Bab 15 Rumah Baru

225 17 0
                                    

Lima belas menit berlalu, Alf mulai melambatkan mobil dan berbelok menuju jalan berkerikil yang mendaki. Mobil masuk lebih dalam lagi ke jalan yang mengecil. Tak tampak satu pun rumah, hanya pepohonan di kanan kiri. Suasana sekitar begitu hijau dan rindang. Lima menit kemudian mesin mobil berhenti di depan suatu pekarangan yang berpagar. Aika sedikit kaget, ternyata sudah sampai di tempat tujuan. Saat kepalanya menengok ke sebelah kiri dilihatnya dua buah rumah berukuran sedang, saling berhadapan di hamparan rumput hijau yang sangat terawat. Letaknya agak menjorok sedikit di dalam.

"Ayo turun, kita sudah sampai,"ajak Alf pada Aika.

Dari jauh terlihat Husnar yang berdiri tegak mematung. Ia memakai sebuah topi anyaman lebar dengan dengan hiasan berbagai bunga dan rumput liar. Rambutnya yang panjang sepinggang dan beruban dibiarkan terurai. Wajahnya datar saja tanpa ekspresi, tapi dengan sorotan mata yang tajam. Jika memegang tongkat panjang, ia akan menjelma menjadi tokoh nenek sihir dalam cerita dongeng.

Aika keluar dari mobil pelan-pelan dengan pandangan tetap tertuju pada kedua rumah itu. Perbedaan kedua rumah itu sangat mencolok. Yang satu seperti pondok kecil dengan sedikit sentuhan modern hasil renovasi secara bertahap. Sedangkan, yang satu lagi, adalah rumah tradisional dengan atap bergonjong. Kedua rumah itu berdiri di atas tanah warisan orangtua.

Aika menganggukkan kepalanya kepada Husnar, lalu menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Husnar menyambut tangannya dengan pelan seolah ragu-ragu untuk menyentuh tangan Aika, "Ka..kamu mirip sekali dengan ibumu..." ucapnya dengan suara bergetar.

"Yah begitulah," jawab Aika sambil tersenyum getir.

"Kamu tahu rumahmu," lanjut Husnar sambil menyerahkan kumpulan kunci dan tanpa basa basi meninggalkan Aika menuju rumah bergonjongnya yang unik.

Aika memandangi rumah yang akan ditempatinya itu, rumah itu berdiri diatas tanah yang diuruk tinggi, seolah-olah berdiri di atas sebuah bukit mungil. Bangunannya didominasi oleh kayu dan batu alam memberikan kesan alami, cocok dengan lingkungan sekitarnya yang bernuansa alam.

"Ayo Aika, jangan ragu-ragu masuk ke rumahmu," ucap Iswan, ketika melihat keraguan di wajah Aika.

"Aku akan membawa barang-barang mu ke atas."

"Rumah itu sudah lama menanti kedatanganmu," sambung Alf.

"Kamar ibumu ada di atas, kamu akan menempati kamar itu," singgung Husnar.

Aika sebenarnya tidak mendengarkan suara-suara di sekelilingnya. Karena ia terpaku dengan rumah ibunya. Perasaan ragu, menghalangi langkahnya, antara ingin masuk dengan tidak. Aika tak ingin kenangan rumahnya di Jakarta akan terhapus saat memasuki rumah itu. Rumah di hadapannya sekarang seakan-akan menjadi pemisah kehidupannya di Jakarta. Ia tidak sekedar rumah, tetapi melambangkan kehidupan baru.

Aika melewati pijakan kaki yang disusun dari batu alam, lalu dibukanya pintu rumah itu lebar-lebar, memperlihatkan ruangan di dalam rumah yang cukup luas dengan langit-langit yang tinggi. Seluruh lantai berlapis kayu berwarna coklat muda, sedangkan jendela yang terpasang mempunyai ukuran yang lebar dan menghadap pekarangan. Ia meluaskan pandangannya ke seluruh pelosok ruangan. Di ruangan utama terdapat sebuah sofa panjang berwarna krem ditemani sebuah meja kecil persegi. Uniknya di ruangan ini terdapat sebuah perapian untuk membakar kayu. Kemudian, di sebelah kiri ruangan utama terdapat dapur kecil dengan perlengkapan memasak yang moderen berikut meja makannya, semuanya menyatu sempurna tanpa sekat. Terdapat sebuah kamar berukuran sedang di dekat tangga menuju atas, dan sebuah kamar mandi di sampingnya.

Gadis itu lalu mengayunkan langkahnya menaiki anak tangga menuju ruangan atas. Ia melakukannya secara perlahan-lahan sambil menenangkan jantungnya yang berdebar-debar sejak tiba rumah ini. Di anak tangga teratas, Aika berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya, sebelum mengayunkan langkah terakhir. Kini ia sudah sepenuhnya di tingkat atas. Di hadapannya ada sebuah koridor yang ujungnya mengapit sebuah jendela besar. Koridor itu memisahkan dua kamar yang saling berhadapan. Kedua kamar itu tampak sama besar. Namun ia tahu pasti bahwa kamar ibu adalah yang di sebelah kanannya, karena ia selalu menempatkan kaligrafi beraksara Arab di pintu kamarnya.

THE KING'S CALLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang