Bab 6 Jakarta, Satu hari yang lalu

282 21 0
                                    

Sepanjang lorong penjara yang pengap dan panas, Aika hanya menundukkan kepala, menyembunyikan rasa kesalnya saat melewati beberapa lapis petugas penjara. Ia menolak menatap dinding-dinding suram penjara yang telah menahan ayahnya. Tapi hari ini ia harus menemuinya untuk berpamitan sebelum berangkat ke Bukittinggi malam nanti.

Riz Masri sudah menanti kedatangan putri tunggalnya. Ia berusaha menampakkan wajahnya yang ceria, walau hatinya sedih.

Mereka berdua kini duduk berhadapan, namun Aika tidak mau menatap wajahnya. Kadang-kadang gadis itu hanya melihat sekeliling ruangan, walaupun sama sekali tidak ada yang menarik. Hanya dinding-dinding yang catnya sudah menggelap dan kusam.

Tahu suasana hati anaknya, Riz berinisiatif untuk lebih dulu menegurnya, "Sudah siap?" tanyanya dengan antusias, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Aika hanya mengangguk dengan pelan sambil tetap menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Riz  kemudian berkata dengan lembut, "Ayah berjanji, saat kamu akan kembali ke Jakarta, ayah telah dibebaskan."

Aika berusaha tersenyum, mendengar keyakinan pada nada suara ayahnya, walau senyum itu terasa hambar.

Suasana hening sesaat meliputi mereka. Lidah Aika menjadi kelu, ia tak tahu harus berkata apa.

Ayah tahu aku sangat berkeberatan pergi ke Bukittinggi, pikir Aika dalam hati, yang masih berdiri kaku dan membisu, aku tak perlu berkata apa-apa.

"Saya harap mendengar suaramu," pinta Riz sambil memiringkan wajahnya mencari mata anaknya yang selalu dialihkan darinya.

Aika menarik nafas panjang, lalu mulai mengangkat wajahnya pelan-pelan.

"Ayah, aku tidak akan selamanya di Bukittinggi," cetus Aika dengan suara gemetar menahan tangis.

"Aku putuskan pergi, karena ayahlah yang memintaku. Dan aku segera kembali ke sini setamat SMA," sambungnya dengan suara tercekat. Lalu Aika menghembuskan nafas lega, sebagian bebannya terasa menghilang.

Riz menatap Aika dengan rasa sayang yang tulus, kemudian ia menggenggam erat tangan putrinya, bermaksud mengumpulkan keberanian padanya. Ia tahu betapa berat anaknya meninggalkannya dan pindah ke Bukittinggi.

"Baiklah, jika memang demikian keinginanmu," balasnya dengan wajah yang lembut.

"Dan maafkanlah ayah yang telah memaksamu pergi. Menurut ayah inilah yang terbaik untukmu saat ini. Keadaan akan membaik, ayah berjanji."

Aika menatap mata ayahnya. Kedua matanya tampak lelah, tetapi tetap berusaha menyiratkan kesan optimis. Riz telah divonis turut bersalah oleh pengadilan negeri dan harus mendekam di penjara selama dua tahun karena ia dianggap turut bertanggung jawab atas kegagalan alat deteksi gelombang tsunamy yang ia ciptakan dan dipasang di Samudra Hindia. Akibat kegagalan alat itu menimbulkan kematian lebih dari 100 jiwa di salah satu pulau di kepulauan Mentawai. Beruntung pulau tersebut tidak begitu padat penghuninya.

Riz adalah seorang ilmuwan pertama di Indonesia yang dihukum penjara karena dianggap melalaikan tugasnya sebagai ilmuwan. Hukuman yg diterimanya memang menyebabkan kalangan ilmuwan di Indonesia dan dunia berang. Apalagi selain hukuman pidana, Riz juga dituntut untuk ikut membayar ganti rugi kepada para korban secara finansial, sehingga ia terpaksa menjual rumahnya.

Semenjak dikeluarkannya putusan pengadilan negeri tingkat pertama, Riz terus membujuk anaknya untuk segera pindah ke Bukittinggi. Ia tahu Aika pasti menghadapi pergaulan remaja yang tidak ramah dan penuh tekanan, apalagi Aika baru kelas satu SMA pada saat itu.

"Ada banyak kota di pulau Jawa, kenapa harus Bukittinggi?" keluh Aika.

"Mungkin sekarang saatnya kamu yang langsung merawat rumah itu," sambung Riz sambil tersenyum. Ibunya memiliki sebuah rumah di Bukittinggi yang berdiri di tanah peninggalan orangtua, berdiri berdampingan dengan rumah kakaknya Husnar.

"Kamu akan melanjutkan sekolahmu di sana, dan akan punya banyak teman baru," lanjut Riz . Aika tersenyum kecut mendengar perkataan ayahnya, karena ia sanksi akan punya teman di Bukittinggi.

"Dan, jangan khawatir dengan sikap Bu Husnar yang agak eksentrik. Tidak ada salahnya menjadi pribadi yang sedikit berbeda. Kamu harus tetap menghormatinya."

"Baiklah, jangan khawatir ayah."

Sebenarnya Aika tidak terlalu memikirkan sikap eksentrik kakak kandung ibunya itu, karena mereka jarang bertemu. Yang ia tahu pasti adalah hubungan Bu Husnar dengan ibunya yang tidak begitu dekat.. Dulu mereka pernah bertengkar hebat. Semenjak saat itu, Bu Husnar sangat jarang mengunjungi ibunya di Jakarta. Karenanya Aika sedikit ragu apakah Bu Husnar akan menerima kehadirannya dengan sepenuh hati .

"Kita semua pasti tidak siap dengan keadaan ini. Walau belum pasti, kamu tidak boleh takut dengan perubahan. Siapa tahu perubahan ini lebih baik dari sekarang," ucap Ayah menutup percakapan mereka. Aika kemudian dipeluk ayahnya sambil berusaha menahan air matanya jatuh ke bahu ayahnya.

"Malam ini kamu akan berangkat. Nah, lebih baik pulang sekarang," ucap Ayah, "Dan tolong diingat, kematian ibumu tidak ada hubungannya dengan kota Bukittinggi. Kamu harus menghilangkan pikiranmu mengenai hal ini."

Aika mengangguk lemah tanpa membantah dan kemudian mencium tangan ayahnya sebelum meninggalkan penjara.

Ayahnya adalah seorang ilmuwan yang lebih mengutamakan nalar daripada emosi. Bukan saatnya lagi untuk melawan perkataan ayahnya. Keputusan kepindahannya sudah selesai, kepergian ini sudah final.

Aika melangkahkan kakinya dengan berat. Hatinya kembali amblas saat meninggalkan ayahnya. Ia tak menyangka ayahnya harus terkurung di tempat yang buruk ini.

Sesaat sebelum keberangkatan ke Bukittinggi, Aika menggunakan sisa waktu untuk berdiam di kamar saja. Ia melihat sekeliling kamarnya yg telah kosong. Di lantai, barang-barangnya yang akan dikirim lewat pos telah dipak dalam kardus. Kecuali peralatan lukis dan kumpulan sketsa gambarnya yang akan dibawanya langsung. Melukis adalah salah satu aktivitas yang ia gemari. Ia bisa melupakan sejenak masalah yang membelenggunya. Aika lalu berbaring di kasurnya dengan mata terbuka mengamati setiap sudut kamarnya. Dalam heningnya ia menahan gejolak perasaan sedih dan kecewa yang sedang berkecamuk. Ia harus meninggalkan kamar dan rumah yang sudah dihuninya selama tujuh belas tahun. Aika merasa tidak berdaya dengan nasib yang dilaluinya.

THE KING'S CALLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang