Rumah Baru

28.1K 1.6K 14
                                    

Hallo..... Oke, di sini akan ada adegan menjurus ya meskipun bahasanya tidak eksplisit. Mari nikmati ceritanya. Don't forget to vote, comment, and follow me 😁

Tulang-tulang di tubuhku rasanya mau patah. Sumpah, sangat-sangat terasa sekali sakitnya. Perjalanan Jakarta Bandung yang biasanya ditempuh hanya 3,5 jam mendadak menjadi hampir 6 jam. Ada kecelakaan parah di Tol Cikampek yang membuat mobil sama sekali tidak bergerak. Kecelakaan beruntun yang menyebabkan dua sisi jalan tidak dapat dilewati kendaraan.

Tadi, di jok belakang, Cila menangis. Gadis kecil itu sama tidak betahnya denganku. Jadilah aku pindah tempat duduk di belakang untuk menenangkan puteri kecilku itu. Sebenarnya tidak sulit menghentikan tangisan Cila. Hanya perlu diceritakan sebuah kisah dongeng sambil mengelus lembut rambut sebahunya. Terus seperti itu sampai akhirnya gadis empat tahun itu akan tertidur. Dan, tentu saja aku juga ikut tertidur di sampingnya. Memang, apalagi yang bisa kulakukan dengan kondisi seperti itu.

Kami sampai di Bandung ketika hampir senja. Matahari sudah berada di ufuk barat. Cahaya orange menyambut kedatanganku di rumahku. Rumah yang sudah dibeli Bang Azzam sejak ia menikahi istri pertamanya 7 tahun lalu. Oke, mari kita lewati pembicaraan tentang mantan istri.

Sebelumnya aku pernah main ke rumah Bang Azzam beberapa kali. Tentu saja bersama Bang Saka. Laki-laki itu teman kuliah Bang Saka di ITB. Satu angkatan meskipun berbeda jurusan. Bang Saka mengambil jurusan teknik perminyakan sedangkan Bang Azzam mengambil teknik arsitektur. Mereka satu tempat kost. Menjadi sahabat berbagi nasib karena sama-sama anak rantau dari Jakarta. Jadi, perkenalanku dengan Bang Azzam tentu saja lewat perantara kakakku yang paling tampan itu.

Aku selalu saja norak setiap kali ke rumahnya Bang Azzam. Maklum, biasa di Jakarta menghirup polusi. Di kawasan Dago Atas, aku bisa menjernihkan paru-paru tubuhku. Menghirup sebanyak-banyaknya udara sejuk di senja hari. Aku berani bertaruh, aku akan sangat menikmati tinggal di tempat ini.

"Kamu mandi dulu saja, Sofia. Makan malam sudah disiapkan Bu Rum," kata Bang Azzam.
Aku mengangguk.

Luas rumah Bang Azzam sebenarnya hampir sama dengan rumahku di Kabayoran Baru. Hanya saja, Bang Azzam membangunnya menjadi dua tingkat. Di lantai atas ada tiga kamar dan satu kamar untuk Bu Rum. Cila tidur di atas meskipun menurut Bu Rum, gadis kecil itu seringkali tidur bersama Bang Azzam di kamarnya. Di tengah-tengah kamar, ada ruangan terbuka yang isinya memuat berbagai mainan Cila dan piano. Serta lemari buku yang isinya beragam cerita anak-anak. Tepat di atas carport, dibuat menjadi ruang terbuka. Ada kursi kayu dan meja kecil. Tempat ini semacam rooftop.

Kamar Bang Azzam-yang juga akan menjadi kamarku-berada di lantai dasar. Cukup besar dengan kamar mandi dan ruang kerja. Selain itu, ruang nonton TV dan dapur dibuat tanpa sekat. Dan, bagian yang paling membekas adalah banyaknya jendela besar. Saat kutanya, memang sengaja karena Bang Azzam akan membiarkan udara sejuk dan sinar matahari masuk. Sehingga, saat siang tidak perlu lagi menyalakan lampu.

Di bagian belakang, ada gazebo di seberang kolam renang. Untuk mencapai tempat itu, ada jembatan kayu kecil yang berada melewati kolam renang. Menurutku, siapa yang mau berenang dengan udara sedingin ini? Aku tentu saja tidak mau.
Banyak sekali pohon dan bunga di sekitar kolam renang. Arsitek, estetika, bunga-bunga, memang perpaduan yang pas. Kalau begitu aku akan selalu tampil cantik karena sepertinya suamiku ini pecinta kecantikan.

Selesai makan malam dan menceritakan dongeng sebelum tidur pada Cila, aku pergi ke kamar. Di sana, sudah ada Bang Azzam yang sedang membaca buku. Ia menghentikan kegiatan membacanya ketika menyadari kehadiranku. Ia langsung menaruh buku tebal itu pada meja nakas di samping ranjang kami.

"Ke mari, Sofia," katanya sambil menepuk-nepuk ranjang di sampingnya.

Dari sinilah awal jantungku berdegup dengan keras. Ambil napas, buang secara perlahan, Sofia. Tenang. Ingat, Azzam itu suamimu. Ia adalah laki-laki lembut. Tidak mungkin, ia akan menerkammu apalagi sampai memakanmu.

Dengan berjalan perlahan, aku mendekati ranjang. Sial. Jantungku tidak dapat diajak kerja sama. Ia masih saja berdetak dengan keras. Aku terus menunduk, tidak berani menatap Bang Azzam.

"Selera Kak Diba kekanakan sekali," gumamnya.

Aku mendongkakkan kepala dan menatapnya penuh tanya. Mengapa tiba-tiba ia membicarakan kakak perempuannya yang tinggal di Jakarta?

"Kak Diba bilang kalau ia membelikan pakaian tidur untukmu. Jadi, ini pakaiannya?"

Deg. Aku menunduk untuk mencoba menghilangkan rona merah di wajahku. Sengaja aku memakai piyama panjang bergambar doraemon ini. Pakaian tidur yang dibelikan kakak iparku tentu saja bukan seperti yang kukenakan sekarang. Lingerie dengan tali tipis dan bahan yang nerawang. Dari jauh pun akan kelihatan seperti apa tubuhku. Memakai pakaian seperti itu akan membuaku bertambah malu. Apalagi di hadapan laki-laki.

"Ini sebenarnya pakaian tidurku, Bang. Bukan dibelikan Kak Diba," cicitku.

"Kenapa kamu tidak memakai pakaian pemberian Kak Diba?"

"Itu karena... karena bahannya...."

"Aku paham."

Aku menghembuskan napas lega. Aku malu setengah mati jika harus menjelaskan kegugupanku. Seharusnya Bang Azzam memahami kondisiku yang seperti ini. Aku tidak pernah berpacaran. Bagaimana mau menjalin hubungan dengan laki-laki jika papa dan Bang Saka selalu saja menggonggong jika ada temanku main ke rumah.

"Kamu belum siap?" tanya Bang Azzam.

"Siap untuk a...." Aku menggantung kalimatku sendiri. Aku sudah 22 tahun. Sudah dewasa dan mengerti mengenai seks. Bahkan sex education sudah kudapat dari mama sejak aku kecil. Mengenai bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Hanya saja, aku tidak mengerti apa yang harus kulakukan. Maksudku, aku harus bersikap seperti apa untuk melayani Bang Azzam.
Argh aku benar-benar bingung sekaligus gugup. Bisa tidak bagian ini dihilangkan saja dari episode hidupku. Atau, mengapa tidak langsung pagi saja sehingga aku tidak perlu berkeringat seperti ini.

"Sofia," panggil Bang Azzam lembut.
Jemarinya menyentuh daguku dan membuat wajahku mengarah menatapnya. Tatapan seperti itu. Aku tidak pernah melihatnya menatapku seperti itu. Oh, mama, rasanya aku ingin meleleh ditatap seperti itu. Bang Azzam semakin mendekatkan wajahnya ke wajahku hingga akhirnya bibirnya sukses mendarat di bibirku.

Kecupan-kecupan kecil yang dilakukan Bang Azzam membuat tubuhku bergidik. Otakku kosong. Semakin menjadi ketika kecupan itu berubah menjadi lumatan. Ia menciumku dengan sangat lembut. Memang aku belum pernah berciuman sebelumnya dan mungkin saja tidak mengerti konteks ciuman lembut seperti apa. Tapi, aku tahu cara Bang Azzam menciumku seperti ingin memastikan aku nyaman dengan hal baru ini.

"Buka mulutmu, Sayang," bisik Bang Azzam.
Baru saja aku membuka mulutku, lidahnya langsung berkelana di dalam mulutku. Dulu, aku pikir berbagi liur adalah hal yang menjijikkan. Mulut itu sarangnya penyakit. Tapi sekarang, ini seperti candu. Mulut Bang Azzam membuatku terus ingin merasakan lebih dan lebih.

"Sofia, terima kasih sudah mau menikah denganku," Bang Azzam berbisik sebelum akhirnya ia membaringkanku di ranjang dan menyelimutiku dengan tubuh kekarnya.

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang