Bab 23 Ambacang dan Pertemuan Pertama

177 15 0
                                    

Dalam perjalanan kembali pulang, Flora dan Aika asyik mengobrol.

"Mm sudah kerasan di sekolah?" tanya Flora pada Aika  yang sedang memandang langit sore sambil menarik napas panjang menikmati udara segar sehabis hujan.

Aika berpikir sejenak sebelum menjawab Flora, "Em...fasilitas sekolah sangat baik. Guru-gurunya juga lumayan ......"

"Tampan seperti Pak Arif?" sambung Flora dengan nada jail .

Mata Aika membesar karena ucapan konyol Flora, lalu  tersenyum lebar "Katanya sebal dengan Pak Arif?"

"Ya, aku tetap sebal dengannya, tapi harus aku akui ia memang tampan," balas Flora enteng.

    "Dan sepertinya Reina juga ngefans sama kamu," lanjut Flora sambil membuat isyarat tanda kutip dengan kedua jari tangannya saat menyebut kata ngefans.

Aika mendengus, teringat ancaman Reina padanya.

"Ya, aku heran kenapa  bisa punya banyak fans  di sini," jawab Aika sambil berdecak kesal, "Damn! I hate that!"

Flora terkekeh, "Sepertinya kamu  adalah contoh murid yang awalnya berkasta 5 lalu melompat ke kasta 3 karena kamu pintar."

Aika menggelengkan kepalanya, "Aku setia pada kasta 5." Sambil mengacungkan tangannya Aika berkata "Kasta 5 forever!"

"Hidup kasta 5!" timpal Flora.

Kedua gadis itu saling berpandangan, lalu tertawa terbahak-bahak.

"Eh masakan rendang ibunya Arul  enak ya?" sela Aika mengalihkan pembicaraan. 

"Tentu saja! Tapi kenapa  kamu makannya sedikit seperti enggak berselera?" balas  Flora. "Aku saja sudah tambah nasi dua kali!"

Aika menarik nafas, lalu berkata pelan "Kalau makan enak, aku  teringat  ayahku di penjara."

Mulut Flora berubah  manyun, lalu  merangkul bahu Aika.

"Ayahmu akan segera bebas."

Aika mengangguk sambil tersenyum ringan.

     Kedua gadis itu tampak menikmati perjalanan pulang  hingga  tiba di Bukit Ambacang, tempat arena pacuan kuda.

Aika  mendongakkan kepalanya  menghadap langit. Awan kelabu tampak sedang menguraikan dirinya ke segala penjuru.

Sambil memegang makalah biologi dalam map plastik, Flora menerangkan  bukit Ambacang sudah terkenal sebagai arena pacuan kuda sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda.

"Menurut sejarah arena pacuan kuda ini adalah tempat teramai ketiga setelah pasar dan mesjid."

"Eh, awas lubang di depan mu!" seru Aika tiba-tiba memperingati Flora. Beruntung Flora masih bisa melompatinya. Karena hujan, tanah berumput yang mereka lewati  becek disana-sini. Banyak pula  kubangan air yang menghambat jalan.

Dari kejauhan tampak tiga  orang pria muda yang saling  berpacu  dengan kuda-kuda mereka. Langkah Flora melambat melihat para pemuda itu. Salah satu diantara mereka orang asing berambut coklat agak pirang.

Flora menutup mulutnya yang terperanjat.

"Siapa mereka?" tanya Aika.

"Mereka adalah  legenda sekolah kita, julukannya "the Shine" yang diambil dari nama mereka: Syam, Haikal dan Niko. Yang memakai kemeja jins biru itu adalah Syam. Pemuda itu  keponakan Datuk Wusang Sati. Datuk Wusang adalah orang terkaya di Sumatra Barat. Dan yang berambut agak cepak itu adalah Haikal anak pejabat tinggi. Cowok bule blasteran itu adalah Niko. Ia pernah bersekolah di SMA kita selama 1 tahun. Kalau Syam dan Haikal adalah  anak orang kaya dan keturunan bangsawan minang  zaman dulu." 

THE KING'S CALLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang