Bab 33 Kembalinya Sang Datuk

159 12 0
                                    


      Keesokan paginya Aika  ke sekolah dengan naik sepeda. Ia mengayuh pedal sepeda dengan semangat, dipayungi langit berwarna biru pucat. Sesekali ia harus meliukkan setang sepeda menghindari lubang atau kerikil besar di jalanan.

          Dihirupnya  dalam-dalam udara pagi yang dingin dan segar.  Suasana pagi itu, membangkitkan ingatan akan kehidupannya di Jakarta. Dulu ia harus pergi ke pegunungan  untuk dapat menghirup udara segar, padahal   udara segar bukan kebutuhan sewaktu-waktu yang dapat ditunda, tapi kebutuhan setiap saat.

       Di cakrawala yang maha luas, cahaya  matahari  masih bersinar lembut. Bias cahayanya menembus  celah-celah awan yang berserakan seperti serat-serat kapas halus.

       Pemandangan alam di sekeliling, membuatnya lupa akan kelelahan. Selagi mengayuh, matanya dapat menangkap aktifitas pinggir kota yang mulai menggeliat. Dari kejauhan para petani  sudah membenamkan kaki mereka di ladang dan sawah.

    Berjarak sekitar satu kilomenter dari sekolah, sebuah mobil Mercedes berwarna hitam mengkilat terlihat  terparkir di pinggir jalan. Kaca mobilnya pun gelap.  

    Dalam sebuah mobil berwarna hitam, seorang pria berusia sekitar enam puluhan dan berpakaian serba hitam sedang memperhatikan Aika dengan seksama. Walaupun sudah tua, ia tetap terlihat sehat dan kuat. Kedua matanya bak  mata elang yang bisa melihat jelas dari jarak jauh. Gerakan Aika sekecil apapun tak lepas dari pengamatannya.  Pria tua itu kemudian  bertanya kepada seseorang yang berkepala plontos yang duduk di samping kursi sopir.

"Jadi gadis kecil itu adalah anak wanita yang terbunuh itu?"

"Ya, dan ia  telah menghentikan amukan harimau di kebun binatang," jawab pria itu.

"Ini bagian dari  ramalanmu ?"

Geisar, nama pria plontos itu, mengangguk. "Ramalanku jarang meleset Datuk," ucapnya dengan bangga.

Pria tua itu mendengus, "Ramalan tidak ada yang seratus persen akurat, kecuali kau mendapatkan bisikan dari yang tak terlihat." 

Geisar menahan diri untuk tidak membantahnya.

"Saya tak ingin perjalanan jauh dari Brazil sia-sia. Jika  salah, kau tahu konsekuensinya."

Datuk Wusang Sati beberapa tahun belakangan ini tinggal di Brazil. Hutan di negara  itu masih banyak binatang liar, apalagi udaranya juga tidak terlalu dingin. Ramalan  Geisar mengenai Aika memaksanya kembali ke Indonesia.

"Jangan khawatir Datuk."

Datuk perlu melihat dengan matanya sendiri gadis yang telah diramalkan. 

"Apakah gadis itu sudah mengetahui dirinya siapa?" 

"Saya rasa belum. Ia baru tiga bulan di sini."

"Suruh orang untuk mengikuti dan mengawasinya," pria tua itu mengeluarkan perintah yang tak dapat dibantah.

"Ya, Datuk."

"Kau  harus memastikan kemampuannya,   sebelum  berita ini diketahui  dewan. Gadis itu, walaupun terlihat tidak berdaya,  mengancam keberadaan kita." 

Pria tua itu menarik napas panjang lalu menyandarkan tubuhnya di sofa mobil, "Baiklah, mari kita pergi dari sini."

Mobil Mercedes hitam itu berjalan pelan melintasi Aika yang membuat gadis itu menepi dan berhenti mengayuh sepedanya.

Sambil terus menatap Aika dari balik jendela mobilnya, sang Datuk berkata dalam hati, Akhirnya, setelah sekian lama, darah harus dibayar dengan darah. Gadis itu tak punya pilihan lain. Ia harus membayarnya.

THE KING'S CALLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang