Mengikuti Saran Dokter

20.4K 1.2K 19
                                    



Ini adalah part terakhir dari bagian satu cerita ini. Next part akan memulai cerita baru dengan sudut pandang lebih global sehingga akan tahu pemikiran Bang Azzam. Kalau di bagian satu, kita hanya bisa menerka-nerka dari pemikiran.

So, enjoy this story. Jangan lupa taburkan bintang dan komentarnya, ya.  Hatur nuhun.



"Pil kamu, kok, masih utuh, Sofia?" tanya Bang Azzam. Beberapa jam lalu Bang Azzam baru saja sampai di Bandung. Setelah menempuh perjalanan lebih dari 18 jam dengan dua kali transit di Swiss dan Singapura, ia akhirnya sampai di Bandara Husein Sastranegara. Aku dan Cila yang menjemputnya. Gurat kelelahan tampak di wajah suami tampanku. Makanya, saat menginjakkan kaki ke rumah, ia langsung menghabiskan empat jam untuk tidur.

Bang Azzam bangun tepat setelah aku menidurkan Cila. Ia langsung makan siang dan salat zuhur. Begitu segala urusan dunia akhiratnya selesai, tanganku langsung ditariknya ke kamar. Wajah itu, aku paham sekali maksudnya.

Mencoba untuk tenang, aku menjawab pertanyaan Bang Azzam. "Aku ganti suntik aja. Wajahku jerawatan."

Aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajahku ketika mengatakan kebohongan itu. Aku hanya berharap setidaknya aktingku yang pas-pasan terlihat meyakinkan.

Bang Azzam mengangguk. Aku tidak tahu ia mempercayaiku karena ucapanku terlihat meyakinkan atau urusan lain yang lebih penting. Sepertinya memang ada urusan lain karena ia langsung mencium bibirku. Hasratnya sudah berada di ujung. Ia menuntaskan gelora yang ditahannya selama tiga minggu. Siang ini, ia seperti membalas semua waktunya selama tiga minggu.

"Gimana rasanya Jerman?" tanyaku. Ia masih mendekapku dalam pelukannya.

"Masih sama seperti dulu," ia tersenyum. Matanya menerawang. Mungkin memikirkan kegiatannya selama tiga minggu di negeri itu.

"Semuanya berjalan lancar, kan, Bang?"

"Ya, everything was great."

"My husband is the best-lah."

Ia menciumi puncak kepalaku. Ini bukan pertama kali ia menciumi kepalaku seperti ini. Tapi, rasanya ada yang aneh. Bang Azzam kelihatan lebih tegang dan sedikit tidak tenang. Aku tidak ingin berpikiran buruk tentang suamiku. Aku percaya padanya. Jadi, ini pasti soal pekerjaan.

Pokoknya, apapun nanti, aku akan tetap mendukungnya. Perusahaannya maju atau tidak, aku akan tetap di sampingnya. Tapi, aku percaya jika perusahaannya baik-baik saja. Bang Azzam mungkin hanya kaget dan tegang karena proyek di Jerman ini adalah proyek terbesar perusahaannya. Tapi, ia pasti bisa melaluinya. Karena, suamiku adalah yang terhebat.

***

"Cila ke mana aja selama papa kerja?" tanya Bang Azzam.

Sore ini, kami menghabiskan waktu duduk di gazebo sambil menikmati teh hangat dan pisang rebus. Cila langsung melampiaskan rasa rindu pada papanya dengan bergelayut manja. Sejak tadi, ia tidak bergeser posisi-setia duduk di pangkuan Bang Azzam.

Inilah salah satu yang kusukai dari Bang Azzam. Melihatnya begitu menyayangi Cila menjadi nilai plus di mataku. Apalagi gadis kecilku dengan nyamannya bergelayut manja pada ayahnya. Itu mengingatku pada papa. Laki bangetlah.

"Main sama Abang Zidan dan Adik Zafran. Terus Om Samir ajak Cila ke Planetrium."

"Planetarium?"

"Iya, Papa."

"Sampai mau ke sana lagi, ya?" kataku mengingat rengekannya untuk kembali ke tempat itu keesokan harinya.

"Seru, Mama! Cila lihat banyak bintang-bintang. Cantik, deh, Pa."

Bang Azzam mendengarkan dengan saksama. Sesekali ia tersenyum dan mencium pipi Cila dengan gemasnya.

"Sekarang, Cila kok jadi bawel ya, Sofia."

"Kebanyakan dengar mama kayaknya."

Bang Azzam tertawa pelan. Ia tentu hapal bagaimana cerewetnya mama. Perempuan kesayangan papa itu seperti memiliki stok suara yang tidak pernah habis. Kata papa, hanya ada dua alasan jika mama berhenti berbicara: sakit gigi dan tidur.

"Cila senang di rumah nenek, Nak?" tanya Bang Azzam.

Gadis kecilku mengangguk. "Senang sekali, Pa." Matanya beralih menatapku. "Nanti kita ke sana lagi ya, Mama. Main sama Om Samir lagi."

Bang Azzam menarikku dalam pelukannya. Ia berbisik di telingaku. "Terima kasih, Sofia. Terima kasih sudah membuatku dan Cila bahagia."

Berminggu-minggu berikutnya aku baru mengerti arti ucapan Bang Azzam.

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang