Tiba di luar kebun binatang, Aika melihat Arul yang terlihat agak syok."Bagaimana kalau cari minuman dulu?" ajak Aika untuk meredakan ketegangannya.
"Aku harus pergi melihat keadaan Kirai," cetus arul dengan muram.
"Pelatih harimau bukanlah orang yang sembarangan, aku rasa Kirai akan cepat sembuh," hibur Aika.
Tiba-tiba Flora kaget, hingga tersedak.
Aika menepuk-nepuk punggungnya.
Kemudian ia menatap Aika dengan serius.
"Ada apa?" tanya Aika.
"Sepertinya teriakanmu telah membantu Kirai terlepas dari gigitan Syawal," jawab Flora.
"Jangan ngaco! Mungkin hanya sedikit mengagetkan saja."
"Apa kamu pernah bertemu harimau secara langsung sebelumnya?" tanya Flora dengan mata penuh selidik.
Ucapan Flora membuat Aika terperanjat, apakah diam-diam ia seorang dukun?
Aika mengangkat bahu, seolah tidak perduli, "Ya, di Jakarta, harimau sering berkeliaran di rumah, mencari sisa-sisa makanan di tong sampah," jawabnya serampangan.
"Aikaaaa...serius dong!" seru Flora geregetan.
"Mungkin harimau tertarik warna bajuku," jawab Aika menduga-duga dengan menampakkan muka serius.
"Tidak...tidak!" potong Arul sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Harimau tidak tertarik pada warna tertentu, seperti serangga atau burung."
Flora kembali melayangkan pandangannya pada Aika. Ia masih belum puas dengan jawaban yang diberikannya.
"Ya enggaklah! masak harimau bertamu ke rumahku," balas Aika sambil tertawa terkekeh.
Namun di saat bersamaan, Aika teringat pengalamannya di hutan, membuat tertawanya mereda. Apakah sinar kecil yang ia lihat di hutan adalah mata harimau?
Tiba-tiba Flora berkata dengan suara serius, "Kamu harus memeriksa silsilah keluargamu, terutama garis ibumu."
"Kenapa?"
"Kata ayahku, dahulu kala salah satu suku minang ada yang mempunyai kemampuan berkomunikasi langsung dengan harimau. Jadi merupakan kemampuan yang sangat langka," ungkap Flora.
"Ayolah Flor, jangan menyebar cerita yang enggak-enggak!" potong Arul.
"Tapi siapa tahu, cerita orang tua bisa juga benar! " bantah Flora.
Kendati Aika dan Arul memberikan raut muka sangsi, Flora tetap melanjutkan kisahnya.
"Berkat kemampuan tersebut, para harimau pernah bekerja sama dengan para pendekar silat minang mempertahankan setiap lereng bukit dan lembah negeri ini dari serangan suku atau bangsa lain. Apalagi harimau adalah penghuni asli pulau ini sejak ribuan tahun yang lalu. Mereka menguasai setiap jengkal tanah ini, dari puncak gunung hingga dataran rendah. Namun terjadi penghianatan diantara suku-suku minang yang menyebabkan persekutuan mereka dengan para harimau bubar. Salah satu akibat dari penghianatan itu, Pemerintah kolonial Belanda berhasil menguasai seluruh Sumatera Barat pada tahun 1837. Mungkin sumber penghormatan kepada harimau oleh penduduk Sumatera Barat dimulai karena kisah itu. Dan karena dihormati, mereka sering dipanggil inyiak atau kakek," ujar Flora menyudahi.
"Mungkin karena mereka berjanggut seperti kakek-kakek," sela Irul sambil nyengir.
"Sulit memercayainya," tanggap Aika.
"Iya, kini hanya sekedar mitos, belum ada bukti yang mantap sampai sekarang," sambung Flora.
"Baiklah aku harus segera pulang. Keluarga harus diberitahu mengenai kejadian yang menimpa Kirai," sela Arul."Ok, kami pun juga harus pulang," tukas Aika.
"Kakiku pegal sekali, bagaimana kalau kita naik kendaraan umum atau naik bendi saja?" usul Flora. "Bendi adalah kendaraan nenek moyang yang ramah lingkungan!," tambahnya.
"Setuju!" balas Aika semangat.
Arul menarik nafas, menunjukkan ketidaksetujuannya.
"Ada apa?" tanya Aika menyadari perubahan raut muka Arul.
"Sejujurnya aku kasihan pada kehidupan kuda bendi. Seharusnya mereka hidup bebas berlarian di padang rumput yang hijau, bukan dipekerjakan di aspal keras dan berdebu seperti ini."
Ucapan Arul membuat kedua gadis itu saling berpandangan dengan tatapan kecewa. Dalam hati mereka menyetujui pendapat Arul.
"Ya...ya... baiklah, sekali ini saja ya...," cetus Arul menyadari suasana hati temannya.
"Tidak usah, kami naik angkot saja," potong Aika.
"Jam segini sudah jarang angkot, adanya hanya taksi." balas Arul, "Tunggulah di sini, aku akan cari bendi dengan kuda yang masih kuat," tambah Arul.
"Setidaknya kita membantu Pak kusir mencari nafkah," bisik Flora pada Aika
Arul kemudian membantu kedua gadis itu memilih bendi dengan kuda yang cukup tinggi dan kekar.
Kuda pun mulai berjalan pelan. Pengalaman baru Aika naik bendi sedikit membantunya meredakan syaraf ketegangan di kebun binatang. Dalam derap langkah kuda, Aika dihanyutkan oleh irama hembusan angin semilir. Kedua matanya aktif beredar menikmati suasana senja kota mengikuti jalan yang bergelombang.
Ingatan akan masa kecil menyeruak datang begitu saja. Dulu ia ingin sekali naik bendi. Pasti ia akan melonjak kegirangan, jika dulu keinginannya dipenuhi. Membayangkan masa lalu membuatnya tersenyum geli.
Ruas jalan yang dilalui oleh bendi sudah agak lengang, tidak terlalu ramai seperti siang hari. Berbeda sekali dengan keadaan di Jakarta yang aktif hingga tengah malam. Sepertinya aktivitas masyarakat Bukittinggi sudah mulai mereda menjelang jam lima sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE KING'S CALL
Fantasia(Book 1 COMPLETED/ To be continued on Book 2) Aika, 17 tahun, terpaksa pindah ke Bukittinggi akibat tragedi yang menimpa ibu dan ayahnya. Padahal ia benci Bukittinggi semenjak Ibunya dibunuh di Kota itu. Semenjak kedatangan di pulau Sumatra, Aika...