan dunia yang keras dan penuh muslihat.

Aika bukan salah satu dari mereka. Sebagian hidupnya merupakan rangkaian tragedi. Tragedi yang meninggalkan luka jiwa yang tak akan pernah pulih sepenuhnya.  Ia memandang dunia kini dengan sinis, penuh curiga. Entah kenapa, pandangan negatif kini selalu mendahuluinya. Kadang Aika menyadari sikapnya, tapi ia tak bisa mencegahnya.

      Gadis itu, Aika Masril , seorang anak tunggal yang ditinggal ibunya ketika ia masih berusia sebelas tahun. Sedangkan ayahnya, seorang ilmuwan yang kini  mendekam di penjara karena dianggap bertanggung jawab atas kegagalan alat deteksi tsunami yang diciptakan.

         Aika  melihat sekilas jam tangannya yang telah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi.  Ia masih mengantuk karena baru tertidur sekitar jam dua malam setelah sampai di Bakauheuni Lampung. Kemudian  ditegakkan duduknya untuk meluruskan punggungnya yang agak pegal. Dibukanya jendela mobil lebar-lebar untuk mengusir rasa kantuk. Angin yang hangat langsung menerpa wajah dan menggoyang-goyangkan rambutnya yang panjang sepundak. Sesaat ia  menikmati pentas spontan alam; dedaunan  di pepohonan bagai menari dengan gemulai mengikuti irama angin yang hangat dan lambaian batang-batang pohon laksana sepasang tangan yang sedang bertepuk tangan.

Apakah mereka sedang menyambut kedatanganku atau sedang menertawaiku?

         Gadis itu menyandarkan kepalanya dan  memejamkan mata, lalu  ditariknya  napasnya dalam-dalam. Dalam benaknya ia menyayangkan  hati dan jiwa adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat, apalagi disentuh untuk diperbaiki dengan tangannya sendiri.

           Mobil kemudian melambat, lantas  berbelok  ke arah pom bensin untuk mengisi bahan bakar.  Di sana, Aika menyempatkan diri mencuci muka dan menggosok gigi, lalu mengganti bajunya yang kusut. Saat melewati cermin, dilihatnya rambutnya yang kusut Aika menarik nafas, mau tak mau ia harus menyisir rambutnya supaya tak terlihat seperti orang malas.  Selesai merapikan  penampilannya, gadis itu berjalan  menuju mobil sambil memandangi  satu-satunya jalan utama yang masih membentang lurus dan tak bercabang. Seolah-olah mengatakan, ia  harus berjalan terus, tidak bisa  belok, apalagi balik arah.

          Mobil dan truk sesekali melintas cepat di depannya membawa hembusan bau jalanan ke hidungnya. Gadis itu masih berdiri mematung, kakinya seakan berat untuk melangkah. Matanya mengikuti kendaraan-kendaraan yang sedang melaju di jalanan. Kerisauan masih terbayang di wajahnya, ia masih tidak percaya telah berada di Pulau Sumatera dan akan menuju  dataran tinggi  Sumatera Barat.

         Walaupun ia mengagumi para negarawan sejati dan sastrawan besar yang banyak dilahirkan di Sumatera Barat, tapi karena suatu peristiwa menyedihkan membuatnya membenci daerah ini.   Sejujurnya bahkan ia   tidak  ingin menginjakkan kaki di pulau ini, kalau tidak disuruh oleh ayahnya.  Menghibur diri, ia bertekat dalam hati, tinggal di Bukittinggi untuk sementara saja. Kota itu bukan tujuan akhir, melainkan hanya  persinggahan singkat, seperti kedua tokoh penjelajah dari abad pertengahan, Marco Polo dan Ibnu Batuta yang pernah berkunjung ke Pulau Sumatera.

            Ingatan Aika mengelana  ke tokoh Marco Polo, seorang  saudagar dari Venesia yang  dalam perjalanan pulang dari China ke Eropa di sekitar tahun 1292 telah singgah di Kesultanan Peureulak. Lalu  Ibnu Batuta  dari Maroko pada tahun 1345 yang mengunjungi wilayah yang sama namun wilayah itu sudah menjadi bagian  Kesultanan Samudra Pasai. Keduanya memiliki keberanian dan rasa ingin tahu yang tinggi untuk menjelajahi negeri-negeri asing yang sangat jauh.

Karena ia menjadi orang sinis sekarang, menurutnya kedua tokoh itu bisa melakukan perjalanan panjang dan jauh kerena mereka tidak memiliki kehidupan yang menyedihkan seperti dirinya.

Kisah kedua penjelajah itu, diketahui  dari ibunya ketika ia berusia tujuh tahun. Ibunya  lebih sering menceritakan sejarah dunia sebagai pengantar tidur daripada kisah-kisah dongeng yang menurutnya terlalu banyak menceritakan mahkluk khayalan seperti kurcaci,  peri,  raksasa dan monster berbagai rupa,  yang sukar  dijelaskan. Kenapa kedua tokoh sejarah itu  sekonyong-konyong mengisi kepalaku kini? herannya dalam hati.

Pelajaran sejarah memang tidak pernah menarik hatinya di sekolah, karena selalu membuatnya bosan dan mengantuk. Ia bisa menguap beberapa  kali dalam satu  jam.

THE KING'S CALLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang