Dimas pov
11.12
Maaf, ya hanya kata itu yang bisa aku ucapkan, ternyata aku telah membuatmu terluka.
"Sampai kapan mau sembunyi? Bukan dia yang membuat jarak tapi keputusanmu yang membuatnya tak bisa lagi mendekat"katanya sambil duduk didepanku
"Apa aku harus berhenti sembunyi dit?" tanyaku pada kakakku radit
"Mungkin iya, kau tidak melihat bagaimana lelahnya dia menangisimu? Dim dia berhak tau tentang semuanya, dia selalu menyalahkan dirinya sendiri atas kepergianmu, kau ingin dia terus terluka dengan pemikirannya sendiri"
Kata radit panjang lebar padaku.
Mataku kembali menatap kearah gadis yang terus berteriak dan menangis, ingin aku menghampirinya tapi lagi-lagi langkahku berhenti.
"Apa kau tak ingin melihatnya bahagia, kita semua yakin kau akan sembuh, jadi berhenti memikirkan hal yang buruk dan cobalah nikmati hidup ,jika ini hari terakhirmu lakukan apa yang menjadi tujuan"
Radit benar tidak seharusnya aku seperti ini, aku hanya tidak ingin melihatnya lebih hancur dari ini, bagaimana jika dia terbiasa denganku tapi takdir berkata lain, apa bisa dia melukapanku?
"Kejar dim bukan berhenti disini, aku tau kamu mau kesana, selagi ada waktu kenapa tidak, lari dim, kejar apa yang selalu kamu inginkan" aku berdiri menatap rain, aku tak sanggup terus melihatnya menangis.
" dit, aku takut dia terbiasa denganku tapi setelah itu aku harus pergi, aku takut dia semakin terluka" kataku dengan menghadap arah lain, aku memang lelaki tapi lagi-lagi aku menangis hanya karna ini.
"Dim, apa kamu mau seumur hidup dia menyalahkan dirinya sendiri karna kepergian kamu? Dia akan lebih tersiksa saat tau ini dari orang lain" radit terus menasehatiku, aku tidak boleh terus bersembunyi seperti ini aku pecundang, aku harus bisa membuatnya bahagia dengan sisa waktuku.
"Aku harus kesana radit, aku gak yakin akan sembuh tapi aku yakin bisa membuatnya bahagia walau hanya sementara.
Kakiku berjalan kearah gadis yang sedang terduduk didepan pemberhentian kereta api, dia menundukkan kepalanya dan terlihat punggungnya bergetar tanda dia sedang menangis.
Aku menghapus air mataku, menetralkan wajah dan nafasku, seolah aku bersikap biasa saja dihadapannya.
" rainda" aku memanggil namanya, dia nampak diam dan mulai mengangkat wajahnya, terlihat tatapannya yang penuh dengan rasa sakit, tapi aku melakukan sebaliknya menatapnya dengan tatapan datar, seolah tak merasakan apapun.
Rain pov
"Rainda"
Suara itu membuat detak jantung ku berhenti, kuangkat kepalaku menatap orang yang memanggil namaku.
Tatapannya terlihat tak menggambarkan ekspresi apapun, sedangkan aku menatapnya dengan tatapan penuh luka.
"Mas dim" air mataku kembali jatuh, lidah ku nampak kelu dan tak ada yang bisa aku ucapkan.
Orang yang ku rindukan ada dihadapanku, tapi rasanya sangat sakit saat tatapan tak seteduh dulu.
Sejenak aku menatap wajahnya, dan secara tiba-tiba aku berdiri dan memeluknya sangat erat, rasanya aku tak rela jika dia akan pergi dariku.
"Maaf dim"
"Maaf, jangan membenciku"
"Maaf, maaf, maafkan aku terlambat menyadari semuanya"
"Maaf, bicaralah aku mohon jangan diam"
"Maaf" dan hanya kata itu yang bisa aku ucapkan, tangan memang mengusap halus rambutku tapi dia tidak membalas ucapanku satu pun.
"Maaf, apa tidak lagi kesempatan untuk memaafkanku, sebenci itu"
Aku melepas pelukannnya, tampa berani menatap arah matanya.
Tampa kata aku beranjak menjauh, sekarang aku sadar dimasku berubah, tak ada lagi rasa seperti dulu dan semuanya hampa.
"Maaf mengganggu waktumu" kakiku kembali melangkah, tapi belum begitu jauh tangan dimas membuatku berhenti.
"Katanya rindu, kenapa pergi?" Aku tersenyum tampa berani menatapnya, untuk pertama kali aku mendengar suaranya secara langsung.
"Kau tidak menyukai kehadiranku, lalu untuk apa aku tetap disini?" Aku bertanya tampa berani menatapnya
"Tatap mataku rain, bagian mana ada pancaran benci didalamnya? Bahkan setitik pun kau tidak akan menemukannya" aku berbalik badan dan secara perlahan menatap arah matanya, bukan lagi pancaran dingin tapi kehangatan dan keteduhan seperti dulu.
"Maaf, aku terlambat untuk semuanya, aku.....ak..u maaf, maaf dim" aku tak bisa mengungkapkan apa yang aku rasakan sekarang, rasanya bahagia dan takut, bahagia bertemu dengannya tapi takut jika dia akan pergi lagi.
"Sejak kapan kamu bisa gugup kayak gini? " aku tertawa dengan pertanyaannya, ini mimpiku Tuhan dan kau memberikan nya.
Aku kembali memeluknya dan dia membalas pelukanku, rasanya hari ini akan menjadi arah bahagia dalam hidupku, air mata yang jatuh sekarang itu karna aku bahagia menemukanmu.
Jika aku diberi pilihan, aku ingin terus seperti ini, saling memeluk dan melepaskan semua rindu, untukmu dimas aku tak tau apa yang akan terjadi esok tapi aku harap kita terus bersama.
Jika pun kau pergi, maka ajak aku, kemanapun keujung dunia ataupun diujung dipintu kematian aku akan tetap bersamamu.
"Jangan pergi lagi, aku gak tau apa bisa aku hidup dengan separuh raga?" Aku berkata didalam pelukan nyamanya.
"Semuanya pasti pergi rain, bahkan kita pun pasti akan berpisah" entahlah aku menatap nada putus asa dalam kata-katanya.
"Kemanapun kamu pergi ajak aku, sekalipun kamu gak mau aku akan tetap ikut, karna aku gak yakin bisa melanjutkan hidup aku tanpa kamu disini"
"Rain kita jalani yang sekarang, takdir kita didepan jika hari ini dipersatukan, pasti ada saatnya kita dipisahkan"
"Mungkin jika aku bertemu dengan wanita cantik dan lebih memilihnya, apa kamu rela jadi istri kedua" aku melepas pelukannya, dia tertawa sedangkan arah wajah berbeda enggan menatapnya.
"Rain, jika tampa kamu perdulikan dan hanya dijadikan pelampiasan aku tetap setia, bagaimana mungkin aku pergi hanya karna itu" katanya tulus padaku, entah apa statusku denganya sekarang tapi aku harap ini tidak cepat berakhir, kata-katanya memang menyinggungku tapi aku sadar bagaimana sakit jika diposisinya.
"Maaf untuk hal itu dim, aku bahkan gak sadar kalau aku sering buat kamu kecewa dan terluka dan maaf aku terlalu bodoh dalam hal memilih, hingga akhirnya pilihanku menghancurkan semuanya" aku menggenggam tangannya.
"Kita lupain itu dan ini awal dari semuanya, kita pulang aku mau pengen ketemu sama mama kamu"
Aku diam sejenak mendengar kata terakhirnya, mungkin dimas belum tau tentang masalahku sekarang.
Dan aku pun tak bisa menjawabnya sekarang, menceritakan semuanya sama saja mengulang rasa sakitnya.
"Kenapa diem? Ayo rain, aku kangen banget sama mama kamu"
"Mas dim, sebenernya aku udah gak tinggal sama mama lagi, lebih tepatnya aku sama rudy pergi dari kehidupan keluarga kita" aku menundukkan kepalaku, air mataku kembali jatuh ternyata benar rasa sakitnya masih sama.
"Tapi kenapa rain?"
"Aku gak bisa cerita sekarang mas dim, aku belum bisa"
"Aku paham, sekarang kita kerumah kamu aja hari ini aku mau full time sama kamu, dan aku ingin menebus waktu dan juga air mata kamu karna aku"
Aku tersenyum, aku tidak tau apakah ini akhir dari kisahku, tapi ini happy ending untuk setengah kisahku.
Sekarang langkahku tak sendiri, dimas bersamaku, nisa dan juga kakakku mereka semua orang yang menjadi alasanku bertahan hari ini, bukan untuk saat ini tapi untuk selamanya.
Tanganku tak ingin lepas dari tangannya, aku langit gelap tapi nampak bersinar karnanya dan aku saat ini benar-benar mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dimas (End) REVISI
Romancemenunggu dan selalu begitu , terus mencari dan berusaha memperbaiki sebuah hubungan yang telah hancur . hati yang terus mencintai dan selalu rindu pada seseorang yang entah kapan akan terbalaskan, menanti dan terus mencari lelaki yang sangat dicint...