Aika menarik nafas, meneguhkan keberaniannya menuju hutan. Disibakkannya ilalang yang bertumpuk-tumpuk di hadapannya. Lalu diayunkan langkah pertama masuk ke dalam hutan. Kakinya menekan tanah yang lembek akibat rembesan air hujan. Selangkah, dua langkah, dan seterusnya menembus hutan yang gelap.
Kabut tebal tiba-tiba datang begitu saja membatasi penglihatan. Udara pun menjadi lebih dingin. Di antara barisan semak belukar yang rapat dan pepohonan, samar-samar Aika melihat dua buah sorotan sinar kecil berwarna kuning yang kira-kira berjarak sepuluh langkah darinya. Disusul bunyi gemerisik di antara semak-semak. Jantungnya berdebar-debar, keinginan untuk berbalik selalu menggodanya. Namun sinar kecil itu seperti menarik dirinya untuk mendekat.
Sinar kecil itu semakin besar, diam tidak bergerak seperti sedang menunggunya.
Aika memicingkan mata supaya dapat melihat cahaya itu lebih jelas. Kini udara dingin seperti menusuk-nusuk kulit. Tak lama berselang, kembali terdengar samar –samar suara lirih menyebut namanya.
Jantung Aika seperti berhenti berdetak sesaat. Ya Tuhan apakah aku harus mempercayai suara itu? pikirnya dalam hati. Sinar kecil itu lalu bergerak pelan mendekatinya. Otak Aika berpikir keras, menganalisa sinar tersebut.Sinar kecil itu tiba-tiba berkedip!
Ya Tuhan, sinar itu adalah sepasang mata!
Manusia atau hewankah?
Akhirnya nalurinya berkata, ia harus lari secepatnya kembali ke jalan utama.
Aika berlari secepatnya menjauhi kedua sinar kecil itu. Namun berlari dalam kerumunan semak belukar dan rumput ilalang yang tinggi, bukanlah perkara yang mudah. Gerak kakinya kerap terhambat, apalagi tanah yang becek membuat sepatunya melesak ke dalam tanah. Langkahnya semakin berat. Ia menyadari sepatu sendal yang dipakai bukan dirancang untuk menghadapi hutan rimba seperti ini. Namun, ia harus terus berusaha berlari.
Kepanikan menyebabkan Aika tidak dapat memperhatikan jalan yang dilalui. Dengan suasana yang sangat gelap dan kabut yang tebal, ia bagaikan berlari menembus lapisan tirai hitam yang tak berujung. Ia harus menerjang semak belukar dan ranting pepohonan yang tampak samar-samar. Akibatnya goresan ranting-ranting dahan tak dapat dihindari. Mereka menjelma menjadi jari-jari tangan yang berkuku tajam lalu mencakar-cakar mukanya. Ditambah lagi dengan cipratan-cipratan air tanah yang menghujami mukanya bertubi-tubi.
Napas Aika tersengal-sengal. Rasa takut telah membuat dadanya bertambah sesak. Ia harus berhenti sebentar untuk mengambil napas dan menyeka keringat di kening. Aika melebarkan pandangan untuk melihat sekeliling.
Ya Tuhan dimana sekarang? Dimana jalan utama tadi? Seingatnya ia hanya berjalan beberapa langkah menuju hutan. Aika terdiam sambil merasakan kepanikan yang amat sangat menjalar ke sekujur tubuhnya.
Bagaimana ini bisa terjadi? Dimana-mana hanya terlihat ilalang, semak-semak dan pepohonan besar. Ya Tuhan aku tersesat !
Gadis itu bingung apakah harus terus maju, atau mencari tempat persembunyian, lalu memulai mencari jalan keesokan paginya. Aika menyesal mengikuti kata hatinya.
Suara-suara pesimis bermain-main di benaknya
Kamu akan mati kelaparan dan kedinginan di sini.
Hidupmu tak kalah tragis dari nasib ibu dan ayahmu.
Koran maupun televisi akan berlomba-lomba memberitakan hidupmu yang tragis.
Tidak lama kemudian terdengar suara dari kejauhan. Aika berusaha menajamkan pendengarannya.
Suara klakson mobil! Hatinya melonjak kegirangan. Aika bersyukur ternyata hidupnya belum berakhir. Ia belum ditelantarkan oleh sang Kuasa. Dicarinya arah suara mobil itu. Tak lama kemudian sayup-sayup sebersit cahaya melintas jauh di depannya. Aika yakin cahaya itu adalah lampu mobil walaupun terhalang oleh semak dan pepohonan. Perasaan lega yang tak terlukiskan serta merta menyertai, sampai-sampai ia tidak memperhatikan tanah yang terpijak menurun, licin dan berbatu. Kakinya terus meluncur tak terkendali menabrak semak-semak.
OH TIDAK!!
Aika tersandung batu yang cukup besar hingga terjungkal dan sedetik kemudian berdebam jatuh ke tanah. Tubuhnya meluncur mengikuti permukaan tanah yang berundak-undak. Aika terpaksa menerima rasa perih berkali-kali saat membentur bebatuan sampai pandangannya menjadi gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE KING'S CALL
Fantasía(Book 1 COMPLETED/ To be continued on Book 2) Aika, 17 tahun, terpaksa pindah ke Bukittinggi akibat tragedi yang menimpa ibu dan ayahnya. Padahal ia benci Bukittinggi semenjak Ibunya dibunuh di Kota itu. Semenjak kedatangan di pulau Sumatra, Aika...