Syam memarkirkan sedan mewahnya di rumah megahnya yang bercat putih dan bergaya modern di punggung bukit kecil. Rumah itu tampak sangat terawat dan dikelilingi taman serta tembok yang tinggi, mencerminkan keinginan pemiliknya yang menuntut privasi mutlak. Orang-orang sekitar menamai rumahnya dengan sebutan istana putih, the white castle.
Bukit ini beserta rumahnya hanya sebagian kecil properti yang Syam miliki. Selebihnya ada di beberapa kota besar dunia. Sudah lima tahun ia meninggalkan Bukittinggi (semenjak bersekolah selama setahun di SMA BK I) tetapi kota ini selalu berhasil memanggilnya kembali.
" Selamat sore Tuan."
Seorang pelayan pria yang telah berumur menyambutnya dengan hormat.
"Tuan muda perlu sesuatu?"
"No. Thanks. I'll let you know when I need one."
Pelayan itu mengangguk dengan sopan lantas pergi meninggalkan Syam.
Syam langsung menuju kamarnya yang terletak di tingkat paling atas dan menutup pintu kamarnya rapat. Ia berjalan menuju balkon tempat favoritnya. Syam menatap suram ke langit yang menggelap, matanya yang tajam beralih ke arah hutan lebat dihadapannya. Hembusan udara pegunungan yang dingin telah membentuk kabut-kabut yang terlihat seperti selendang putih tipis melayang di udara.
Syam menghela napasnya. Ia berdiri cukup lama di balkon. Bertanya-tanya pada diri sendiri bagaimana ia sampai pada titik ini dalam kehidupannya. Syam tak tahu apakah ia kini telah menerima nasibnya. Ia tak lagi merasa sedih, tapi tidak juga merasa bahagia.
Ia punya segalanya, kekayaan, berwajah tampan, dan lulusan Harvard, Universitas paling bergengsi di Amerika Serikat. Tidak susah baginya mencari pekerjaan apalagi wanita cantik. Tetapi ia tidak perlu mencari pekerjaan dan kekayaan, almarhum ayahnya selalu menduduki daftar 20 orang terkaya di Asia. Sebagai anak tunggal, ia mewarisi sebagian besar kekayaan ayahnya.
Dengan apa yang telah menimpanya, kekayaan menjadi tidak penting lagi. Segala ambisi pribadi telah lenyap. Apalagi ia tidak perlu bekerja keras, seluruh perusahaan ayahnya telah diurus oleh para professional di bidangnya. Ia hanya sesekali menghadiri rapat pemegang saham jika sempat, selebihnya ia mengutus lawyer dan akuntan kepercayaan ayahnya. Karena walau bagaimanapun ia merasa berkewajiban menjaga reputasi perusahaan yang dibangun ayah dan kakeknya selama bertahun-tahun. Apalagi sekarang ribuan orang mencari nafkah dari perusahaan-perusahaannya itu.
Pemuda itu terkadang merasa dirinya menuju ke titik kejemuan, sehingga ia terus mencari tantangan dan kesibukan baru. Setelah lulus dari Harvard, ia berkelana dari satu Negara ke Negara lainnya untuk mengisi hari-harinya sekaligus meringankan beban di hatinya.
Syam memejamkan matanya sambil menarik napas dalam-dalam bermaksud menekan kegundahannya.
Sudah dua minggu ia berada di Bukittinggi. Sebelumnya ia berada di Canada menikmati udara dingin dan kesunyian.
Mhh jika tidak ada yang menarik lagi di sini, ucapnya dalam hati. Dan setelah urusanku di sini selesai, aku akan segera pergi, tetapi tiba-tiba alis kanannya terangkat keatas. Sesuatu menarik Syam. Ya, ia teringat gadis itu kembali. Dan ia pernah melihat gadis itu sebelumnya di televisi. Sorotan kamera yang begitu dekat telah menangkap raut wajahnya ketika ia melepas ayahnya ke penjara. Gadis itu menahan tangisnya.
Setelah berhadapan langsung dengannya. Syam dapat melihat dengan jelas kedua mata yang ekspresif namun tetap memancarkan kelembutan. Apalagi kini bau tubuh gadis itu masih mengendap kuat di penciumannya. Ia dapat mencium darahnya yang manis dibalik kulitnya yang lembut. Sehingga ia harus menutup rapat hidungnya dan menjauh darinya.
Dua kali kesempatan, ia menantang mataku. Tidak seharusnya gadis itu menantang pemburu. Gadis itu akan menyesal jika tahu akibatnya.
Syam mendengus kasar. Ia tiba-tiba merasa janggal. Tanda tanya mulai memenuhi sudut benaknya, kenapa pikirannya berujung pada gadis itu. Dia seperti berada di mana-mana.
Do I have to stay here a little longer? tanyanya dalam hati.
Dentangan jam pukul sembilan malam berbunyi. Waktu akhirnya menyingkirkan bayangan gadis itu dari pikirannya. Mata Syam berkilatan. Tiba saatnya untuk berburu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE KING'S CALL
Fantasy(Book 1 COMPLETED/ To be continued on Book 2) Aika, 17 tahun, terpaksa pindah ke Bukittinggi akibat tragedi yang menimpa ibu dan ayahnya. Padahal ia benci Bukittinggi semenjak Ibunya dibunuh di Kota itu. Semenjak kedatangan di pulau Sumatra, Aika...