Bab 44 Pesantren Bukik

281 19 0
                                    

Sehabis pulang dari rumah Husnar, Kalif menemui Kirai di rumah sakit dan menceritakan pengalamannya sore tadi.

Kirai melongo tidak percaya.

"Jadi benar ia seorang pelindung?"

"Ya, tidak salah lagi," jawab Kalif serius.

Kirai terperangah lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kemungkinan besar Datuk Wusang Sati telah mengetahui kemampuan Aika," singgung Kalif sambil menepuk-nepuk bahu kanannya yang masih terasa nyeri akibat perkelahian di Jembatan Limpapeh.

"Kamu yakin serangan itu dilakukan oleh orang-orang suruhannya? Dan serangan burung elang itu!....Ini sangat berbahaya ..." ucap Kirai dengan suara gemetar.

"Ya, sejarah akan terulang lagi dalam waktu dekat."

"Ini gawat. Kamu harus segera pergi ke Pesantren Bukik untuk minta bantuan," lanjut Kirai khawatir.

Kalif mengangguk.

"Dan kamu harus segera kembali. Aika perlu perlindungan."

Kalif menarik napas, "Ya, aku mengerti."

Kirai menyandarkan punggungnya. Ia berusaha menenangkan kekhawatirannya. Tapi kemudian ia tersenyum kecil dan secercah semangat timbul dari dirinya.

"Ada apa?" tanya Kalif menyadari perubahan hati temannya.

"Penyebab keganasan Syawal kini dapat kumengerti. Cindakulah yang membuatnya seperti itu. Syawal masih sayang kepadaku!"

Kalif tersenyum melihat Kirai sedikit terhibur.

Kirai menghembuskan napas lega.

"Aku akan menemui Syawal lagi nanti jika sudah keluar dari sini."

Kalif hanya bisa mengangguk sekenanya, pikirannya lagi bercabang-cabang.

"Pasti kamu sedang pusing. Lebih baik pulang saja dan istirahat,"

Kalif tersenyum ringan,"Ya, baiklah. Segeralah sembuh, aku juga butuh pertolonganmu."

"Jangan khawatir. Mudah-mudahan minggu depan aku bisa pulang ke rumah," balas Kirai mantap.

Kalif mengangguk senang.

"Oh ya, bagaimana dengan Arul? Ia pasti belum percaya adanya cindaku," tebak Kirai.

Sambil mengusap tengkuknya, Kalif menjawab,

"Ya. Makhluk itu memang harus dilihat dengan mata kepala sendiri. Aku harap Arul dapat segera melarikan diri jika suatu saat bertemu dengan cindaku."

Ekspresi kengerian langsung terbayang di muka Kirai, "Jangan sampai hal itu terjadi!"

Dalam perjalanan pulang, pikiran Kalif tak terlepas dari nasib Aika dan keluarganya. Mereka silih berganti menyesaki benaknya. Pertama-tama pengakuan Husnar yang menyatakan bahwa ia belum siap mengatakan tentang kematian ibunya Aika. Hal itu membawa Kalif mundur ke masa lalu, saat Asmiar hendak mengunjungi gurunya, Inyiak Kurai. Ia sempat mengatakan kepadanya ingin bertemu dengan Inyiak Kurai. Tetapi sayang sebelum sempat menemui Inyiak Kurai, nyawanya telah tiada. Kalif mendesahkan napas penyesalan. Saat mengingat Pendekar Matoari yang telah gagal memberikan perlindungan kepadanya. Kedua, ucapan Husnar yang mengungkapkan kebingungannya kenapa Asmiar dibunuh jika sebenarnya Aika lah sang pelindung sebenarnya.

Aku harus segera pergi mengunjungi guru. Nyawa gadis itu dalam bahaya, ucap Kalif dalam hati.

Di waktu yang sama, di sebuah rumah mewah yang megah namun tampak suram dan dingin, Datuk Wusang Sati sedang berhadapan dengan seseorang.

"Kau yakin gadis itu adalah seorang pelindung yang dulu pernah kau ramalkan?"

"Ya tuan, kali ini tidak salah lagi."

Pria berkepala plontos itu bernama Geisar. Ia seorang cindaku yang mempunyai kelebihan berhubungan dengan dunia gaib. Tangan kanannya bertato seekor harimau bentuk kuno yang rumit. Tato ini bukan sembarang tato, tetapi tato spiritual untuk membantunya melakukan upacara ritual.

"Apakah harimau yang ditemuinya itu akan menjadi harimau pendampingnya?"

"Belum dapat dipastikan, tapi harimau itu telah membuka komunikasi dengannya."

"Baiklah," datuk menggerakkan tangannya menyuruh Geisar keluar dari ruangannya.

Datuk Wusang Sati kemudian duduk di kursi ruangan kerjanya yang berhadapan dengan sebuah jendela besar seraya menatap kaku lembah yang curam. Meskipun sudah berumur enam puluh tujuh tahun, dia masih tampak kuat. Keriput di kulitnya tidak begitu tampak. Tubuhnya kekar dan berbahu lebar. Berburu secara rutin telah menempa ototnya menjadi keras.

Dua buah matanya telah berubah menjadi sorotan mata harimau yang memancarkan kemarahan.

Pesantren Bukik dengan Pendekar Matoarinya pasti bekerja sama dengan pihak lain untuk melindungi gadis itu, pikirnya dalam hati.

Datuk Wusang menyunggingkan senyum tipis di bibirnya saat memastikan rencananya yang sudah bulat.

Aku harus mencegah gadis itu memiliki harimau pendamping. Gadis itu dan siapapun yang melindunginya harus dihancurkan!

Perlahan senyum tipis nya mengembang dan memamerkan gigi taringnya.

Setelah dua ratus tahun lebih berlalu, tampaknya pertempuran lama antara cindaku melawan pelindung serta Pendekar Matoari akan segera dimulai. Kali ini harus kita menangkan !

Datuk Wusang Sati beranjak dari kursinya, kedua tangannya terkepal dibelakang punggung. Sambil melihat pantulan dirinya dalam kaca jendela, ia mengingat-ingat nasib keturunan Datuk Batuah dan para pendukungnya yang diburu seperti anjing yang terkena rabies. Mereka tercerai berai dari bumi Sumatera Barat, rumah dan seluruh harta benda mereka dirampas dan dijarah. Yang berhasil selamat dari pembantaian, melarikan diri dengan susah payah. Kini mereka hidup terpencar-pencar ke seluruh pelosok negeri hingga bersembunyi di negeri-negeri asing.

Dengan dipimpin oleh pelindung, para penduduk menolak kenyataan bahwa cindaku memang ada di antara mereka. Dan mereka berusaha menyembunyikan dan memberantas kenyataan itu dalam-dalam. Pembantaian yang dipimpin oleh pelindung yang didukung oleh para pendekar matoari.

Mereka pura-pura suci padahal berhati busuk. Mereka adalah orang orang munafik! kutuk datuk dalam hati.

Pertempuran itu memang sudah lama diimpikan karena ia sudah mulai bosan berpura-berpura. Ia ingat bagaimana melatih untuk tersenyum di depan kaca, yang membuatnya muak. Ia ingin melepas topeng kepalsuan ini secepatnya. Ia ingin bangsa cindaku diakui. Penghinaan dan pengusiran yang diterima nenek moyangnya dulu harus dibayar dengan harga tinggi. Manusia maupun harimau harus mengakui keberadaan cindaku dan kalau perlu menghamba kepada cindaku. Darahnya kini meluap-luap dengan keinginan untuk menghancurkan. Entah kenapa kemarahan itu kini membuatnya haus dan lapar. Saking semangatnya ia meraung di tengah malam sebelum berlari kencang membelah hutan. Raungannya membuat dunia seakan terpaku sesaat membayangkan teror yang akan dilampiaskannya.

*******************

(Bersambung ke Buku ke-2)

THE KING'S CALLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang