Menjelang shubuh, Aika terjaga dari tidurnya. Gadis itu terbangun dalam keadaan gundah. Ia tak mengerti kenapa wajah Syam tidak bisa dihilangkan dari ingatannya.Wajahnya kemarin tampak tidak menyukaiku. Kenapa ia bersikap seperti itu? Aika menjadi geram sendiri. Apa salahku yang telah membuatnya kesal. Apakah wajahku yang pas-pasan atau penampilanku yang mengganggunya. Menyebalkan!
Aika menegakkan tubuh dari posisi berbaringnya. Wajahnya bersiaga seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa Syam hanyalah pemuda aneh yang tak patut melintas di benaknya.
Aika segera beranjak dari tempat tidur, dan meregangkan tubuhnya. Ditariknya tirai jendela kamarnya untuk melihat pagi. Langit belum terlalu terang. Semburat cahaya matahari masih terlihat samar-samar. Ia berharap cuaca akan cerah seharian, saat nanti berkunjung ke kebun binatang bersama Flora dan Arul.
Aika bertemu Flora dan Arul di pelataran Menara Jam Gadang sesuai rencana. Jam Gadang yang dibangun pada tahun 1926 itu telah dipenuhi oleh para wisatawan lokal dan asing. Aika meluaskan pandangannya, tampak Gunung Merapi yang megah di kejauhan; terlihat pula dua buah patung harimau yang diletakkan berhadapan dengan Jam Gadang. Sesaat gadis itu mengamati, kedua patung harimau itu.
Mengapa akhir-akhir ini harimau seperti mengikutiku? tanya nya dalam hati.
"Patung harimau itu adalah tanda bahwa masyarakat minang memang menghormatinya," singgung Arul yang berdiri disamping Aika ikut mengamati kedua patung itu.
"Taring giginya dapat mencapai enam sampai tujuh centimeter. Coba bayangkan jika keduanya tertancap pada leher korban..." ucap Arul dengan nada menggantung.
Aika tergidik membayangkannya.
"Hei, kalian jangan menatap patung harimau itu terlalu lama! Nanti bisa hidup lo," seru Flora dengan mimik bercanda dari kejauhan. "Ayo lekas lanjutkan perjalanan!" ajaknya lagi.
Arul menggeleng-gelengkan kepalanya, "Jangan percaya dengan omongan Flora " bisik Arul.
Aika hanya bisa tersenyum geli.
Mereka kemudian singgah ke kawasan Benteng Fort de Kock di Bukit Jirek yang dibangun masa Perang Padri sekitar tahun 1825. Namun tidak terlihat benteng ataupun bangunan yang mirip benteng, bahkan hanya sebuah taman dengan pepohonan yang rindang dan beberapa buah meriam kuno.
"Bentengnya mana?" tanya Aika keheranan.
"Bentengnya sudah tidak ada lagi," tanggap Flora.
"Sudah runtuh atau diruntuhkan?"
Flora mengangguk, "Masyarakat kota ini tidak mau melihat benteng yang melambangkankan penjajahan kolonial di Sumatera Barat."
Dari tempatnya berdiri Aika dapat melihat pemandangan kota karena Bukit Jirek merupakan tempat tertinggi di tengah kota.
Dari kawasan benteng mereka bertiga menuju Bukit Malambung yang letaknya bersebelahan dengan Bukit Jirek dengan meniti jembatan gantung Limpapeh. Disanalah lokasinya kebun binatang Bukittinggi. Flora menjelaskan dulunya kawasan ini dikembangkan oleh Pemerintah Belanda sebagai taman bersantai bukan kebun binatang.
Sambil menyusuri jembatan mereka ngobrol bermacam-macam termasuk permainan sepak rago kepada Arul.
"Sebentar...sebentar...," potong Flora. "Siapa pemuda yang melemparkan bola kepadamu?"
"Maksudmu Kalif? Pemuda itu...." Aika berdecak, "Ia benar-benar membuatku kesal, seenaknya saja melempar bola tanpa diundang!"
"Tapi kamu kan berhasil menerimanya!" balas Flora, "Ia pasti sudah mengukur kemampuanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE KING'S CALL
Fantasy(Book 1 COMPLETED/ To be continued on Book 2) Aika, 17 tahun, terpaksa pindah ke Bukittinggi akibat tragedi yang menimpa ibu dan ayahnya. Padahal ia benci Bukittinggi semenjak Ibunya dibunuh di Kota itu. Semenjak kedatangan di pulau Sumatra, Aika...