Perempuan itu Rania

22.5K 1.3K 63
                                    

Rania masuk ke Fortuner putih milik Azzam setelah laki-laki itu menunggu lima menit di lobi kantornya. Sebuah perusahaan konsultan konstruksi terbesar di Kota Bandung. Perusahaan itu sudah berdiri puluhan tahun lalu. Kini, setelah kembali ke Indonesia, Rania menjadi salah satu karyawannya.

"Lama, ya, Zam?" tanya Tania sambil mengecup bibir Azzam singkat.

Azzam menggeleng. Desiran lembut terasa di dadanya. Rania masih tidak berubah. Ia masih agresif dan mudah melakukan apa saja yang disukainya tanpa mempedulikan sekitar. Azzam bahkan harus menahan malu ketika seorang satpam di depannya melihat adegan itu. Ya, kaca film di mobilnya hanya 50 persen. Dari jarak kurang dari satu meter tentu saja masih dapat melihat apa yang terjadi di dalamnya.

Untuk menghilangkan rasa malunya, Azzam segera menginjak gas untuk meninggalkan kantor Rania. Bandung pada Kamis menjelang malam sudah terlihat kemacetannya. Kebanyakan mobil berplat B-asal Jakarta. Ini hari terakhir bekerja di pekan ini karena besok hari libur. Tentu saja long weekend ini akan dimanfaatkan sebagian warga Jakarta untuk ke Bandung. Wisata yang tidak begitu jauh dibandingkan kota lain yang udaranya juga sejuk seperti Bandung.

Rania menyetel musik di mobil mantan suaminya-atau bisa disebut calon suami (lagi). Entahlah, ia hanya ingin menikmati waktunya yang sekarang bersama Azzam dan puteri kecilnya. Ia harus semakin sering menghabiskan waktu dengan Cila untuk mendekatkan diri dengan gadis kecil itu. Ia ibunya. Perempuan yang mengandung dan melahirkannya. Ia yakin jika Cila pasti akan menyukainya meskipun mereka telah berpisah lebih dari lima tahun.

"For a thousand more...," Rania berdendang mengikuti musik yang diputar di sebuah radio.

Oh, ingatkan Azzam jika perempuan cantik di sebelahnya memiliki suara yang merdu. Meski hanya berdendang kecil, itu membuat dada Azzam kembali berdesir. Laki-laki itu mengingat jika dulu Rania sering menyanyi di acara pensi di kampus. Dan, jangan lupakan fakta jika perempuan itu memiliki banyak laki-laki yang mengidolakan suara merdunya.

Rania melirik Azzam. Sejak tadi, belum ada satu kata pun yang keuar dari bibir laki-laki itu. Azzam memang pendiam dan irit bicara. Tapi, tidak pernah seirit ini.

"Ada masalah apa, Zam?" tanya Rania menoleh.

Azzam menoleh sekilas sebelum kembali memandang jalan di hadapannya. Masalah karena ia baru saja ditampar kakaknya sendiri di kantornya. Kakak yang menginginkannya kembali ke Sofia-calon mantan istrinya.

"Biasa, kerjaan. Ada sedikit masalah di proyek yang di Bogor," dustanya. Ia takut jika mengatakan hal yang sebenarnya, Rania akan mundur. Ia tidak bisa harus kehilangan Rania seperti dulu. Sekarang, ia sedang memperjuangkan agar Rania bisa kembali menjadi istrinya.

Rania tersenyum. Tangan lembuhnya mengelus bahu Azzam. "Kamu pasti bisa mengatasinya," katanya lagi. "Besok, kita mau ke mana?" tanyanya.

Oh, Azzam bahkan lupa jika besok adalah hari libur. Itu waktunya untuk jalan-jalan bersama Cila. Minggu lalu tidak berjalan sempurna karena ia mendadak harus membereskan masalah di kantornya. Besok harus berhasil. Ia ingin jika puteri tercintanya mau menerima Rania.

Darah lebih kental daripada air. Hal itu sepertinya tidak berlaku bagi Cila. Gadis cilik itu telah kehilangan sosok ibu sejak beberapa bulan kehadirannya di dunia. Sementara tiga tahun terakhir, ia menghabiskan waktu dengan perempuan cantik nan baik hati bernama Sofia. Bagi Cila, bundanya hanya satu-Sofia. Gadis kecil itu belum mengerti mengenai konsep mengandung dan melahirkan. Ia hanya tahu jika Sofialah yang selama ini menemani hari-harinya.

Mobil Azzam masuk ke dalam carport rumahnya. Bu Rum yang baru saja kembali dari warung langsung membukakan pagar begitu melihat mobil majikannya. Ia sekilas melirik Rania. Perempuan itu sangat cantik. Apalagi wajah bersihnya di-make up hingga membuatnya kelihatan lebih bersinar. Tapi sayangnya tidak akan terlihat baik di mata Bu Rum. Perempuan itu membuat rumah tangga majikannya berantakan. Hanya saja, apalah dayanya yang seorang asisten rumah tangga. Ia hanya bisa berdoa agar majikannya segera sadar.

Azzam baru saja akan melangkah menuju rumah sebelum tangannya ditarik oleh Rania. Bibir merah perempuan itu langsung menyumpal bibir Azzam. Ciuman Azzam selalu membuat bibirnya betah menempel. Kecupan-kecupan kecil hingga berubah menjadi lumatan dilakukan keduanya. Azzam yang pendiam akan berubah menjadi singa yang siap menerkam bila mereka sedang berciuman. He is a good kisser. Rania tidak akan melupakan fakta itu.

Azzam melepas ciuman mereka. Napasnya terengah hampir kehabisan napas. "Cila sudah menunggu," katanya.

Rania mengangguk. Jarinya membersihkan lipstik miliknya di bibir Azzam. Mereka berjalan sambil saling berpegangan tangan. Ah, bahagianya.

"Bukan, Tante. Kalau rambut Rapunzel dipotong, nanti kekuatannya hilang."

Samar, Rania dan Azzam mendengar suara Cila. Ah, sudah lama Azzam tidak mendengar suara Cila yang antusias seperti itu. Biasanya gadis itu hanya terdiam dan mendengarkan lawan bicaranya. Ini kali pertama setelah Sofia kembali ke Jakarta, ia mendengar suara merdu puteri kesayangannya.

"Cila sayang," Rania lebih dulu bersuara. Ketika melangkah kaki ke ruang televisi, langkahnya terhenti. Ia melihat mantan kakak iparnya duduk di lantai bersama Cila. Di hadapan mereka agar buku gambar dan pensil mewarnai. "Kak Diba," panggilnya sopan.

Mengabaikan ucapan Rania, Adiba berpaling pada Azzam. "Kakak nginep di sini 3 hari. Mas Raka lagi dinas ke Padang."

Azzam mengernyit bingung. Kakaknya tidak pernah menginap di rumahnya hanya karena suaminya dinas. Tapi, belum sempat Azzam berpikir jauh, suara kakaknya kembali terdengar.

"Besok kakak mau ajak Cila jalan-jalan ke Rumah Impian."

"Kak, besok, aku dan Rania akan mengajak Cila ke Lembang."

"Kalian, kan, bisa besok-besok perginya sedangkan kakak enggak setiap minggu ke sini. Kakak enggak punya banyak waktu untuk Cila. Enggak kayak Rania yang setiap hari bisa nempel sama kamu." Matanya melirik Rania yang dibalas dengan tundukan kepala oleh perempuan itu.

"Kak, biarkan Cila dekat dengan mamanya sendiri."

"Mama? Mamanya Cila sudah pergi ke Jakarta setelah tahu suaminya selingkuh!" Ia bahkan tidak peduli jika kata kasar itu terucap ketika ada Cila di sampingnya. Gadis kecil itu kelak akan tahu bagaimana berengseknya ayahnya yang tega menyakiti perempuan baik seperti Sofia.

Mendengar kata mama, membuat Cila mengingat bundanya. Gadis kecil itu mengeluarkan air mata. Ia rindu dengan bundanya. Sangat rindu hingga dadanya sesak. Ia ingin berteriak dan menyuruh ayahnya untuk menjemput bundanya. Namun, mengingat kejadian hampir dua minggu lalu, ia urung melakukannya. Rasa takutnya lebih besar dari rindunya pada Sofia.

Melihat Cila mengeluarkan air matanya, Rania langsung mengambil langkah maju. Ia bermaksud untuk menenangkan puteri kandungnya. Namun, belum sempat melangkah lebih jauh, Adiba sudah menggeleng.

"Jangan mendekat kalau tidak ingin mendengar Cila semakin sedih."

"Aku sudah bilang ke kakak untuk jangan mencampuri urusanku dengan Rania!" Azzam berteriak hingga membuat Rania tersentak.

Entah apa yang harus Rania rasakan dengan teriakan Azzam. Ia kaget karena Azzam biasanya begitu tenang. Laki-laki itu selalu berupaya menyelesaikan masalah dengan suara lembut. Di sisi lain, keluarnya singa dari dalam tubuh Azzam menandakan begitu berarti dirinya bagi Azzam. Itu membuatnya bahagia.

Tapi, Adiba tetap tenang menanggapinya. "Kakak enggak akan mencampuri urusan percintaanmu sama pelakor itu. Tapi, kakak akan mencampuri bila itu berurusan dengan Cila!" Adiba langsung membawa Cila dalam gendongannya dan berjalan menuju kamar gadis itu di lantai atas.

Azzam membiarkannya. Ia memijat pelipisnya dengan frustasi. Ya Tuhan, semakin pelik masalah ini. Ia duduk di sofa dan menyandarkan kepalanya.

"Zam," panggil Rania pelan.

Azzam membuka mata dan melihat sorot keraguan dari balik mata Rania. Ia menggeleng. Ia tidak ingin menyerah. Ia sudah kehilangan banyak hal. Ia tidak ingin kehilangan Rania lagi. Ia mencintai perempuan itu.

"Jangan pergi, Rania. Jangan pergi lagi," katanya pelan.

Rania luluh. Ia merebahkan kepalanya ke dada bidang Azzam. Ya, ia tidak boleh menyerah. Pasti selalu ada jalan untuk menghadapi masalah ini. Ia dan Azzam akan berjuang bersama. Mereka memang ditakdirkan untuk terus bersama sebagai sebuah pasangan yang saling mencintai.

***


Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang