Bab 4 Ironi Sang Pemburu

320 28 0
                                    


"SUKU SIALAN!!!" pemburu itu mengumpat dan mencaci maki selama perjalanan.

Aku memang manusia tak tahu diri. Hatiku sudah terbuat dari batu hitam muncratan gunung berapi!Hah!! jeritnya dalam hati. Tangannya menggenggam sebuah dahan pohon yang ia kibas-kibaskan seperti sebuah parang dengan kasar pada semak-semak. Ratusan juta uang yang telah dibayangkan di benaknya melayang sudah dan usahanya berbulan-bulan untuk mencari dan menangkap harimau lenyap begitu saja. Kemudian terlintas ingatan suku Askara yang telah mengambil senapan burunya.

"AAARRGHHH!!!" Pemburu itu lalu berteriak melampiaskan kekesalannya.

Tak mudahnya baginya mendapatkan senapan buru yang dibeli dari para penyelundup.Apalagi senapan merupakan aset yang sangat berharga bagi seorang pemburu seperti dirinya.

Selagi emosinya sedang menggelegak, otaknya bekerja mencari ide pembalasan terhadap suku askara. "Lihat saja nanti, mereka akan menyesal, hutannya akan ku babat habis lalu kubakar, kalian harus menyingkir ke laut!!" serunya lantang di tengah hutan yang sudah mulai menggelap. Pemburu itu tersenyum sinis, lihat saja, aku akan kembali! Tidak hanya anak harimau akan ku tangkap, induknya sekalian akan ku seret ke luar hutan! tekatnya dalam hati.

Si pemburu berhenti sebentar untuk mengatur naspasnya. Lalu ditengadahkan kepalanya ke arah langit yang meremang, matahari sudah tak tampak di cakrawala. Keadaan akan segera gelap pekat dalam hitungan menit. Tanpa senapan di tangan, berkeliaran di hutan merupakan tindakan bodoh. Ia harus secepatnya keluar dari hutan, kembali ke pondoknya untuk beristirahat dan mengobati lukanya. Sang pemburu lantas mempercepat langkahnya untuk mendekati batang Sungai Kapuas dimana rakitnya tertambat.

Tiba-tiba ia berhenti melangkah, nalurinya mengatakan sesuatu sedang mengintainya. Sebelum si pemburu sempat membalikkan punggungnya, sesuatu yang tajam dan runcing menembus mulus ke tengkuknya tanpa halangan. Pemburu itu tertegun sejenak.

Tubuhnya berusaha meronta, tetapi ia merasa didekap oleh kekuatan yang sangat kuat. Tulang belakangnya seperti remuk satu demi satu. Ia bahkan tak dapat mengeluarkan suara apalagi berteriak. Lantas terdengar bunyi sesuatu yang patah. Si pemburu termangu mendengar suara itu. Sedetik kemudian baru disadari bahwa bunyi itu berasal dari lehernya sendiri, disusul suara gemeretak dari tulang punggungnya. Tubuhnya langsung roboh mencium tanah. Ia dapat merasakan semburan darah mengalir deras dari lehernya. Tetesan darah mulai keluar dari sudut bibirnya dan matanya mulai berkaca-kaca.

Pemburu itu dapat merasakan tubuhnya diseret ke dalam kegelapan menyusuri semak belukar. Ia begitu lemah dan lemas, sekujurnya tubuhnya sudah mati rasa. Sebelum tali nafasnya terputus, ia masih dapat menyunggingkan senyum kekalahan. Ini ironis, tubuhkulah yang diseret ke dalam hutan seperti binatang buruan. Dengan mata terbelalak memancarkan pandangan syok dan teror, wajah pemburu itu memucat. Tak lama kemudian kedua mata itu menjadi redup, lalu kosong tak bereaksi.

THE KING'S CALLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang