Sudah sebulan Aika bersekolah semenjak kepindahan ke Bukittinggi. Sekolahnya, BK1 merupakan sekolah swasta paling top di Bukittinggi. Sekolah ini mengutamakan anak-anak dari keluarga kaya dan terpandang di Bukittinggi. Sisanya anak-anak yang bersusah payah mengikuti ujian dan berhasil lulus.
Minggu-minggu pertama di sekolah, dilalui seorang diri dengan menerima tatapan sinis dan bisikan siswa-siswa sekolah. Apa boleh buat? pikirnya. Hal ini sudah sering diterima di Jakarta. Apalagi para siswa mulai bergosip dan sengaja berbisik-bisik ketika ia harus berjalan sepanjang koridor ruang-ruang kelas.
Tidak seorang pun teman sekelasnya berani berkenalan lebih dulu. Ia memang tidak berharap mendapat teman, lagipula selama ini sudah terbiasa sendirian
Suatu saat di sekolah, empat orang siswa yang berpenampilan agak urakan dengan seragam sekolah dikeluarkan, serta bau rokok tercium dari tubuh mereka menegur Aika dengan cara mereka sendiri.
"Hei, anak baru!"
Aika menghela napas, terus berjalan.
Ia berhadapan dengan gank 4 hot metal, trouble maker di sekolahnya.
Persis seperti sekolah-sekolah lainnya, para siswa siswi di sekolah ini memiliki status sosial yang otomatis langsung melekat setidaknya tiga minggu setelah mereka sekolah.
1) murid dari keluarga sangat kaya
2) murid cantik dan tampan
3) murid berprestasi
4) murid pemberontak, pembuli, trouble maker alias preman sekolah
5) murid biasa yang tidak masuk di kasta diatas
Kasta 1 diterima di mana saja kecuali di kasta 4. Jika menempati kasta 1,2, dan 3 sudah pasti akan terkenal dan populer di sekolah. 0.01 persen dari para murid bisa masuk kasta 1), 2) dan 3) sekaligus, tapi sangat jarang. Jika ada, mereka berada di puncak piramida status sosial, penguasa dan raja sekolah ini. Murid-murid yang biasanya menjadi obyek buli, selalu ada di kasta 5. Dan mereka bisa terkenal jika menjadi korban buli.
"Pura-pura budek sepertinya..." sambut suara yang lain.
"Melarikan diri ya?"
Aika menghentikan langkahnya, mendengar sindiran itu, lalu menoleh.
Edi, pemimpin 4 hot metal tersenyum lebar, a full banana-smile. Rambut anak itu dicat pirang dan dengan kulit sawo matang, Edi tampak seperti cowok bule nyasar.
Seorang gadis tiba-tiba muncul, lalu beradu mulut dengan Edi. Suaranya terdengar galak, tak kalah pedasnya. Rambutnya pendek seperti anak laki-laki dan memakai sepatu boots hitam Dr Martens.
Aika tak menyangka di kota kecil ini, menyaksikan seorang perempuan yang berani seorang diri melawan para laki-laki dengan lantang. Sebelumnya ia menyangka seorang perempuan dari kota kecil akan selalu berkata lemah lembut dan santun.
Kembali ke kelas, muka gadis itu masih tampak kesal. Ia lalu duduk di bangkunya.
"Kamu tak perlu membelaku. Aku sudah terbiasa," ucap Aika menghampirinya.
Gadis itu melirik Aika dengan mata tajam.
"Siapa yang membelamu?"jawab Flora ketus.
Terperanjat dengan jawabannya yang tidak ramah, "Okee..." jawab Aika sambil melangkah pergi.
Dua hari kemudian, ketika Flora tidak dapat mengerjakan soal geometri dengan benar di depan kelas. Hasil perhitungannya disalahkan oleh Pak Arif. Guru matematika yang masih muda dan tampan. Usianya baru sekitar pertengahan tiga puluhan. Jika Pak Arif mengajar, sebagian besar para siswi terlihat begitu semangat dan mengulaskan lipstick atau setidaknya lipgloss di bibirnya.
Flora dengan polosnya berkata, "Saya menerapkan rumus yang bapak yang ajarkan. Kalau hasilnya salah, berarti bapaklah yang salah."
Pak Arif terperanjat sambil melipat tangannya di dada sambil melototi Flora yang memasang muka polos.
Para siswa terdiam. Suasana kelas mendadak tegang.
Ini pertunjukan yang jarang terjadi, pikir Aika.
Sejenak Pak Arif terdiam. Ia terlihat mengumpulkan kesabarannya. Semenit kemudian ia berkata, "Cara menerapkan rumusnya salah. Kamu silahkan duduk kembali."
Pak Arif mengedarkan pandangannya ke arah para murid. Namun para murid langsung menundukkan matanya. Hanya Aika terlambat melakukannya .
Please, jangan aku, ucap Aika dalam hati.
"Aika," panggil Pak Arif.
Aika kaget namanya dipanggil.
Kenapa Pak Arif bisa ingat namaku? keluh Aika.
Tetapi Tiba-tiba seorang siswi mengacungkan tangannya sambil tersenyum, "Pak, saya saja. Saya tahu jawabannya"
Reina nama gadis itu. Ia cantik, tinggi dan langsing; menempati kasta 1 dan 2. Apakah ia berprestasi? Kebetulan tidak. Ia maju ke depan kelas hanya untuk menarik perhatian Pak Arif saja.
"Baiklah, ternyata kita ada sukarelawan," jawab Pak Arif.
Reina maju dengan percaya diri ke depan kelas sambil melemparkan rambutnya yang panjang ke belakang. Rok seragamnya lebih pendek dan ketat dari yang dianjurkan sekolah. Seketika para siswa memperhatikan goyangan pinggulnya yang berirama. Gadis itu bisa menjadi seorang supermodel selepas sekolah di sini, pikir Aika.
Flora memincingkan matanya dengan tatapan jijik pada Reina.
Sekonyong-konyong, sebuah teriakan membuyarkan aksi Reina.
"ADA TIKUS!!!!"
"AAAAaaaaa!!!!" Reina langsung terpekik.
Seisi kelas menjadi riuh,
"Tenang! Tenaaang!" teriak Pak Arif berusaha menguasai keadaan, tapi gagal total.
"Tikusnya ada dua!!!" seru seorang anak.
Banyak dari mereka berebutan berdiri di atas kursi dan meja, karena tikus-tikus itu tampak berlarian dengan lincah dan tidak takut menabrak kaki-kaki para siswa.
"Ssttt, jangan berteriak, tikus itu akan semakin panik" ucap seorang siswa. Namanya Arul, berperawakan kecil dan kurus dengan wajah lonjong dan berkacamata bulat.
Arul dengan serius mencari tikus -tikus itu dengan merangkak, bahkan tengkurap seperti seorang tentara yang sedang latihan militer.
Dengan cekatan, Arul berhasil menangkap salah satu tikus dengan tangannya. Tidak ada raut geli atau jijik di mukanya. Lalu dimasukkan tikus itu ke dalam sebuah stoples kaca.
Tikus yang kedua berhasil bersembunyi ke dalam tas salah satu siswa yang tergeletak di lantai.
Adegan penangkapan tikus itu, membutuhkan waktu cukup lama hingga bel ganti pelajaran. Sebelum bubar, Pak Arif mengingatkan minggu depan akan dilakukan tes materi ini. Kontan para murid melontarkan lenguhan kecewa.
Saat istirahat tiba, Flora yang biasanya selalu keluar kelas, sedang duduk sendirian di ruang kelas menatapi soal matematika yang tadi gagal diselesaikannya, kemudian ia mendesah menunjukkan kekesalan pada dirinya sendiri. Pada saat yang bersamaan, Aika melangkah ke kelas, kedua mata mereka bertemu.
Aika menghampiri Flora yang masih menunjukkan ekspresi kecewa.
"Sebenarnya tadi kamu hanya salah menghitung saja."
Flora mendongakkan kepalanya. Ia agak kaget dengan teguran Aika.
"Apa pedulimu!" sentak Flora.
Ya, buat apa aku peduli? sergah Aika dalam hati.
Aika mengangkat bahunya, tak mau ambil pusing, lalu melangkah menjauhi Flora menuju kursinya.
"Maafkan aku," jawab Flora tiba-tiba.
"Aku tak tahu kenapa tadi berkata kasar ....,"
Ucapan maaf Flora, membuat Aika melunak.
"Kamu tak akan mendapatkan jawabannya dengan cara yang kamu terapkan tadi," ucap Aika
"Kamu bisa membantuku?" tanya Flora dengan nada berharap.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE KING'S CALL
Fantasy(Book 1 COMPLETED/ To be continued on Book 2) Aika, 17 tahun, terpaksa pindah ke Bukittinggi akibat tragedi yang menimpa ibu dan ayahnya. Padahal ia benci Bukittinggi semenjak Ibunya dibunuh di Kota itu. Semenjak kedatangan di pulau Sumatra, Aika...