Waktu pun begitu cepat berlalu. Suara dengkuran Alf dan Iswan yang saling bersautan sudah terdengar dari balik kamarnya. Aika menuju koridor lantai atas menuju kamarnya. Dilihatnya sebuah ruangan yang berseberangan dengan kamarnya. Ruangan itu didominasi oleh dinding- dinding yang berwarna putih, dilengkapi dengan sebuah meja berikut kursinya serta lemari rak buku yang mengelilingi hampir di setiap sisi dinding. Di sisi kanan meja, terdapat sebuah jendela besar yang menghadap taman dan rumah Husnar. Ruangan ini akan ku gunakan sebagai kamar belajar pikir Aika sambil mengangguk-angguk sendiri. Rumah ini adalah miliknya seorang. Perasaan berkuasa tiba-tiba datang begitu saja. Aku berhak melakukan apa saja di rumah ini, tanpa campur tangan siapapun.Kembali di kamar, gadis itu barang-barangnya dari koper, kemudian menyusunnya dengan rapi ke dalam lemari. Memasuki waktu Maghrib, suasana di sekitar rumah begitu sepi. Aika membuka pintu beranda kamarnya. Seketika udara dingin langsung menyergap. Ditatapnya langit senja yang tampak muram sambil menikmati kesunyian. Tidak terdengar deru mobil maupun raungan sepeda motor. Sayup-sayup terdengar alunan suara orang yang sedang mengaji dari mesjid.
Langit semakin gelap, Gunung Singgalang dan Gunung Marapi hanya tampak samar-samar. Bintang-bintang mulai terlihat satu demi satu. Suara alam terdengar begitu jelas; deru angin yang melewati sela-sela pepohonan, suara jangkrik yang saling bersahutan dan bunyi serangga malam lainnya. Udara di luar semakin dingin, akhirnya Aika menutup pintu berandanya.
Aika melihat kasurnya yang belum beralas. Untung ia membawa sprei dari Jakarta. Setelah dialas dengan rapi, Aika duduk di atas kasur seraya menarik nafas panjang. Diedarkan matanya ke seluruh sudut kamarnya. Semuanya masih tampak asing baginya. Sudahlah! Aika kamu sudah di sini sekarang, tegurnya dalam hati.
Sebelum tidur, ia memutuskan untuk mandi lebih dulu. Ia yakin badannya merindukan siraman air setelah dua malam tidak mandi. Kamar mandi di kamarnya sangat bersih dan moderen. Dinyalakannya pancuran air hangat. Beruntung ibunya telah memasang penghangat air. Jika tidak, ia harus mandi secepat kilat dalam udara dingin seperti ini.
Saat sabun menyentuh kulitnya, rasa perih langsung terasa akibat pengalaman di hutan. Disana-sini tampak warna kulit yang membiru karena memar. Aika segera menghalau ingatannya tersebut, dan hanya memusatkan pikiran pada curahan air hangat yang menggerus kepenatannya.
Setelah mengenakan piyama tidur dan mematikan lampu kamar, Aika menuju jendela kamarnya. Rumah Husna terlihat gelap, tapi terlihat cahaya redup di salah satu ruangannya. Cahaya itu berasal dari lampu semprong yang dimaksud Iswan. Aika langsung merebahkan diri di atas kasur. Tadi ia merasa mengantuk. Namun, setelah mendarat di tempat tidur, ia tidak dapat memejamkan mata. Aika teringat dengan nasib ayahnya di penjara. Dibandingkan dengan ayah, betapa nyaman tidurnya saat ini. Ia pun meneteskan air mata.
Gadis itu tidak mau berlama-lama larut dalam kesedihan. Tubuhnya bolak-balik di atas tempat tidur, berupaya melepaskan ingatan dari ayahnya. Ia memaksa pikirannya berkelana menganalisa apa yang sedang terjadi pada dirinya.
Apa aku menderita imsonia mendadak?
Mungkinkah karena kamar ini adalah kamar ibu? Atau karena tinggal di kota ini?
Lalu ingatan yang tidak diinginkan muncul. Pengalaman yang menegangkan di hutan, terutama sorotan tajam sinar kecil itu. Aika mencoba menguraikan apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu. Kenapa ia begitu ceroboh menerobos hutan, dan kenapa bisa terbaring di pinggir jalan. Anehnya ia tidak bisa mengingatnya sama sekali. Ia berusaha menghentikan otaknya bekerja memikirkan kejadian itu. Dihidupkan kembali lampu kamar, lalu diraihnya novel yang sengaja dibawa dari Jakarta. Ia membacanya halaman demi halaman, mengharap dapat mengalihkan pikiran dalam otaknya dan sekaligus membuat kedua matanya lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE KING'S CALL
Fantasy(Book 1 COMPLETED/ To be continued on Book 2) Aika, 17 tahun, terpaksa pindah ke Bukittinggi akibat tragedi yang menimpa ibu dan ayahnya. Padahal ia benci Bukittinggi semenjak Ibunya dibunuh di Kota itu. Semenjak kedatangan di pulau Sumatra, Aika...