Bayaran Sebuah Jawaban

18.9K 1.2K 26
                                    

Waktu SMP, aku sering menuis di buku harian. Isinya segala curhatan yang gak bisa aku ceritakan ke orang lain.  Tapi, setiap kali membaca ulang di waktu yang berbeda, aku seringkali malu. Kok, bisa, ya, gue nulis hal ini? Padahal bacanya hanya selang beberapa minggu. Aku gak tahu apa kalian yang suka menulis buku harian juga merasakan hal yang sama.

Waktu mengedit cerita ini juga sama. Aku selalu merasa tulisanku jelek banget. Kayak malu sama hasil pemikiran sendiri. Tokoh dan watak, jalan cerita, dan diksi yang gak bisa membuat terkesan. Setelah berakhir di akhir 2019, ini kali pertama aku membaca ulang cerita ini. Buat kalian yang sudah pernah baca cerita ini sampai ending dan yang baru on going, bisa berbagi pengalaman. Apa kekurangan cerita ini? Titik terlemah apa yang kalian rasakan muncul dari ceritaku ini? Buat kalian yang mau berbagi pengalaman, hatur nuhun-terima kasih, ya.


Jangan pernah bosan menunggu ceritaku, ya. Selamat menikmati.



Aku tidak berpengalaman dalam hal merayu lawan jenis. Bagaimana mau merayu, berpacaran saja hanya sekali-ya dengan Bang Azzam. Berciuman tentu saja hanya dengan Bang Azzam. Ia sangat ahli dalam keterampilan memainkan bibirnya. Oke, mari lupakan hal itu. Aku akan merayunya malam ini demi secuil informasi mengenai masa lalunya.

Bang Azzam akan pulang sedikit lebih malam dari biasanya. Masalah kerjaan yang agak menumpuk. Setelah menidurkan Cila, aku sudah bersiap-siap dengan rencana besarku. Mengingat hal yang akan terjadi, membuatku senyum malu sendiri. Semoga aku bisa terlihat profesional dengan rencana ini. Ingat Sofia, iman Bang Azzam sangat tipis bila dihadapkan dengan tubuhku. Lebih tipis dari rambut. Harusnya sih berhasil.

"Sofia," aku mendengar suara Bang Azzam masuk kamar.

Aku masih berdiam diri di kamar mandi. Terus menatap tubuhku dari kaca besar di sini. Lingerie peach membalut tubuhku.

"Sofia... Sayang, kamu di kamar mandi?" katanya lagi sambil mengetuk pintu kamar mandi.

Aku masih berdiam diri. Sesaat kemudian, dengan perlahan, aku membuka pintu. Kulihat Bang Azzam berdiri menghadap kasur sehingga membelakangiku. Ia sedang membuka kemeja kerjanya.

"Bang," panggilku pelan. Aku tidak tahu apakah suaraku cukup menggoda.

Bang Azzam berbalik. "Kamu da...," suaranya terhenti. Matanya tidak lepas memandangku. Aku melihatnya meneguk liurnya sendiri. Ia tidak berkata apa-apa. Hanya terus memandang dengan tatapan yang biasanya kulihat hampir di setiap malam pernikahan kami.

"Bang Azzam," panggilku sepersuasif mungkin.

Sepertinya panggilanku menyentak kesadarannya. Ia menghamipirku. Katanya, "Tunggu aku di kasur dan jangan lakukan apapun sebelum aku selesai mandi." Ia langsung meninggalkanku menuju kamar mandi.

Duduk di pinggir kasur membuat tanganku gemetar. Rasa percaya diri yang tadi membuncah dalam diriku mendadak hilang. Aku merasa malu dengan apa yang akan kulakukan. Kuperhatikan penampilanku saat ini. Ya Tuhan, aku merasa seperti perempuan penggoda.

Lima menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Gelora Bang Azzam sudah di ubun-ubun hingga menyelesaikan mandi dengan waktu yang sangat singkat. Bang Azzam keluar hanya dengan menggunakan celana pendeknya.

Ketika ia menghampiriku, aku langsung berdiri. Segenap keberanian kucoba kumpulkan lagi. Aku mengingat visiku malam ini. Bang Azzam semakin mendekat. Ketika selangkah lagi ia menghampiriku, aku menjulurkan tanganku untuk menahannya.

Ia mengernyit heran. Matanya menatapku penuh tanya. Kakinya baru akan mencoba melangkah sebelum terhenti karena melihatku menggelengkan kepala.

"Aku mau Abang ceritakan alasan Abang bercerai dengan mantan istri Abang," kataku.

Bang Azzam tersentak. Ia pasti tidak menyangka jika aku akan bertindak sefrontal ini. Ia masih menatapku. Tatapan kekecewaan yang pasti ia tunjukkan kepadaku. Bibir Bang Azzam masih membisu. Ia tidak mengatakan apapun kepadaku.

Kuhembuskan napas. Rencanaku gagal total. Setipis apapun imannya pada tubuhku tidak akan membuka mulutnya. Masa lalu akan terus menghantui pikiranku. Sepertinya, perceraiannya memang akan menjadi misteri yang sampai kapanpun tidak akan kuketahui jawabannya.

Ketika aku menyerah dan membalikkan tubuhku, dada Bang Azzam memeluk punggungku. Tangannya melingkari tubuhku.

"Aku akan menjawab semua pertanyaan kamu setelah kita menuntaskan ini," bisiknya.

Aku tersenyum penuh kemenangan sebelum menoleh dan mencium bibirnya.

***

"Kapan pertama kali ketemu mantan istri Abang?"

"Semester 3 kuliah."

"Kapan pacarannya?"

"Waktu semester 5."

"Berapa lama pacarannya?"

"3,5 tahun.

"Sewaktu nikah, apa Abang nyuruh dia KB?"

"Enggak."

"Terus kenapa baru hamil setelah 2 tahun nikah?"

"Dia KB."

Aku langsung mencubit pinggang Bang Azzam. Ia meringis pelan. Biarkan. Sehari jadi istri yang menyiksa suami. Apalagi suami yang menyebalkan seperti ini. Ia benar-benar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan. Tapi, justru terlihat seperti seorang polisi mengintrogasi saksi sebuah kasus pencurian.

"Kenapa menggugat cerai dia?"

Kali ini Bang Azzam terdiam. Ia tidak langsung menjawab seperti tadi. Kubiarkan saja ia merenungi pertanyaanku. Aku tahu jika ini mengorek luka lamanya. Seharusnya aku tidak perlu membuatnya mengingat hal menyedihkan itu. Tapi, entalah, rasa penasaran masih bergerilia dalam pikiranku.

"Karena dia enggak mencintaiku," jawab Bang Azzam pelan.

Aku menoleh dan melihat matanya menerawang. Kupeluk tubuhnya dari samping. Aku menaruh kepalaku di bahunya. "Kalau enggak mencintai Abang, kenapa bisa pacaran sampai 3 tahun lebih dan menikah."

"Dia bilang untuk memuaskan egonya. Sebelum pacaran, aku baru pulang dari Amerika. Aku ikut lomba membuat maket hunian konsep desa."

"Yang Abang juara itu?" tanyaku. Aku dapat informasi ini tentu saja dari Bang Saka. Kakak laki-lakiku merasa dirinya bangga menjadi teman Bang Azzam yang juara di Amerika itu.

Bang Azzam mengangguk. "Kata Rania, teman-temannya menantang untuk bisa berpacaran denganku. Akhirnya berhasil."

"Sebelum pacaran dengan Abang, dia tipe cewek yang sering gonta ganti pacar, ya?" tanyaku hati-hati.

"Sepertinya iya."

Aku tidak dapat membayangkan ada di posisi Bang Azzam. Berpacaran lama dan menikah hingga memiliki anak ternyata tidak membuatnya dapat dicintai pasangan. Aku harus banyak-banyak bersyukur memiliki Bang Azzam yang begitu mencintaiku.

"Apa dia memperlakukan Abang dengan baik sewaktu kalian menikah? Maksudku kayak memasak untuk Abang dan menyiapkan baju kerja Abang?"

Bang Azzam menggeleng. "Semua keperluanku disiapkan oleh Bu Rum."

"Dan urusan ranjang?"

"Kami jarang melakukannya," jawabnya. "Dia bahkan enggak pernah izin atau meminta pendapatku untuk pekerjaan dan kegiatannya."

Aku tidak menyangka jika masih ada perempuan jenis itu. Mama yang demikian galaknya saja selalu meminta izin papa ketika mau ke manapun. Bahkan, ketika akan membuka toko kue yang modalnya didapat dari uang mama sendiri, beliau tetap meminta izin papa. Walaupun mama tahu jika papa pasti mengizinkan, beliau merasa tetap perlu membicarakannya dengan papa. Dan, mama ingin aku mengikuti jejaknya.

"Dia kayaknya enggak menghargai kakak sebagai suami, deh," kataku.

"Dia bahkan enggak pernah bilang setiap pulang malam."

Aku menciumi pipi suamiku. Aku berjanji, akan mengganti semua kesedihan yang didapatnya dengan menjadi istri yang baik. Aku akan berbakti padanya. Bukan sekadar karena Bang Azzam menjadi jalanku menuju surga nanti tapi karena aku mencintainya. Aku akan terus berusaha membahagiakannya seperti yang selama ini dilakukannya

Aku janji.

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang