Penolakan

33.5K 1.6K 148
                                    

Bandung ditelan kegelapan. Matahari enggan menampakkan diri di langit Bumi Parahyangan. Geledar petir saling bersahutan namun hujan tidak kunjung datang. Hanya suara kencang yang menyambut ketika Azzam dan Rania menikmati makan siang di Rumah Makan Bebek Kaleyo Bandung. Tidak terlalu jauh-letaknya di depan rumah sakit. Azzam dan Rania hanya perlu menyebrangi kolong Jalan Layang Pasupati.

Azzam dan Rania berani meninggalkan ruangan inap Cila karena ada banyak orang di sana. Saka bersama keluarga kecilnya sampai tiga jam lalu. Juga kehadiran Safira yang membawa kehebohan di ruangan puterinya itu.

Tidak ada orang yang menyukai kehadiran mereka. Tentu saja. Siapa yang dapat menerima pasangan selingkuh. Siapa pun perempuannya tidak akan menerima perselingkuhan. Apalagi jika perempuan itu Sofia-perempuan berhati lembut yang sudah mengorbankan banyak hal untuk kehidupan Azzam dan puteri kecilnya.

Azzam memilih makan di sudut ruangan. Ia duduk berhadapan dengan Rania yang siang ini menggunakan kaus berwarna cerah. Rania yang cantik dengan segala merek make up di wajahnya.

Mereka menikmati makan dengan diam. Semua hanyut dalam pikiran masing-masing. Rania berkali-kali memperhatikan wajah Azzam yang diliputi kegamangan. Mungkin, inilah waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini dengan laki-laki yang dicintainya itu.

"Zam," Rania memulai. "Waktu kamu kasih tahu Cila sakit ke Sofia, dia punya pilihan untuk enggak datang. Dia enggak memiliki kewajiban apapun untuk menemui Cila."

Azzam mengangguk. Bahkan tanpa perlu meminta penjelasan, Sofia langsung ikut bersamanya ke Bandung. Ia bahkan tidak peduli dengan kemarahan mama. Ya, mama memang mengkhawatirkan Cila tetapi juga ingin Sofia memikirkan kesehatan Sofia dan kehamilan perempuan itu. Cinta Sofia pada Cila tidak tergerus realita.

"Kita juga seharusnya punya pilihan. Sofia mengorbankan banyak hal demi kebahagiaan puteri kita, Zam. Kalau kita meneruskan ini, kita akan menjadi orangtua paling buruk dan egois di dunia."

Tekanan suara Rania sangat pelan. Azzam tahu jika itu cara Rania untuk menahan perasaan emosional yang berkecambuk dalam hatinya. Perempuan itu berusaha bersikap tegar. Ada sesuatu yang tertahan dalam mata Rania.

"Aku menyakitimu jika memutuskan hubungan ini."

"Kamu menyakiti banyak orang jika menceraikan Sofia. Dia terlalu baik untuk disakiti oleh kita, Zam." Rania mencoba tersenyum. "Lagipula, anggap aja ini pengorbananku demi Cila. Kalau Sofia bisa mengorbankan perasaannya, kenapa aku enggak bisa?"

Azzam masih diam melanjutkan makan siangnya. Tapi, Rania tahu jika banyak hal yang bergelayut dalam pikiran Azzam. Rania tidak ingin percaya diri. Ia hanya berharap jika Azzam menyetujui keputusannya.

Mata Azzam membulat ketika ia melihat pemandangan di depannya. Ada tiga sosok manusia berjalan di tempat yang sama dengannya. Perempuan cantik berperut buncit dengan laki-laki berbadan tegap sambil menggandeng anak laki-laki berusia setahun lebih tua dari Cila.

"Sofia," Azzam bergumam namun masih dapat didengar Rania.

Perempuan itu ikut menoleh. Ia melihat Sofia duduk dengan Dokter Garda dan anak laki-laki yang dulu dilihatnya bersama Saka. Itu Zidan, putera pertama Saka. Mereka duduk tidak jauh dari meja Azzam. Namun sepertinya, mereka tidak sadar ada Azzam dan Rania di tengah-tengah pengunjung restoran ini. Banyak pengunjung yang datang sehingga sosoknya tersamarkan dengan lainnya.

"Zam," panggil Rania hingga Azzam akhirnya mengalihkan pandangannya dari Sofia dan dokter muda itu. "Sekarang, kamu harus berjuang untuk mengembalikan Sofia ke kehidupan Cila."

Azzam mengangguk. Ia yakin jika membujuk Sofia untuk kembali padanya akan mudah. Sofia masih mencintainya. Azzam sangat menyakini itu. Ia dapat melihat sorot rindu setiap kali menatap wajah Sofia. Bagi Azzam, mendapatkan Sofia hanya membutuhkan sedikit usaha.

***

Mata Azzam mengawasi Sofia yang mondar-mandir di ruangan inap Cila. Perempuan itu terlihat repot sekali. Ia menyuapi Cila, memberikan obat, membantu memandikan, hingga membacakan cerita hingga anak itu tertidur.

Azzam baru saja akan menggumamkan nama Sofia ketika melihat perempuan itu beranjak dari ranjang Cila. Azzam pikir Sofia akan beristirahat namun perempuan itu justru beralih ke tumpukan pakaian Cila. Ia melipat baju kotor Cila untuk dimasukkan ke kantung pakaian. Kantung itu nanti sore akan dibawa Bu Rum untuk dicuci.

"Nanti saja, Sofia," kata Azzam.

Sofia menoleh. Perempuan itu tersenyum menatap Azzam sebelum mengatakan, "Enggak apa-apa, Bang. Biar nanti langsung dibawa Bu Rum."

Azzam tersenyum miris menatap Sofia. Perempuan itu bahkan masih selalu memberikan senyuman manis untuknya. Sofia seperti tidak peduli dengan kuatnya luka yang sudah ia berikan ke perempuan itu.

"Sofia," panggil Azzam lagi. Ia merasa diabaikan perempuan itu.

Hanya tersisa mereka berdua di kamar Cila. Semua orang sudah kembali. Mama dan keluarga Samir memilih menginap di hotel dibanding menginjakkan kaki di rumah Azzam. Gadis bermulut tajam yang menjadi sahabat Sofia juga pergi.

Dokter muda itu mengatakan jika kondisi Cila sudah membaik. Besok pagi sudah bisa pulang. Cila hanya perlu istirahat untuk memulihkan tubuhnya. Azzam berucap syukur berkali-kali.

"Iya, Bang," jawab Sofia. "Oh, ya, Bang. Aku boleh minta izin Abang untuk membawa Cila tinggal di Jakarta."

Azzam menatap Sofia heran. Jakarta? Oh, Azzam ingat jika Sofia pasti enggan pergi ke rumahnya di Bandung. Perempuan itu berpikir jika Azzam masih bersama Rania.

"Aku sudah enggak bersama Rania."

Sofia tidak ingin terlampau percaya diri mendengar ucapan Azzam. Tidak. Bukan berarti Azzam ingin kembali padanya. Pikiran itu yang terus Sofia tanamkan. Ia tidak ingin terlalu berandai dengan harapan palsu.

"Boleh, Bang?" Sofia mengabaikan ucapan laki-laki di hadapannya.

"Sofia, aku sudah berakhir dengan Rania. Aku ingin kita memulai lagi dari awal."

Sofia tersentak. Ia menghentikan pekerjaannya saat ini. Matanya menatap Azzam. Ia mencari kejujuran dari tatapan laki-laki itu. Sorot wajah Azzam penuh mengharapan ketika menatapnya.

Tapi, pada akhirnya Sofia menggeleng. "Aku enggak bisa tinggal sama Abang lagi, maaf," ucapnya penuh penyesalan.

Azzam salah. Ini tidak semudah yang dipikirkannya. Perempuan di hadapannya bahkan langsung menolaknya. Tapi, Azzam tidak akan menyerah. Laki-laki itu berjalan menghampiri Sofia. Digenggamnya tangan putih mulus Sofia.

"Aku minta maaf untuk semua kesalahanku, Sofia. Tolong berikan aku kesempatan," mintanya memelas.

Bagaimana ini? Sofia tidak tega melihat wajah suaminya seperti itu. Ia masih mencintai Azzam. Tapi, ia tidak sanggup jika harus terluka lagi. Lebih dari itu, ada hal yang lebih ditakutkan Sofia jika menerima Azzam kembali.

Makanya, Sofia mengatakan pada Azzam, "Aku sudah memaafkan Abang. Tapi, untuk kembali ke Abang, maaf, aku enggak bisa." Sofia masih menatap Azzam. Ada bayangan luka dari wajah laki-laki itu. "Lagipula, mama juga enggak akan setuju kalau aku balik sama Abang."

Oh, Azzam mengerti. Azzam meneguk air liurnya sendiri. Itu sama seperti meminta izin pada papa dan mama. Oh, ia harus mempersiapkan mental untuk mendengar sumpah serapah dari mama mertuanya.

Meminta izin pada mama jauh lebih menakutkan daripada bertemu hantu.

***

Azzam vs mama? Gimana tanggapan mama kalau puteri cantiknya diminta kembali pada laki-laki yang telah menyakitinya? Kira-kira, mama bakal setuju? Kalau aku sih, no!

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang