#40

26 3 0
                                    

Rainda pov

"Ce, apa mungkin rey menyembunyikan dimas? Aku bisa lihat ambisi dimatanya untuk mendapatkan kamu."

Aku menatap nisa dengan tajam, apa mungkin rey setega itu? Apalagi dimas sahabatnya dan bahkan dia jembatan ku waktu itu untuk bertemu dimas.

"Jadi kau menuduh rey? Tapi mana mungkin dia tega dengan dimas, sahabatnya?"

"Sekarang kamu dapat surat itu dari mana?" aku diam sejenak.

"Rey."

"Yang terus berusaha menyakinkan mu bahwa dimas meninggal?"

"Rey." jawabku lagi.

"Siapa yang membawa kita sejauh ini?"

"Rey, tapi ini tempat pilihan ku nis." nisa diam, menatapku.

"Ce, surat itu dari rey dan orang yang terus menyakinkanmu bahwa dimas meninggal itu rey. Dia terus maju mendekatimu dengan alasan dimas menyuruhnya untuk menjagamu."

"Apa kamu menemui keluarga dimas setelah itu?"

"Itu nisa yang mau aku bahas, jadi setelah aku dapat surat itu, aku kerumah dimas tapi rumahnya kosong."

"Kamu udah coba tanya atau kekios ayahnya."

"Kios itu dijual dan juga aku gak bisa temuin radit dirumahnya, dia juga pindah."

"Radit?"

"Kakaknya dimas, dia kan sudah menikah jadi udah pisah rumah."

Kami sama-sama diam, tidak ada yang tau kebenaran bahkan kesalahan yang terjadi saat ini.

Siapa yang mau aku salahkan? Ini semua diluar kendaliku. secara tiba-tiba aku bisa bersama dimas, lalu kenyataan membuat kami harus berpisah lagi.

"Tapi ce gak mungkinkan ini semua ulah keluarga dimas? Apalagi mereka itu sayang sama kamu dan sangat menyukai hubungan kalian. Jadi gak mungkin tiba-tiba mereka benci kamu dan ngatur semua kebohongan ini."

"Cuma ada satu jalan sa, supaya semuanya selesai." nisa menatapku ingin tau.

"Surat asli yang ditulis dimas, tapi dimana?"

"Dikamar dokter reyhan." jawab nisa dengan senyum penuh artinya.

"Tapi nis jika dia memang terlibat, pasti surat itu disimpan ditempat yang aman. Dan mungkin tidak satupun yang tau selain dia."

"Dan aku gak yakin rey tega membohongiku, apalagi menyakiti dimas."

Nisa hanya menjawabku dengan anggukan kepala, aku juga tidak terlalu yakin jika rey yang melakukan itu.

"Ce, ada pepatah yang mengatakan bahwa semua adil dalam perang dan cinta. Dan rey mencintaimu."

Aku diam, tapi otakku terus disuruh untuk berfikir, lelah hanya itu.

"Rainnn! Turunnn!" teriakan seseorang membuatku tersadar.

"Ayo sa." aku dan nisa menuruni anak tangga.

"Kok cepet?" tanyaku saat sudah dibawah dan menemukan rudy duduk santai disofa ruang tamu.

"Nih, jangan malam-malam soalnya nanti aku pakai lagi." rudy melempar kunci motor, dan dengan sigap kutanggap.

"Kemana?" tanyaku.

"Vic club, mau ikut?" sahut rudy.

"Ikutlah, yaudah aku pergi dulu." aku meninggalkan rudy diruang tamu.

Dengan bersenandung ria, kami membelah jalanan yang padat tapi teratur. Udara dingin masuk melewati lapisan mantel yang kukenakan.

Kami berhenti disebuah kedai kopi, cukup menawan dengan dekorasi yang unik, membawa kita untuk bernostalgia.

"Hm, americano, cappucino and avocado egg bacon."

"Okay, please wait for the order." kata pelayan lelaki itu dengan tersenyum.

Setelah itu kami memilih tempat duduk disamping jendela besar, yang menatap langsung arah kebun asri, dihalaman belakang.

"Tumben gak bawa rokok." kata nisa memecah keheningan.

"Kata siapa?" aku mengeluarkan sebungkus kotak rokok putih biru yang masih tersegel, dan juga pemantiknya.

"Iya sih nisa emang temen setia, tapi ada yang lebih setia." kata nisa.

"Sa, suka gak disini?" tanyaku, setelah menyalakan satu batang rokok.

"Suka, ini tempat baru dan aku harap bertemu juga dengan orang baru. Aku tau ce ini terlalu jauh dari negeri kita tapi bukankah semakin jauh maka kita makin sadar dimana rumah kita?" aku menatap jauh kedepan, iya aku rindu rumahku, walau mungkin tak ada lagi hakku disana.

"excusme, enjoy your order."

"Thank's." balasku.

Kami menikmati secangkir coffe dan makanan dalam diam.

"Ce, kalau semisal papa kamu datang dan minta maaf, apa yang kamu dan rudy lakuin?" pertanyaan nisa membuyarkan lamunanku dalam menikmati makanan.

"Gak tau, lagian gak mungkin waktu kita serumah dia gak peduli, apalagi sekarang. Kamu fikir dia bakal minta maaf? Bahkan dalam mimpi pun tidak akan terjadi." jawabku, dan kembali menikmati rokok daripada makanan yang kupesan.

"Ce, ini hanya seandainya, jad__"

"Sa, aku udah capek berandai-andai yang ada malah sakit, jadi nikmati yang sekarang dan biarkan sang waktu menjelaskan."

"Tapi ce kan rudy pernah bilang yang bisa menjelaskan kita, bukan waktu, dan jika itu terjadi aku harap kalian bisa kumpul lagi."

Aku menatap nisa dengan tajam dan kembali menghisap dalam-dalam rokok ini, karna hanya dia yang bisa membuatku tenang.

"gue gak mau bahas satupun yang berhubungan sama keluarga gue disini sa, dan loe harus paham sama situasinya." nisa hanya diam saat ini, karna jika loe gue sudah ada dalam percakapan, itu artinya aku sudah tak ingin membahas apapun topik pembicaraan.

"Ayo, ikut gak? Aku mau belanja soalnya." aku keluar lebih dulu meninggalkan nisa yang masih diam tampa ingin membalas ajakanku.

Akhirnya yang ditunggu keluar dari kedai.

"Ayo, lain kali gak usah bahas soal keluarga gue. Males soalnya." kataku saat nisa sudah didepan ku.

Kami memasuki supermarket terdekat, dan membeli kebutuhan kita secukupnya.

Saat akan mengantri untuk pembayaran dikasir, mataku menangkap seorang pria paruh baya dengan jas yang membalut tubuhnya.

"Rain." sapanya, membuatku menjatuhkan belajaan yang belum kubayar,dan langsung menarik nisa pergi.

"Rain tunggu!" Katanya lagi.

"Ce, bapak itu memanggilmu."

"Ayo sa, ditinggal atau naik?" dia langsung naik, sekejab aku melirik kebelakang, dan dia mengejarku. Tapi setelah itu berhenti.

Untung saja nisa tidak begitu mengenalnya. Aku menghela nafas saat sampai diapartemen dan langsung naik meninggalkan nisa dibawah, dengan tanda tanya.

"Ce, dia siapa? Kenapa kau berlari? Ceee!"

Aku menutup pintu kamar dan menguncinya, lagi-lagi aku ingin kesunyian.

Dalam otak ku timbul begitu banyak pertanyaan, kenapa dia disini? Dan untuk apa lagi dia mengejarku?

"Rud aku tunggu dibalkon kamadku." aku mematikan sambungan telfon tampa menunggu jawaban darinya.

Untuk Dimas (End) REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang